Breakfast at Home
tidak ada habisnya dia bercerita tentang mimpi-mimpi itu. Semalam,
kemarin, minggu lalu—dia seperti penangkap mimpi seandainya suatu penangkap
mimpi tiba-tiba bermimpi untuk jadi manusia. Kadang kamu menekuni tanda-tanda
kesadaran dalam rautnya. Apakah pandangnya terfokus? Apakah tampak setengah
lingkar hitam di bawah matanya? Apakah dia punya bau mulut? (Ini menentukan
sudah-tidaknya dia menggosok gigi). Berapa cangkir kopi yang dia teguk pagi
itu? Tapi tentu saja kamu tak pernah menemukan apa pun, dan hari ini kamu
merasa baiknya membaca sekeping cermin saja.
“Ada ledakan,” katanya. Tanpa menengok, bisa kamu
bayangkan cahaya di pupilnya yang melebar. “Ada yang merakit bom di kamar
paling ujung. Ledakannya tidak menyentuh kita, tapi setelah itu orang
berduyun-duyun melempar batu dari luar jendela.”
“Di lantai empat? Kita diserang atlet lempar lembing?”
“Mungkin bukan dilempari—kelihatannya seperti hujan
batu. Pecahan kaca di mana-mana.”
“Jangan-jangan mimpimu dirasuki Eleanor Vance.”
“Tapi kerumunan orang betul-betul mengepung kita.
Seruan mereka nyaring sekali, terdengar sampai koridor.” Lelaki itu masih
berjalan mondar-mandir, lalu suara langkahnya terhenti tak jauh di belakangmu.
“Aku tidak tahu Eleanor Vance itu siapa.”
“Lupakan saja, tidak penting.”
Dia menggumamkan baiklah yang agak terlalu
lirih. Kamu hampir-hampir khawatir bila reaksimu berlebihan, atau kamu salah
bicara. Namun ceritanya bergegas menuju babak ketiga di mana kalian meniti
koridor ke tangga darurat, susah payah menghindari batu-batu yang memelesat
masuk. Suaranya kembali serius. Diterpa angin lega, kamu memastikan semua rak
terkunci sebelum kemudian memutar keran wastafel.
Sabunnya beraroma samar. Aroma bebungaan. Awalnya kamu
mengira seseorang mengganti mereknya tanpa konsultasi terlebih dahulu. Pasti
Adam yang tidak becus itu—si bodoh mana lagi yang bakal mengisi dispenser lab
dengan sabun berpewangi? Tanganmu dibilas bersih, menyambar botol sabun untuk
kamu bawa ke ruang penyimpanan. Memang yang niat kerja di sini cuma kamu
seorang. Perintah ini-itu tidak pernah ada yang beres di pundak orang lain.
Semua-mua harus kamu yang menggarap.
Ketika berpaling, tahu-tahu dia sudah berdiri dua
langkah di sampingmu. Celotehnya mandek. “Apa,” tukasmu, suara cukup agresif
hingga mendarat jauh di luar kategori kata tanya. Berdehem, nyeri di
tenggorokanmu semakin tersulut. “Kita kabur lalu ketemu Dr. Montague?”
“Tidak.” Lelaki itu menggeleng. Rambutnya yang disisir
rapi ke belakang mengilap ditimpa binar lampu. Dia tampak sewangi anak bayi
yang baru mandi sore. “Hanya kita berdua. Aku, kamu. Dan Gordon. Dia di
sana juga. Tapi aku tidak sebegitu menghiraukannya. Pelipismu tergores lemparan
batu.”
Sedikit lagi, mimpi itu dapat berbuah romantis. Tinggal
puntir bagian paling akhir, luka gores satu-dua tidak masalah, hanya kalau bisa
usir Gordon ke suatu tempat yang jauh supaya kalian bisa bicara bisik-bisik. Berdua
saja. Mengeja pelan nama satu sama lain seperti doa baik sebelum tidur. Tetapi,
mimpi atau bukan, kepalamu tengah berdenyut-denyut; sedang kata-katanya hangat kepada
imitasimu yang tercipta oleh alam bawah sadarnya. Kamu menenteng botol sabun
keluar ruang bedah.
“Ada minimarket. Luas. Semua lampu menyala. Tapi tidak
ada siapa-siapa di dalam.”
“Mereka jual sabun, tidak? Barang nomor satu yang
kubutuhkan sekarang.”
“Pasti ada,” jawabnya, “tapi yang kucari hanya perban,
untuk lukamu.”
Kamu menjeda geledah lemari, tatapan dilayangkan
padanya. “Aku agak sulit percaya pada kredibilitas mimpimu ini. Mustahil aku
tidak punya kotak P3K.”
“Maaf, Albert.” Dia kubur kedua tangan di saku mantel.
“Kalaupun ada, kamu tidak memberitahuku.”
Kardus-kardus masker dan sarung tangan lateks mendadak
berlipat ganda. Terpaksa kamu pejamkan mata beberapa detik, mengerjap beberapa
kali sampai kuantitas mereka tidak lagi menyalahi aturan. Benakmu bagai tergelincir
dan kamu memikirkan kamu yang bernapas dalam mimpinya. Apakah itu imitasi atau
memori? Ataukah kombinasi akan keduanya? Pikirmu, kamu tidak akan mengenali maupun
menjabat tangan itu.
“Sekarang kamu tahu kenapa aku jarang turun lapangan,”
lanjutmu seraya bergeser ke lemari sebelah. “Di situ ada Hibiclens, tidak?”
“Hi-bi-klens?”
“Ya. Aku sudah sering bilang, pasang label kalau
perlu, tapi mereka ngotot menyusun versi barunya Dewey Decimal. Beruntung
lampunya nyala sejak tadi, bisa-bisa cari saklar saja makan satu jam.”
“Ini bukan?”
Yang mengagetkanmu waktu itu bukan botol sabun yang dia
sodorkan. Barangkali jarak antara kalian yang semakin dipangkas, namun
garisbawahi proses sebab-akibat yang ikut menyertai posisi kalian berdiri. Kamu
mulai menangkap aroma wewangian serupa. Kali ini jelas-jelas tidak bersumber
dari botol sabun yang masih tersegel. Pandangmu menelisik wajah lelaki itu,
setelan bajunya yang disetrika rapi, dasinya yang bercorak garis-garis biru,
sebelah tangannya yang diulurkan padamu.
“Ketemu di mana?” tanyamu.
“Di situ.” Jemari menunjuk rak terbuka yang sedari
tadi kamu punggungi. Setidaknya dua lusin botol Hibiklens berjajar di sana.
“Tidak ada sisa,” ujarnya selepas duduk di hadapanmu.
“Aku terlambat sepuluh menit, katanya.”
Permintaan maaf lolos tanpa aba-aba. “Harusnya aku
tidak usah repot-repot tukar botol sabun tadi,” tambahmu.
“Tidak apa-apa, Albert.” Tersenyum, dia meraih gagang
cangkir. Sepintas kamu berharap afirmasi itu masih disemati sekuel. Titik-titik
menghabiskan waktu titik-titik kamu. Semacam itulah. Lalu dia letakkan
kembali cangkir kopinya dan kamu terima bahwa titik kalimatnya memang cuma
satu.
“Akhirnya,” sambungmu, “mimpi itu bagaimana?”
“Aku bangun pukul enam.”
“Maksudku sebelumnya—sebelum bangun, apa yang kamu
lihat?”
Dia menatapmu cukup lama. Cukup lama yang menggelitik napasmu
lantas kamu menunduk sekilas pada semangkuk bubur yang baru habis beberapa suap.
Sendokmu berputar mengaduk isinya bagai adonan kue. Ketika warna putih hanya
tersisa pada dinding mangkuk, dia akhirnya menjawab: “Aku tidak ingat.”
Kamu mengerutkan dahi, kemudian tertawa pelan.
Jelas kamu tahu, terdapat limitasi dalam katalog bunga
tidur yang dirawatnya dengan telaten. Mau serinci apa pun dia menata kebun
ingatannya, kerap kali dia masih akan melupakan sepotong momen terakhir.
Seolah-olah mereka menolak dicoreti garis batas antara malam dan pagi. Mimpi-mimpi
itu lebih suka memburam lalu lenyap bersama kabut.
“Lamunan yang antiklimaks. Kamu seperti anak
kebanggaan Tarkovsky,” komentarmu. “Aku heran kenapa kamu tidak pernah merasa
terganggu—tiba-tiba dibangunkan.”
Bibirnya mengulas senyum maha-tahu; yang manis
sekaligus menyebalkan. “Menurut hematku, ada alasan kenapa mereka tidak pernah
betul-betul utuh. Keping yang hilang pasti bersembunyi di suatu tempat,
menunggu kita untuk menemukannya.”
Bergumam, kamu menyendok sesuap bubur. Rasanya agak
campur-aduk, asin sekaligus pahit, disusul cecap metalik. Tapi temperaturnya
menenangkan nyeri yang masih menetap di tenggorokanmu. Ingatkan untuk mampir ke
apotek nanti. Sekarang, kamu cukup melahap bubur dengan rasa tidak karuan itu. Beli
obat urusan belakang.
“Albert,” panggilnya.
“Ya?”
Tanganmu belum berhenti menyendok. Bagian tengah
mangkuk yang masih panas lantas bermigrasi ke mulut, lidahmu hampir terbakar. Buru-buru
kamu meraih segelas air. Satu rasa sakit tergantikan oleh yang lain.
“Albert,” panggilnya lagi.
“Apa?” Sensasi melilit di tenggorokan menyertai
sahutanmu, tapi kamu masih mengatakannya.
Lalu kamu tersadar kini gilirannya untuk menekuni
rautmu; fokus pandangmu; setengah lingkar hitam di bawah mata; bau napas; suaramu
yang miring ke bawah empat puluh lima derajat.
“Aku baik-baik saja.” Kamu mengibas tangan di udara,
sekaligus mengusir rekam ingatan soal bergelas-gelas kopi instan dan dua belas
jam ke belakang yang kamu tekuni di ruang bedah, seolah kamu tak ingin mereka
lompat ke sana ke mari sampai jatuh berceceran di meja.
“Aku tahu kamu beli parfum baru,” tambahmu, meski
tidak sepenuhnya yakin kenapa kamu mengucapkannya.
Dia kelihatan terperangah, kamu juga tidak yakin
kenapa. Setelah membetulkan posisi duduk, dia cuma bilang: “Kamu perlu tidur di
rumah.”
“Memang begitu rencananya.”
Dari kilat matanya, kamu mengira sebuah pertanyaan
retoris (menurut sudut pandangmu) akan menyusul. Terus, kenapa masih di
sini? Perkara sabun dan bubur yang tidak enak. Perjalanan ke apotek lalu ke
rumah. Hari itu Kamis pagi. Kalian pergi sarapan bersama setiap Kamis pagi. Kenapa
masih di sini?
Comments
Post a Comment