William, it was really nothing

content warning: implied suicide, abusive relationship, invasion of privacy


Love in the Afternoon (1972)


kenalanku itu diangkut pergi ambulans tepat sebelum iklan bir berbotol picis mulai disiarkan oleh radio. Tidak ada keributan atau apa. Malah, jalanan begitu lengang ketika aku turun dan menyadari sirene daruratnya berada dalam kondisi mati. Perempuan bermasker medis menghindari pandangku dari seberang trotoar lalu bergegas masuk ke kursi samping supir. Ketika mobil itu melaju sunyi, lampu merah berkisar menjilati dinding, jendela bangunan, serta aspal becek dan gorong-gorong. Barulah kemudian aku melihat pria itu.

Posturnya yang melengkung juga rambut puting beliung disorot penerang jalan, tadinya tersembunyi dariku oleh letak strategis ambulans terparkir. Agaknya dialah yang sempat bicara dengan perempuan bermasker. Hanya, dia sama sekali tidak berkutik sepeninggalan mobil mereka. Dia berdiri saja di tempat selagi binar merah luruh di wajah kami, ilusi optik yang lamat-lamat meredup bagai debar komet terkikis. Kupikir dia tercenung di situ setidaknya tujuh menit (yang aku yakin dalam periode tersebut dia juga tidak mengindahkan presensiku sedikit pun). Gerimis memercik rambutku dan kuputuskan untuk kembali masuk, disambut kersak-kersak radio yang belum kumatikan. Aku melongok keluar jendela. Pria itu lenyap.

Berkilas balik, mestinya kusemat seutas terima kasih pada orang bersangkutan—yang belakangan kuketahui bernama William. Dari figur statisnya malam itu aku bisa mengambil kesimpulan bahwa kenalanku telah dilarikan ke rumah sakit.

Kenalanku itu tinggal di lantai lima rumah susun seberang jalan, aku kurang tahu di pintu nomor berapa. Kami bertemu pertama kali di acara pacuan kuda musim semi lalu. Jonah terus-terusan merajuk dan membujukku untuk menemaninya ke sana, yang berkali-kali kutolak sebab aku tidak tahan mencium bau-bau hewani yang bisa awet menempel pada kulit dan pakaianmu berhari-hari. Jonah bersikeras kami bisa duduk di bangku tribun paling belakang, jauh-jauh dari percik berdebu, sengat matahari, maupun bau hewan ternak. Aku akhirnya mengalah karena dia tampak memelas sekali saat bilang, aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu, Is (juga karena dia berjanji mentraktirku seloyang besar margherita sepulang dari sana).

Sejatinya pertemuan itu pun cuma kebetulan. Ketika kami menanjaki undakan tribun, Jonah tiba-tiba melipir untuk bertegur sapa dengan temannya. Tegur sapa di sini artinya tempat duduk kami pindah tiga deret ke depan supaya mereka bisa mengobrol sepanjang siang. Aku setengah lega lantaran tidak perlu berpura-pura tertarik dengan ocehan Jonah tentang jenis-jenis kuda, nomor-nomor serta nama sponsor yang sampai hari ini aku heran bagaimana bisa dia hafalkan.

“Is,” panggilnya waktu itu, di hadapan pria tinggi berambut hitam. “Ini temanku dari peternakan monasteri.”

Dia tidak terlihat seperti pendeta, batinku. Rambutnya berpotongan rapi, namun kumis dan janggutnya tampak semrawut, agak kepanjangan dan tidak simetris—seolah pagi itu dia berniat memangkasnya tapi berhenti di tengah jalan. Wajahnya berbintik, terutama di pipi. Saat berjabat tangan, dia memberiku senyum singkat dan refleksiku terpantul pada matanya yang kelabu. Rasanya seperti menatap kaca berembun.

Tentu saja komentar ini kusimpan sendiri. Perlu waktu cukup lama, selang berapa purnama, sampai aku teringat untuk menanyai Jonah soal kenalanku itu. “Apa dia penganut Kristen Ortodoks?”

Jonah balas menatapku penuh bingung. Aku ingat hari itu akhir Agustus sebab Jonah menarik-narik kerah bajunya sebagai upaya mengusir gerah. “Bukan. Setahuku, sih. Kenapa?”

“Berarti Katolik?”

“Tidak tahu. Sejak kapan kamu peduli orang lain agamanya apa?”

“Katamu dia kerja di monasteri.”

Terdiam, Jonah lalu menendang pelan sepatuku. “Ketemu di monasteri, Is. Kamu kan tahu, di sana ada peternakan kuda. Tempatnya buka untuk umum.”

“Jadi dia bukan pendeta?”

“Bukan, kocak.”

“Terus kerjanya apa?”

“Entah,” jawabnya seraya mengangkat bahu.

Cara Jonah menutup pertanyaanku disusul praduga bahwa dia tidak suka jika aku terus membahas temannya yang juga kenalanku itu. Atau, dia memang tidak tahu apa-apa soal temannya di luar binatang favorit mereka yang kebetulan satu spesies. Aku sendiri kurang yakin karena Jonah orangnya sulit ditebak. Lagi pula, aku tidak akan menghakimi bila dia enggan membicarakan temannya denganku. Barangkali ini bentuk rasa bersalah.

Aku merahasiakan pertemuan-pertemuan tidak disengaja itu dari Jonah. Alasannya apa, terus terang aku pun masih bimbang. Tak lama setelah acara pacuan kuda, kira-kira dua atau tiga minggu, aku berpapasan dengan pria-yang-ternyata-bukan-pendeta itu di stasiun bensin ujung jalan. Sepintas aku tidak mengenalinya meskipun tidak ada perubahan apa pun pada penampilannya; janggut masih dipangkas buru-buru, kemeja masih kusut di lengan habis digulung bolak-balik.

“Halo, Isabelle,” sapanya setelah menghampiriku. “Tempatmu airnya mati juga?”

Aku masih malu setiap mengingat canggungnya sepuluh detik yang kuhabiskan untuk meneliti wajah itu. Kemungkinan, kenalanku juga sadar bahwa identitasnya merupa stok film kadaluarsa di kepalaku. Dia sudah membuka mulut ancang-ancang mengulang perkenalan diri. Untungnya, terbalap sebelah tangan yang terlanjur kuulurkan padanya. “Ça va? Airnya mati sejak tadi pagi—kok tahu?”

Dia menunjuk jeriken yang kujejali selang air. “Kamu tinggal dekat sini? Infonya pemadaman sampai 1900.”

“1900, malam ini?” tanyaku.

Kenalanku mengangguk.

Aku menoleh kembali pada jeriken 30 liter yang jauh-jauh kujinjing dari rumah, kini hampir terisi penuh. “Kontrakan saya di lantai atas Le Constatinople—resto masakan Turki di sana, sebelah Pharmacie de la Mairie.”

Kenalanku itu tampak sungguh-sungguh terkejut ketika dia menjawab, “Oh, kita tinggal berseberangan.”

Nah, kenapa aku masih memanggilnya kenalan, alih-alih tetangga, ada kaitannya dengan jalan raya besar yang memenggal tempat tinggal kami. Semasa kecil, aku tinggal bersama Maman dan dua kakakku di pelosok Sencera. Rumah-rumahnya saling berjarak, dilayari kebun dan ladang gandum, tetapi aku mengenal baik tiap-tiap penghuni mereka. Di kota ini, semuanya jungkir balik. Sudah dua tahun aku mengontrak kamar di atas restoran yang senantiasa ramai dari pagi buta sampai tengah malam. Dalam dua tahun tersebut, kenalanku itu menjadi satu-satunya penghuni rusun seberang yang kuketahui namanya.

Bisa saja dia kusebut teman, alih-alih kenalan atau tetangga. Tapi, pada akhirnya, ada garis-garis yang perlu dilangkahi sebelum dua individu dapat saling memodifikasi lingkar selingkung mereka. Menurutku, kami berdua sama-sama menimba palang yang tali pengaitnya digeret kuat-kuat, serupa jembatan yang menolak turun hingga terus saja satu demi satu orang baru sekadar melintasi sungai di bawahnya. Aku tahu dia tidak akan menyebutku teman, sehingga aku pun tidak menempelinya label demikian.

Kendatipun, kenalanku itu cukup baik untuk menawari bantuan memboyong jeriken sampai depan pintu. Aku menerimanya tanpa sungkan-sungkan. Sebelum ini, aku sudah waswas membayangkan tanganku copot dihajar 30 liter air bersih. Kami berjalan bersisian dan aku merasa lega dia tidak terlihat kesulitan menjinjing tabung plastik itu. Aku bertanya apakah dia juga sedang mencari air di stasiun bensin.

Dia bilang dia tidak setelaten itu. “Kebetulan lewat saja—kantor saya tidak begitu jauh, saya selalu pulang jalan kaki.”

Seharusnya hari itu aku paham bahwa dia betul-betul bukan seorang pendeta—bukannya para pendeta tinggal di monasteri? Namun, aku cuma mengangguk, lalu dia mulai menanyaiku soal Jonah.

“Begitulah, Anda tahu dia. Sepertinya saya bakal diseret lagi, ke pertandingan polo Sabtu depan. Sudah beberapa hari itu-itu saja yang dia bahas.”

“Kamu bukan penggemar kuda, ya?”

Aku nyengir. “Saya tidak terlalu suka binatang. Dulu, waktu rekreasi sekolah ke kebun binatang, saya langsung merajuk minta pulang—tapi tidak boleh, jadi saya cuma duduk-duduk di toko suvenirnya.”

“Masuk akal. Dari yang saya lihat, temanmu juga bukan pecinta hewan.”

“Betul. Dia hanya keranjingan nonton macam-macam turnamen olahraga.”

Sekilas, aku hampir memberitahunya tentang kecurigaanku bahwa Jonah mulai terjerumus perangkap judi kompulsif. Aku punya firasat dia akan memaklumi sekaligus memberiku saran-saran yang tepat. Bukan karena dia terlihat berumur (usianya, kalau kukira-kira, sekitar awal tiga puluhan), tetapi karena dia tampak siap menerima kabar buruk. Jika seseorang tiba-tiba melemparinya telur busuk detik itu juga, aku merasa dia tidak akan kaget. Tersinggung, mungkin—hanya tidak terkejut sama sekali; seolah dia sudah tahu peristiwa-peristiwa macam itu bakal datang cepat atau lambat.

Satu-satunya hal yang mengurung niatku itu adalah rasa bersalah bila aku sampai membicarakan hal-hal jelek soal Jonah di belakangnya. Aku tidak ingin membuat hidup temanku itu semakin terdengar memprihatinkan. Pendek kata, kami berakhir membahas pertandingan polo yang akan datang, detail-detailnya aku sudah lupa, tapi aku ingat kenalanku berkata dia tertarik menonton juga kalau ada waktu.

Ketika sampai di muka pintu kontrakan, kubilang padanya air di jeriken itu kini berstatus properti komunal. “Kalau butuh air, langsung mampir saja.” Mendengar itu, dia tersenyum singkat.

 

/

 

Beberapa kali aku merenungkan opsi untuk pindah ke tempat lain. Yang lebih tenang, lebih teratur dan bersih, lebih hijau dibanding abu-abu, di mana label warna-warni tong sampah betul-betul punya arti dan bukan sekadar formalitas yang hasilnya akan sama-sama diangkut membaur ke gunungan TPA. Aku bahkan mulai merindukan rumah masa kecilku di Sencera.

Kontemplasi ini meningkat seiring jumlah pemadaman bergilir yang entah kenapa selalu menarget komune Saint-Ouen. Kalau bukan air, ya listrik. Meski lebih sering air. Tidak lama sampai keran haus atau lantai kering kamar mandi menjelma sebentuk kebiasaan. Ekspedisi ke stasiun bensin kucampakkan—buang-buang energi. Badanku lebih memilih dilempar ke rumah kolega atau teman yang cukup baik untuk meminjamkan akses air mereka.

Alhasil, sepanjang periode itu aku tidak pernah bertemu kenalanku. Dia juga tidak datang ke pertandingan polo. Jeriken 30 liter kujual ke tukang tambal ban di simpang tiga.

Tapi, bukan berarti aku tidak melihatnya.

Perlu diingat bahwa relasi dengan kenalanku itu ibarat gumpal kapas yang baru dipintal jadi benang. Tipis nan rapuh. Aku tidak tahu apakah orang lain juga merasa begini, tetapi kadang-kadang aku secara sadar menghindari orang yang kukenal di ruang publik, terlebih jika aku dan orang itu tidak dekat-dekat amat. Saat bertemu wajah familier di metro, aku akan pura-pura tidur atau malah langsung berpindah gerbong. Hal serupa berlaku terhadap kenalanku itu; satu pagi sebelum berangkat kerja, aku melihatnya mengantre syawarma di resto bawah, akibatnya aku tidak jadi membeli kopi di sana dan terpaksa minum kopi kalengan dari salah satu otomat toko.

Ini terjadi cukup sering sampai-sampai aku khawatir dia pun sadar bahwa aku selalu menghindarinya. Sekarang, tentu saja, aku tahu itu asumsi kosong—dia punya banyak perkara lain yang lebih pantas dipusingkan daripada tetangga antisosial. Tetapi diriku di masa lalu (delapan bulan lalu) masih naif-naifnya, mudah sekali terperosok jebakan psikis yang diciptakan tak lain oleh otakku sendiri. Aku jadi terlampau awas dengan sekitarku. Semakin lama, aku semakin cermat mendeteksi sosok kenalanku itu di kisaran Saint-Ouen, mulai dari stasiun bensin di ujung Rue des Rosiers sampai toko swalayan besar di tepi sungai. Aku melihatnya di jam-jam tertentu lantas setengah sadar mencatat informasi itu pada kabinet ingatanku.

Dalam enam minggu, aku bisa menakar jam berapa dia pergi dan pulang kerja. Kami mengikuti ritme kota yang berdengung, langkah-langkah terburu dan kendaraan dipacu membalap pagi. Aku yang mesti mengejar jalur metro tidak pernah bersilang jalan dengannya. Tapi, dua kali aku melihatnya di resto dan persimpangan saat lampu merah. Ambil saja jam-jam konvensional pekerja kantoran, ditambah jarak tempuh yang sempat dia singgung padaku, artinya dia keluar rumah sekurang-kurangnya pukul 0730.

Sore hari di stasiun bensin terhitung anomali, lelucon miring dari surga, ini satu yang jelas bagiku. Jika sifku tidak molor, aku akan punya cukup waktu untuk mampir berbelanja, mengobrak-abrik isi kulkas lalu memasak menu yang sama lima hari berturut-turut. Lagi, kutegaskan bahwa letak perabot kontrakanku juga tidak disengaja—meja makanku hanya muat didempetkan ke samping jendela. Mau dibilang meja makan pun kurang pas. Meja itu bundar kecil, dengan dua kursi saling berhadapan, tipikal meja di teras kafe-kafe elit. Saking sempitnya, vas bunga yang dulu kuletakkan di sana mesti jadi korban kecerobohanku. Belum pecah, tapi retaknya lumayan parah dan selalu bocor saat diisi air, sekarang dia menghirup debu dalam lemari. Lutut tertekuk, kutempati meja itu kala matahari lama terbenam dan lampu-lampu jalan sudah benderang. Di tengah proses sendok-lahap-telan aku akan sesekali mengamat lalu-lalang mobil dan manusia. Kenalanku itu biasa muncul dari 2030 sampai 2100.

Aku tahu ini semua terdengar aneh—atau malah meresahkan. Tapi, bisa kupastikan bahwa aku sama sekali tidak punya niatan buruk. Jam-jam yang kusebut sekadar simpulan dari observasi bersifat pasif. Aku tidak menggunakan informasi itu untuk tujuan apa pun, selain mengasingkan diriku sendiri. Biar begitu, metodeku tidak sepenuhnya tahan cuaca. Memasuki musim panas, aku berpapasan lagi dengan kenalanku.

Larut sekali, pasca lembur menggantikan Béatrice yang anak perempuannya sakit, aku berniat menghubungi alamat kolegaku itu. Le truc c'est que, aku tidak punya pesawat telepon—tidak banyak orang yang punya. Béatrice bilang dia terpaksa beli untuk mempermudah koneksi ke tempat anaknya bersekolah. Kuputuskan untuk mampir ke bilik telepon umum depan gedung pengadilan, tak jauh dari pintu keluar Garibaldi 13. Anggapku, supaya tidak perlu mengantre lantaran tempat itu ramainya cuma saat jam kerja.

Seseorang terkurung di dalamnya ketika aku sampai; punggungi pintu dengan kepala menekur seolah ditarik beban gagang telepon. Selain karena wajahnya yang tersembunyi kaca gelap, aku pun terlalu sibuk merogoh uang kecil di celah tas. Tidak lama, bunyi keras menyusul. Telepon kembali tersampir.

“Oh,” ujarku hampir membeku, setelah orang itu melangkah keluar bilik. “Malam, Monsieur.”

Aduh, batinku. Untungnya aku masih berlagak normal, tersenyum sopan dan melempar sapa. Bisa saja aku hengkang momen itu juga, tetapi ada yang menahan tubuhku di tempat.

Beberapa detik terlewat sampai dia mengangguk padaku. “Ça va? Maaf—mau pakai teleponnya?”

Aku hampir lupa soal itu. “Ya,” kubilang.

Dia menahan pintu dan aku membisik terima kasih. Bunyi transmisi melenggang dua sebelum suara Béatrice terdengar. Dia bilang demam anaknya sudah turun dan sekarang bocah itu tidur lelap, kupikir dia agak kesal gara-gara dering telepon jam segini, aku meminta maaf. Kutanya apakah ada hal lain yang bisa kubantu dan suaranya sangat keibuan saat dia bilang, Isabelle sayang, mending kamu cepat pulang sekarang, oke?

Aku enggan mendebatnya terlebih karena aku tiba-tiba teringat Maman yang sudah berminggu-minggu tidak kusurati. Sambungan itu segera kututup. Membuka pintu bilik, aku merutuki nasib saat menyadari kenalanku itu masih berdiri di pinggir trotoar, sebatang rokok terlinting di sela jemarinya.

Dia menoleh. Derit pintu sialan.

“Apa kamu selalu pulang selarut ini, Isabelle?” cetusnya.

Aku menggeleng. “Hari ini pengecualian,” jawabku, memangkas detail yang malas dirangkai. Kontan, aku diserbu rasa bersalah.

Well, saya juga sedang perjalanan ke rumah.”

Kurang lebih artinya dia tidak keberatan berjalan denganku sampai ambang destinasi kami. Bingung harus merespons bagaimana, aku cuma mengangguk lalu kami lanjut meniti pematang jalan. Seolah malam mengungkung kami, merasuk kepala dengan kegelisahan masing-masing, tidak ada percakapan yang terbit sepanjang Av. Gabriel Péri sampai Rue des Rosiers. Aku mulai memikirkan banyak orang: ibuku, kakakku, Béatrice, suami Béatrice yang meninggalkannya musim dingin lalu, Jonah dan pertandingan tenis minggu depan, bapak kosbas yang sudah menagih uang sewa padahal masih akhir bulan, kenalanku itu....

Kenalanku itu, entah kegelisahan macam apa yang juga mengitari benaknya. Sebisa mungkin, aku tidak meliriknya terlalu sering. Dari sudut mataku saja, tampak jaket yang terkulai dari bahu, mengerut didera udara malam. Tangan masih mengapit sigaret, sesekali diangkat jadi tarikan panjang, sedikit demi sedikit sumbunya merontoki jejak kami. Abu di aspal, asap menempeli baju dan selasar toko-toko yang telah tutup, menyatu pula dengan batuk-batuk knalpot mobil yang kerap melintas. Kota ini masih berpendar dan kami susah payah mematikan lampu.

Palang apotek mulai terbaca huruf-hurufnya ketika kenalanku itu berhenti mendadak. Nama pharmacie de la mairie dicetak berdempetan, tinta putih di atas hijau. Di sebelahnya, tirai resto terkunci rapat. Barangkali aku semestinya tetap melangkah tanpa mengindahkan. Dia menatap rusun seberang jalan yang mencuar tinggi, sebagian besar temboknya habis dimakan gelap. Kuambil momen singkat itu untuk meneliti wajahnya yang suntuk, kusadari ada kerut permanen pada dahi dan retak-retak kemarau di bibirnya. Entah kegelisahan macam apa, aku bayangkan apakah dia pun membenci tempat ini.

Seakan baru teringat akan presensiku, satu meter merenggang lampau, mata kelabu itu akhirnya berpaling. “Kamu sudah dengar? Kebakaran di Kantor Arsip Belleville tadi sore.”

“Belum,” jawabku terus terang, sekaligus tidak yakin aku peduli-peduli amat dengan terbakarnya gedung tua penuh kertas-kertas berdebu. “Apa ada yang meninggal?”

Dia menggeleng. “Tidak ada korban jiwa. Tapi mereka kehilangan banyak dokumen penting.”

“Sayang sekali.” Suaraku datar. Ini membuatku terdengar dingin dan tak punya hati. Bergidik, kutanya, “sepenting apa?”

“Sepenting riwayat kota ini, mungkin. Atau riwayat area Belleville. Kebanyakan orang hanya khawatir dengan berkas penduduk—data diri dan semacamnya.”

“Tentu mereka bisa menyusun salinan yang baru.”

Kenalanku itu mengangkat rokoknya yang tinggal sejentik. Sumbunya bertutul merah, sebatas dipandang sampai asap menyentak wajah. “Lembaran yang hangus ikut terbawa angin sampai Saint-Ouen. Saya sempat memungut satu.”

“Apa isinya?”

“Cuma laporan keuangan, tabel isi angka-angka.”

Angin melagu ke arahku, menyebarkan bau asap. Kusingkirkan helai rambut yang jatuh ke hidung. “Anda khawatir?” tanyaku.

“Apa?”

“Khawatir—semisal ada berkas pribadi yang nyasar entah ke mana?”

Dia bergumam. “Tidak, lebih mudah membayangkan semuanya terbakar jadi abu.”

Dia menoleh kembali ke arah rusun, seolah menentukan apakah tempat itu masih layak menjadi tujuannya malam ini, dan mungkin juga malam-malam lainnya. Sebuah kamar kosong nan lengang. Lalu, dia mengangguk padaku sambil membuang buntut rokok.

Bonne soirée,” katanya, entah padaku atau sisa linting tembakau. Sepatu yang menginjak habis puntung itu sama sunyinya dengan jengkal-jengkal yang dia ambil menghadap malam. Meski terjaga cukup lama setelah itu, aku tidak melihatnya kembali ke trotoar Rue des Rosiers.

 

/

 

Itu semua karena William. Seandainya disuruh menebak, teoriku sesimpel ini. Mungkin William ada di sana, bersandar setengah merosot pada tembok pagar, lampu jalan menyorotinya karena selalu—selalu gemerlap merekah darinya ketika atap-atap lain lelap tertidur. Atau mungkin di suatu tempat berbeda, yang teramat hidup juga sesunyi fajar, yang dipenuhi orang namun di sanalah justru dia paling terjebak kesendirian—dan lagi-lagi, orang yang sama akan tiba menjemputnya karena, toh, kepergiannya tidak serta-merta menyembuhkan apa yang telah lama ada, bukan?

Ya, ini teori saja.

Aku tidak akan tahu kalau bukan karena William sendiri yang tumbuh batang hidungnya. Menyungkur, dituntun sempoyongan, senandungkan lagu-lagu lama yang tidak pernah diputar lagi di radio. Jadwal melenceng beberapa jam. Pada hari-hari seperti itu aku mempelajari bahwa kenalanku mesti hidup memendam amarah-amarah kecil yang lalu menumpuk jadi mesiu. Tumpukan ini kemudian menjelma ledakan-ledakan kecil layaknya petasan di malam tahun baru. Tidak pernah cukup besar di mata publik—yang begitu, setiap orang tentu menyimpannya di balik pintu-pintu terkunci. Dari pengamatanku, biasanya berupa vokal meninggi, seruan menghardik, sumpah-serapah, dan argumen tiada ujung.

Yang terakhir paling buruk, menurutku. Lantaran mereka bicara dalam suara rendah, bersiap menggertak satu sama lain, sulit diterka dari kejauhan andai tidak terbantu bahasa tubuh berapi-api. Dorongan agresif, telunjuk tertuding, tangan mencengkeram dan sentuh ditangguhkan.

Mereka mengingatkanku pada waktu dahulu aku sesekali mengintip celah di pintu kamar Maman. William itu—meski pada poin ini kami belum bertatap muka, presensinya terasa familier untukku. Kupikir kita semua pasti mengenal setidaknya satu orang seperti dia. Usianya persis ayahku di tahun dia pergi meninggalkan rumah. Aku kurang suka menarik paralel ini.

Lalu suatu hari ada yang terlempar.

Kejadian tepatnya luput olehku. Suara keras bergema sampai membangunkan seisi kamar, terdengar seperti kaca jendela pecah. Tanpa sepenuhnya mengangkat kepala dari bantal, aku menoleh pada jendelaku dan merasa lega bahwa keduanya masih utuh. Pukul 0200 dini hari, detak dindingku memperingatkan. Bilah-bilah rasional kupungut selagi badanku dipaksa bangkit ke jendela. Tidak sedikit pun aku menyangka mereka akan bergeming terselimut rembulan, di balik tembok yang memagari halaman rusun dan dihiasi coret-coret grafiti.

Kepalanya tertunduk—kenalanku itu, kepalanya tertunduk ditampu kedua telapak yang melekat pada tempurung. Mustahil aku dapat melihat mereka jika bukan karena garis pandangku dari lantai dua. Ada sorot cemas dan bisik-bisik tawar. Momen itu tak ubahnya lukisan romantisisme yang bergerak di hadapan mataku; sepasang figur luluh lantak oleh kelamnya pusaran badai, sekeliling mereka membisu, tak seorangpun mendengar kecamuk itu selain diri mereka sendiri.

Maaf—maafkan aku. Jemari meraba. Tidak begini. Semestinya tidak begini—kita tidak … aku—lenyap. Tirai lungsur di wajahku. Sebuah mobil melintas. Aku mengerjap dan William menangkup tubuh itu, lengannya sebentuk rumah lesu bergeligis, wajah mereka terbenam berat pundak satu sama lain. Aku membuang muka. Saat kulirik terakhir kali, sosok keduanya mulai beranjak ke pintu gedung.

Empat jam berikutnya aku terbaring diam, menekuri waktu yang rasanya tak berpindah sama sekali, begitu lama hingga aku gelisah membayangkan matahari yang, mungkin tidak akan terbit? Mengapa, sudah waktunya keran mengucur, bersiap pergi ke pekerjaan yang kubenci, mengapa langitku masih saja segelap dini hari? Barulah akhirnya kudengar suara-suara air, terjun menghantam aspal dan susunan genting. Laguh-lagah kendaraan juga rutinitas pagi perlahan menyusup lewat jendela. Engselnya terbuka sedikit, aku tidak ingat sejak kapan. Kutinggalkan dia begitu.

Payung terkembang, sepatu menghindari lekuk-lekuk tanah tergenang air berlumpur. Perlu banyak keberanian supaya langkahku berkehendak menyeberangi batas imajiner yang kutarik tepat di tengah-tengah jalan raya. Sepintas, aku menoleh ke belakang, menghadap Le Constantinople dan jendela-jendela kembar di atasnya, berlipat tanpa distingsi hingga lantai ketiga. Milikku tak punya keistimewaan sama sekali. Lapis kaca pantulkan mendung. Lalu, perlahan-lahan aku mendekati gerbang rumah susun. Di sana aku berhenti, sejengkal pun tidak kulangkahi, hanya pandangku yang berperangai menyatupadu potret milik memori dengan kelabunya halaman.

Mudah sekali, menemukannya. Lantaran aku tiba terlalu pagi, petugas kebersihan belum muncul dan lemparan itu masih bersisa. Sebotol vodka hancur berkeping-keping. Mikolasch 1842. Percik alkohol menodai tembok, turun membaur dengan becek tanah berpaving. Serpih-serpih kaca memburai bagai konfeti. Kerlap-kerlip yang dibasahi hujan.

Orang yang lebih bijak mungkin punya solusi lain, perhitungan lain, apa pun itu. Tetapi Saint-Ouen didiami kerumunan sibuk, yang lantas membawaku ke metro, ke gerbong-gerbong berisik, ke distrik pertokoan sampai belakang etalase tempatku mematung delapan jam sehari. Lagi pula, pikirku, hari-hari berikutnya: lagi pula, aku bisa apa?

Dan lagi, batinku, bulan-bulan selanjutnya, ketika pohon-pohon menggundul dan kelompok burung terus melintas ke arah laut: yang seperti itu hanya terjadi satu kali, bukan? Seterusnya, rontok daun tersangkut jendelaku, kadang-kadang.

 

/

 

mereka jadi bulan-bulanan; lakon yang dibintangi lampu-lampu, saling menghantam hingga babak belur wajahnya. Kulit membiru. Mata menghitam. Merah di anak tangan. Reka ulang adegan sepuluh tahun lalu. Tidak ada yang patut ditertawakan, desisnya, tidak ada yang lucu, ataupun cukup menyedihkan sampai mereka anggap lucu. Dialog meluber dari naskah, menyalahi aturan pakem—teater telah mati! Oh, akan jadi apa dunia! Terlalu banyak orang sakit dan pura-pura sakit dan menyakiti diri sendiri. Berhenti menyoroti mereka, Tuan-tuan Lampu! Tidak akan ada yang selamat, pada akhirnya. Lebih baik kita tulis cerita lain yang lebih bahagia!

 

/

 

Percakapanku dengan William terjadi di lorong rumah sakit, tiga hari setelah kenalanku itu pergi diangkut mobil ambulans.

Tidak ada rumah sakit di Saint-Ouen, hanya ada kantor-kantor klinik minimalis yang antreannya tak kunjung tandas. Bisa saja dia dilarikan ke gedung-gedung besar di Montmarte, tapi di sana ada lebih dari tujuh rumah sakit dan aku tidak cukup sabar untuk mengunjungi mereka satu persatu. Lagi pula, seingatku mobil itu melaju ke utara, menyeberangi kanal Saint-Denis. Tebakanku terbilang beruntung.

Centre Hospitalier tampak lebih mirip kantor pelayanan pajak daripada sebuah rumah sakit. Tapi, ini mungkin hanya persepsi ngawur bahwa setiap rumah sakit harus dicat putih luar-dalam. Melalui resepsionis aku dituntun ke bangsal rawat inap di lantai lima.

Kamarnya berada tepat di ujung koridor. Selagi aku mendekat, sepasang ibu dan anak melangkah keluar pintunya. “Nenekmu mestinya bersyukur,” ucap ibu itu, “siapa lagi yang rela datang tiap hari kalau bukan Mama?”

“Ya, Ma.” Anak perempuannya, usia sekolah menengah, menggamit tangan wanita itu.

“Tante Hilda mana peduli. Sibuk saja dia menghamburkan uang. Giliran nenekmu minta dipindah ke Kelas I, dia bilang tidak bisa ikut urunan.”

Cengkerama berlanjut menyusuri lorong bertembok biru. Pintu tertutup di belakang mereka dan aku berhenti di hadapannya. Sayup-sayup kudengar ini-itu tentang Tante Hilda, di mana suaminya bekerja, apa merek sepatu barunya, dst. Di tanganku bingkisan karton, enam butir jeruk mandarin timbul penuh warna, entah mengapa terasa dua kali lebih berat. Bahkan ketika suara-suara itu menghilang sepenuhnya, aku masih tergagu di tempat merasai sudut-sudut karton yang lancip pada telapak tanganku.

Apa pintunya perlu diketok dulu? Ini betul nomor bangsalnya, kan? Bagaimana kalau aku keliru—salah orang? Apa aku perlu turun lagi untuk memastikan?

Ini mustahil, pikirku. Tak ubahnya musim-musim lalu yang kuhabiskan menghindari interaksi langsung dengan orang yang ingin kujenguk. Kenapa aku repot-repot ke sini? Untuk apa mampir ke pasar buah, naik metro sampai Carrefour Pleyel 13, menggigil diterpa angin Februari di sepanjang jalan? Berlama-lama menghadang pintu, aku mulai takut akan ada yang menegur. Alih-alih menjawat kenop, langkahku mundur satu-dua, lantas berakhir terduduk di salah satu bangku panjang hanya beberapa meter dari sana.

Jeruk-jeruk membatu di pangku. Jingga merekah, matang sempurna. Pagi ini aku baru mempelajari jeruk-jeruk bisa dipanen di tengah musim dingin. Kuminta pendapat bapak penjaga kios soal buah-buahan mana yang cocok dibawa menjenguk orang sakit, dia bilang apel itu membosankan dan anggur itu borjuis. Jeruk Mandarin, ujarnya bernada meyakinkan, beri temanmu Jeruk Mandarin. Suaranya membubuhi huruf kapital.

Ingin aku membantah bahwa orang yang sakit ini bukan temanku. Bahwa aku tidak betul-betul tahu dia sakit apa dan ada kemungkinan aku salah menebak rumah sakit lokasinya dirawat. Tetapi bapak itu meneruskan bujuk rayunya, mengabsen desa-desa di Spanyol yang dihuni para petani jeruk; aku agak tersentuh membayangkan perkebunan jeruk itu, rekah jingga memanggilku di antara ringkih musim abu, sepotong kehidupan yang diangkut dari negeri tetangga di mana Februarinya tidak pernah membeku.

Mereka membatu di pangku.

Andai aku punya bolpoin dan secarik kertas, pikirku. Setidaknya aku bisa meninggalkan sekarton jeruk di sana, dengan catatan bernama penerima. Begitu mudahnya aku tiba pada keputusan untuk angkat kaki, sebagaimana hal-hal lain yang sering kuhadapi penuh keraguan, selalu pilihan paling mudah adalah membatalkan rencana satu sampai sepuluh. Ya, kutinggalkan saja jeruknya di sini. Pucuk jemari meraba sudut karton lagi. Lalu ada suara kenop diputar, aku terperanjat.

Pintu yang sama dibuka perlahan, bayangan familier jatuh ke lantai.

Orang itu berpandangan denganku. “Ah—kamu.”

Aku segera bangkit. “Halo,” kataku, tubuh nyaris oleng. Aku tidak tahu kenapa dia menyebut ‘kamu’ seolah kami pernah bertegur sapa sebelumnya.

Kutanyakan padanya apakah kenalanku benar dirawat di kamar ini.

Dia mengangguk. Tangannya terulur, memperkenalkan diri.

“Isabelle,” jawabku sambil menjabatnya. “Saya tinggal tepat di seberang jalan.”

“Ya, dia pernah bercerita.”

Kutarik kembali tanganku yang berkeringat. “Bagaimana keadaannya?”

“Sudah membaik.” William mengangguk. “Kata dokter hanya perlu istirahat, besok lusa dia boleh pulang.”

“Syukurlah,” lanjutku. Pada ujung lidah, hampir lolos pertanyaan yang lama kusimpan di belakang kepala. Namun, yang terlontar justru: “Apa … apa dia terbangun, sekarang?”

Air muka itu dingin, tidak berubah. “Belum,” jawabnya. “Sempat bangun sebentar tadi, sepertinya efek samping obat. Kamu ingin menunggu di dalam?”

Kulirik pintu di belakang punggungnya. William tinggalkan celah sekian senti di mana tampak tirai putih menggantung panjang. Selebihnya, mataku tak menemukan apa-apa. Kala atensi kukembalikan padanya, kurasa lelaki itu hendak memberitahuku sesuatu.

Namun, tak satu pun pengakuan meninggalkan kami.

Dalam hati aku mengingat-ingat hijau netranya yang keruh.

“Mungkin lain kali,” kubilang, meski tahu betul tidak akan ada yang namanya lain kali. “Bisa tolong berikan ini untuknya?”

 

/

 

“Is, kamu jatuh cinta padanya?”

Apa?” Mulutku menganga. “Kenapa bisa berpikir begitu?”

“Ayolah. Kamu baru bicara dengannya dua kali—”

“—tiga kali.”

“Dua. Yang pertama tidak terhitung. Kamu bicara dengannya dua kali tapi sudah membahasnya denganku tiga kali.”

“Cuma selisih satu.”

Jonah mengangkat bahu. “Kamu hampir tidak pernah membicarakan orang asing, Isabelle.”

“Dia tetanggaku—bukan orang asing. Kita tidak boleh membahas tetangga, sekarang?”

“Tidak masalah kalau kamu jatuh cinta dengan tetanggamu.”

“Jonah,” potongku, diikuti jeda kecil. “Dia pria homoseksual.”

“Aku tidak melihat apa hubungannya orientasi seksual dengan perasaanmu padanya tapi—oke, dia sendiri yang memberitahumu?”

Gawat. Semakin aku bicara, semakin situasi ini terdengar memprihatinkan. Garpu di tanganku menyodok gumpal telur orak-arik tanpa selera. “Aku yang melihatnya.”

Pandangku tidak beralih dari piring, pada sudutnya tampak jemari Jonah diketuk-ketukkan ke meja. Dapat kudengar dia coba membetulkan posisi duduk, mencari keakraban dari tegangnya kursi restoran. “Kalau memang begitu,” sambungnya, “aku justru semakin bingung. Jauh lebih masuk akal jika alasanmu itu karena cinta.”

“Maksudnya?”

“Perempuan, kan, begitu. Agak gila saat jatuh cinta. Mantanku dulu juga.”

Aku langsung mengangkat sorot tajam ke arahnya. Jonah balas meraih cangkir kopi yang nyaris kosong, pura-pura tidak mengindahkan.

“Aku tahu cinta itu rasanya seperti apa. Ini bukan cinta, Jonah.” Konversasi di sekitar kami berdengung selagi aku memijat pelan dahiku. “Kamu tahu, di lapangan sekolahku dulu ada kucing liar yang sakit, cacar atau jamur—aku tidak ingat. Anak kelasku ada yang menyebut rabies juga. Tidak ada yang berani dekat-dekat. Dan setiap melihatnya aku sedih sekali, aku ingin membawanya pulang tapi kakakku punya alergi kucing. Aku cuma bisa memandangnya dari jauh. Rasanya mirip seperti itu.”

“Lalu kucingnya bagaimana?”

Aku mengerjap. “Tidak tahu. Beberapa bulan kemudian dia tidak muncul lagi. Hilang entah ke mana.”

“Tidak ada yang melapor ke guru? Minimal dibawa ke dokter hewan, lah.”

Arah pembicaraan ini hendak disetir ke mana, aku sudah menemukan tanda-tandanya. Tentu, Jonah belum kenal cerita lengkapnya; dia tidak tahu peristiwa ini terjadi saat aku masih sekolah dasar, bahwa dokter hewan terdekat mungkin adanya di kota sebelah, jarak dua jam naik mobil. Itu cuma kucing, pernah ada yang berkomentar, hewan sakit ada di mana-mana. Bisa saja aku menjelaskan dalih ini satu-persatu, tapi energiku tiba-tiba habis terbuang di masa lalu. Alhasil tanganku sebatas balik memutar-mutar alat makan.

“Kamu mengingatkanku, Is.” Jonah akhirnya bersuara lagi. Barangkali pasrah memaklumi makna gusar di wajahku. “Ada film Hollywood yang mirip sekali dengan ceritamu. Bukan yang kucing. Cerita satunya, maksudku, soal tetanggamu. Pemainnya Grace Kelly—dia cantik sekali di situ. Aku selalu sedih memikirkan kematiannya.”

“Persetan dengan Grace Kelly.”

“Isabelle?!” Dia terdengar sangat tersinggung. “Kamu harus lihat filmnya.”

“Biar apa?”

“Supaya kamu sadar kalau voyeurisme itu tidak normal.”

“Jangan menyebutku begitu.”

“Baiklah, benar, istilah itu agak terlalu ekstrem. Tapi, tetap saja. Orang normal tidak memata-matai tetangga mereka, Is.”

Separuh porsi makan siangku mendingin tak terjamah. Seribu emosi berkecamuk dalam organku, kompak mendorong apa-apa saja yang telah kutelan sejak pagi: robekan baget, dua buah pisang, secangkir kopi, telur orak-arik dan iris-iris salami. Sekonyong-konyong aku diserang nausea.

“Aku mesti minta maaf padanya,” kubilang.

Jonah bergumam. “Oke, kalau itu maumu. Cuma, aku tidak ikut-ikutan—jangan minta aku mengantarmu sampai depan pintu rumahnya.”

Di seberangku, cangkir dan piring milik Jonah tandas tak bersisa; aku tak habis pikir mengapa dia masih betah duduk menghadapku.

 

/

 

Salju mulai turun lagi ketika aku menyusuri jalan setapak. Tempat tinggalnya kosong—tiga, empat kali aku menekan tombol interkom bertuliskan namanya, tidak ada balasan. Lantai lima, kamar 507. Suara di kepalaku bersikukuh aku boleh masuk saja, toh, pintu utama rusun ini tidak terkunci, semua orang bebas keluar-masuk. Tapi, melangkahi ambang pintu itu sudah perkara lain lagi. Sekiranya aku perlu dua sampai tiga hari kerja untuk mengumpulkan nyali.

Tungkai berayun kaku. Menilik warna paving yang dibercaki lelehan air, jejak sepatuku tergeser ke atas rerumputan. Kebanyakan dari mereka mati menguning, namun tetap kukuh saat kupijak, itu saja cukup—aku hanya tidak suka berjalan di aspal basah. Halaman rusun tampak semakin lengang dan tembok tinggi menyamarkan bising lalu-lintas.

Petak-petak tanah lantas menuntunku keluar jalur. Entah di meter keberapa mataku mulai berair diterkam asap, baunya seperti daun-daun kering yang dibakar. Kuperhatikan bagaimana pohon-pohon yang ditanam saling berjarak semuanya gundul kerontang. Bagai dipikat aroma asap dan bayang-bayang api unggun, langkahku melewatkan gerbang, terus tersambung hingga sisi lain gedung bertingkat itu.

Kertak api menyambutku dengan hangat. Sambil merapatkan mantel, aku mendekatinya.

“Halo!” sapaku, kemudian segera menyesali betapa suaraku terdengar dibuat-buat. Berdehem. “Ça va?”

Fokusnya cepat beralih, dari bara unggun menuju arah suara. Mata itu disipitkan seiring distansi yang kuhapus di antara kami. Lalu akhirnya mereka melebar. “Ah—Isabelle.”

Mengangguk, aku berhenti tak jauh di sebelahnya. “Asapnya terlihat dari sana.”

“Dari tempatmu?”

“Bukan—dari gerbang. Tadi, sebetulnya saya berniat mampir. Saya kira Anda tidak di rumah.”

Kenalanku itu menaikkan kedua alisnya. “Ada acara apa?”

“Oh—tidak ada.” Telunjukku menggosok hidung yang dibasahi tetes salju. “Anu, kemarin, Anda pulang dari rumah sakit, kan?”

Dia terbelalak. “Betul. Kamu dengar dari mana?”

Melalui kilat matanya, aku mulai tengarai satu dan lain hal yang tidak beres. Keringat dingin membasahi telapak dan punggungku. “Dari tetangga,” jawabku, kali ini lebih pelan. “Katanya, Anda dibawa ambulans….”

Seandainya kenalanku itu lebih teliti, dia akan sadar bahwa respons itu sebetulnya kurang masuk akal. Bolong logika di sana-sini. Tetangga—tetangga mana yang dimaksud? Ambulans tentu menjelaskan keberangkatannya ke rumah sakit, bukan kepulangannya. Bagaimana aku bisa tahu tanggal tepatnya dia kembali? Ini semua pertanyaan retrospektif yang timbul padaku kemudian. Namun, entah karena alasan apa, pada momen itu kami berdua sama-sama lebarkan layar di atas awan.

Tangannya meraih sebungkus rokok dari saku jaket. “Rambutmu habis dicat, Isabelle?”

“Maaf?”

“Warna rambutmu. Sekarang jadi cokelat.”

Reflek, aku menyentuh ujung helai-helai yang tak tertutup rajutan topi. “Oh. Ini warna asli rambut saya.”

“Aslinya bukan merah?”

Senyum terkembang singkat. “Bukan.”

“Waktu itu merah, mencolok sekali.” Dia menghisap rokoknya. “Dari situ saya bisa mengenalimu sewaktu di stasiun bensin.”

Aku memang mengecat rambutku merah musim panas lalu. Warnanya telah luntur sejak lama—bahkan, di pertemuan kami selanjutnya, aku yakin rona cokelatnya sudah dominan. Aku tak mengerti dari mana dia berprasangka merah seterang itu bisa jadi warna alami rambutku. Memang tidak tahu atau berlagak naif saja? Tiba-tiba aku merasa poin kebohonganku bertambah satu lagi.

Rumput basah berkerisik ditimpa sol sepatuku. “Anda suka jeruk, Monsieur?”

Aku mengantisipasi sesuatu yang mirip terima kasih, atau apresiasi, apa pun itu yang bertolak belakang dengan rasa bersalah. Sedikit pun aku tak menduga dia sebatas menyahut: “Ya, lumayan.”

Betul-betul, ada yang tak beres. Tidak ada buku panduan yang bisa memanduku sampai garis finis. Tuhan sudah lepas tangan. Kuingat lagi hijau di mata William hari itu; menudingku seolah dia pun mengenali jendela kamarku serta jam-jam yang kuhabiskan duduk di sampingnya. Kamu, sebutnya, seakan kami saling mengenal dan diam-diam merasuki mimpi satu sama lain. Aku menghirup udara berasap lalu susah-payah menelan batuk yang hampir beranak-pinak. Karton pembungkus jeruk-jeruk mungkin sedang terbakar juga di suatu tempat lain.

“Itu apa? Kursi?” tanyaku setelah mendalami bentuk abstrak yang dilalap api.

“Kursi lama. Kakinya patah.”

Jika menyebut kursi lama, aku akan membayangkan ukir kayu antik dan sudut-sudut melengkung, tipe kursi yang kamu temui di perpustakaan atau museum. Kursi ini, bagiku teramat jauh dari kata lama—setiap sisinya berpotongan runcing, permukaannya polos, bentuknya mengingatkanku pada halaman-halaman majalah arsitektur.

Bukan kursi yang ditinggali, pikirku. Ini kursi yang dihancurkan. Dibanting hingga patah kaki-kakinya. Dilempar lalu meninggalkan bekas pada tembok.

Aku melirik ke arahnya. Akan jauh lebih mudah bila aku mengakui dosa-dosaku sekarang juga, memberitahunya bahwa tidak ada tetangga yang membawa kabar ambulans, bahwa aku sempat mengunjungi bangsalnya di rumah sakit tiga hari lalu. Aku ingin menyebut nama William berserta manik hijaunya, lalu menenggak habis reaksi macam apa yang terbit pada raut muka itu. Kudapati kesalahan-kesalahanku mengapung bersama asap, disusul ketakutan-ketakutan yang menggambarkan masa depan. Satu menit dari sekarang, lima menit, satu jam—mereka bagai pohon keluarga yang terus bercabang tanpa henti.

Kenalanku itu tenggelam, barangkali juga di sekeliling ketakutan-ketakutannya sendiri. Kelabu di matanya tak ayal imbangi asap mengudara. Kilau api tidak terpantul di sana, melainkan pada buku-buku jarinya yang mengapit sebatang rokok.

Lilit perban melingkari satu-dua jemari itu. Kemudian, mendekap sebagian besar lehernya.

Di dasar timbunan arang, ada serat-serat yang hancur jadi abu.

Diselimut keheningan, wajahku berpaling menuju tembok pagar, seakan mataku bisa menerobosnya sampai jalan raya lalu mobil-mobil dan gedung restoran di seberang sana.(*)


Comments