robbery and bouquet



Richard tahu surat itu akan datang lagi.

Pagi setelah mengikat sepatu ia akan menjenguk sepintas kotak pos yang kebanjiran. Ia akan mempertimbangkan keputusan untuk menguras kosong isinya, memilah-milah antara surat peringatan perpustakaan, rubrik mingguan gereja setempat, pamflet sekolah swasta, brosur berlangganan televisi kabel, brosur pusat kebugaran, kupon diskon restoran cepat saji. Adakalanya ia akan dapati kotak pos milik penghuni ruang apartemen sebelah kemudian merasa malu karena tidak ada lembar warna-warni yang berjejal di sana, tetapi yang begitu teramat jarang terjadi dan sebelum Richard menekuni arah benang kontemplasi itu ia terlanjur menggeleng sambil mengecek arloji. Tidak sekarang, ia pikir, tidak boleh terlambat, ada dokumen penting yang perlu disiapkan untuk asistensi, atau jalannya nanti macet.

Sekembalinya, malam terlampau larut dan lampu koridor terlalu remang-remang. Fokus Richard tak akan jauh-jauh dari rencengan kunci beserta kenop pintu.

Namun, tentu ini bukan masalah. Meski berminggu-minggu ia menunda niat, memantau bagaimana kotak itu terus membengkak, tutupnya yang kini menganga dan satu-dua lembar buram jatuh berserak, terinjak lalu-lalang. Kalender di meja terlambat dibalik tiga hari. Batinnya menghitung akhir pekan demi akhir pekan yang terus terlewat. Richard tahu surat itu akan sampai di alamatnya. Suatu pagi ia berharap surat itu tidak akan datang, tetapi ia pun sadar betapa naifnya doa itu. Di pagi lain ia berharap kotak posnya menelan surat itu bulat-bulat, menenggelamkannya di antara tinta murah dan cetakan huruf-huruf tebal. Namun, ini tidak jadi masalah.

Dari Olivia. Richard dengar siaran terbata-bata. Ia lupa hari apa itu tepatnya. Wangi deterjen tercium samar dari kemeja abu-abu yang ia pakai, masih segar dari penatu, artinya hari itu antara Selasa atau Kamis. Kenapa Francis harus memilih hari kerja? Richard pikir emosi yang menyesakkan napasnya adalah jengkel; kejam sekali, komentar suara di kepalanya, bukankah seharusnya aku sedih? Tetapi suara di seberang telepon masih tersela isak lirih, hati ibu yang perlahan tenggelam diseret ombak. Richard tak lagi yakin emosi apa itu sebenarnya, yang mulai membebani lidah ketika ia menanyakan tanggal pemakaman.

Ia mengemas singkat. Satu setel pakaian formal, perlengkapan sanitasi, kartu identitas. Koper Richard jauh lebih ringan dibanding saat perjalanan terakhirnya ke Boston. Masih sama, pikirnya, seperti waktu itu. Celana juga kemeja dilipat dalam dimensi serupa, tiada satu senti pun perubahan posisi mereka, Richard mengingat waktu itu terlalu jelas lalu menerka apakah memang belum lama sejak ia pulang seorang diri tanpa membawa apa pun selain penolakan absolut. Gerakannya metodis, seolah ini sebuah ritual yang telah ia latih berkali-kali di dalam benaknya. Seperti halnya waktu itu. Seperti dejavu. Ditentengnya koper yang ringan, ditutupnya tirai pada jendela, dikuncinya pintu kamar dan ruang tamu. Lembar warna-warni masih membanjiri kotak pos.

 


 

 

“Ya, tentu saja, Richard.”

“Apa aku perlu menjemputmu di bandara?”

“Tidak—jangan repot-repot. Akan kutemui di sana.”

“Sudah tahu alamatnya, ‘kan?”

“Ya, sudah kucatat.”

Richard mengarsir tombol-tombol yang timbul pada pesawat telepon, memikirkan apa yang patut ia ucap kemudian. Bandaranya tidak jauh dari hotel, atau aku tidak keberatan menjemputmu? Sempat terpikir olehnya untuk menanyakan, kau tidak apa-apa? Tetapi suara Camilla masih selantang ingatannya bertahun-tahun lalu. Untuk apa bertanya hal yang mereka sama-sama tahu jawabannya? Beberapa detik, transmisi itu hening dan Richard memandang langit Boston dari balik kaca yang buram.

“Baiklah,” lanjutnya, “kutunggu di sana.”

“Sampai jumpa, Richard.”

Camilla memutus sambungan. Richard biarkan bunyi nyaring memanjang satu-dua garis sebelum gagang telepon ia kembalikan ke letak semula. Butir koin yang masih tersisa ditinggalkannya di atas boks telepon. Bilik itu mulai terasa menyesakkan sehingga ia tergesa mendorong pintu, menapakkan kaki ke pematang jalan.

Kali ini, ia mencoba hati-hati. Barangkali agak sulit dipercaya, tetapi kepalanya hampir kejatuhan sebidang papan reklame lima menit lalu. Terlambat lima jengkal saja, namanya bisa terpampang di wajah surat kabar Massachusetts (pria 28 tahun inisal JP, tewas tertimpa papan reklame). Gara-gara badai kemarin, menurut wanita paruh baya yang menjaga kasir deli. Mobil-mobil berhenti. Orang-orang berkerumun di tepi jalan. Ada yang berteriak menyuruh lapor polisi. Kayu lapuk setinggi dua meter kini remuk berkeping-keping. Richard tidak bisa mengenali produk apa yang tadinya dipajang di situ.

Ada yang menanyainya, kau tidak apa-apa? Ia hanya mengangguk singkat, kemudian berlalu.

Jika temannya ada di sana, satu dari mereka akan menuding papan itu sebagai tengara—pertanda buruk. Henry, terutama, yang selalu tahu apa arti dari setiap mimpi dan arah terbang burung-burung. Seandainya ia ceritakan pada Camilla, di telepon, perempuan itu akan terdiam sesaat sebelum mewanti Richard untuk lebih waspada dengan sekitar. Richard simpan cerita itu sendiri sebab ia tahu membahasnya hanya akan mengingatkan mereka pada orang yang sama.

Agaknya itu tidak adil, pada Francis.

Sebisa mungkin, Richard tidak ingin memikirkan Francis.

Langkahnya terhenti di tepi jalur penyebrangan. Kendaraan melintas selagi Richard mengangkat atensi, memastikan di atasnya kini hanya ada arak-arak awan kelabu, tidak ada papan reklame atau lampu jalan atau tiang listrik yang sudah miring. Satu-dua pejalan kaki lain merapat di sebelahnya. Ia bergeser sedikit supaya posisinya menjauh dari lampu lalu-lintas.

Momen itulah Richard melihat tanda tutup pada jendela toko bunga. Ganjil, ia pikir, sebab toko itu nyaris penuh oleh pengunjung dan ember-ember bunga segar berbaris hingga meluber ke trotoar. Mungkin pegawai toko lupa membalik plakat buka? Richard berkedip saja pada remang-remang refleksinya, mematung di sana sepanjang waktu yang ia rasa lama sekali. Ketika lampu mengerjap hijau lalu orang-orang berangsur hilir-mudik, dengan lancang sepatunya terbenam di tempat. Richard harus pergi. Alamat rumah duka tersimpan di catatan kecilnya. Ia telah menghafal rute paling singkat yang bisa ditemukannya dalam peta sekitar. Lima belas menit naik taksi; sekitar empat puluh sampai lima puluh menit berjalan kaki; tidak jauh, tidak masalah. Tetapi ia harus pergi segera. Richard tidak ingin terlambat, juga tidak ingin tiba terlalu awal. Jam berapa sekarang?

Richard membayangkan peti mati. Ia melangkah menuju pintu toko.

 


 

 

Di dalam sana dingin. Seorang wanita beranjak keluar hampir bersamaan dengan Richard. Wanita itu menahan pintu untuknya. Richard tidak sempat mengucap terima kasih.

Hawanya dingin—lebih dingin dari udara luar yang disisipi asap kendaraan. Langit-langitnya melambung tinggi, dengan lampu-lampu gantung yang menyala pucat. Pancarona rangkai bunga berhambur, meramaikan setiap jengkal pandangnya. Aroma mereka saling melebur: manis, kesat, berlama-lama selimuti kulit Richard. Orang-orang berbicara dengan suara lirih, ia tak habis pikir kenapa, seakan mereka berada di museum di mana bunga-bunga tertidur lelap, dan menaikkan suara barang sedikit saja akan membangunkan salah satu, lalu diikuti yang lain, lalu seisi toko akan dibanjiri suara tangis tanaman.

Olehnya mulut Richard terkunci. Ia ambil langkah perlahan-lahan. Tidak ada yang melihatnya masuk tadi—kecuali wanita yang menahan pintu. Tidak ada yang menghiraukan ketika Richard menyusur deret pot dan ember, rak demi rak yang membentuk sekat dan dua lorong panjang, jambangan gantung serta dedaunan yang menjulur dari sana. Namun percakapan mereka berubah bisik-bisik semakin ia mendekat, bagai sengaja dipelankan walau satu lirikan pun tidak ia terima.

Pada ujung lorong pertama Richard mencari siluet karyawan toko. Memang itu tujuan utamanya masuk ke sini—untuk memberitahu mereka soal plakat yang belum dibalik—ya, ‘kan? Ia tidak berniat membeli bunga atau apa, ia bahkan tak yakin apakah ia diizinkan membawa satu. Kau mesti menanyakannya dulu, hal seperti itu. Biasanya tertulis juga pada lembar obituarium, disertai alamat rumah duka dan tanah makam. Tetapi Richard tidak menerima obituarium. Tadi pagi segulung koran diletakkan di depan pintu kamar hotelnya, nyaris tertendang ke dinding ketika ia melangkah keluar. Sepintas Richard pertimbangkan untuk membawa serta koran itu, atau lebih baik disimpan saja di dalam? Bagaimana kalau pada salah satu halaman, ada obituarium yang tidak sempat dikirim ke alamatnya? Kata-kata apa yang akan tertulis di sana?

Richard berakhir meninggalkan gulungan kertas itu di tempat. Pikirnya, ia telah simpan semua informasi yang ia perlu. Tidak ada poinnya mencari secarik kabar duka yang kemungkinan besar hanya menutup-nutupi dosa yang Francis perbuat. Mereka akan mengabaikan minggu-minggu yang Francis lalui di rumah sakit beberapa bulan lalu; pelayan malang yang menemukannya di bak mandi; laki-laki yang menyelinap ke kamar tidurnya pada malam-malam tertentu. Mereka akan berpura-pura semua itu tidak pernah terjadi dan mengingat Francis yang senantiasa tersenyum pada potret monokrom berpigura.

Akan ada banyak sekali bunga. Di rumah duka, di koridor gereja, pada mobil-mobil hitam yang melaju pelan sampai ke tanah perkuburan. Seikat buket dari Richard tidak akan ada artinya.

Ia telah berjalan kembali ke pintu masuk saat itu. Matanya temukan seorang pria yang berdiri di belakang meja kasir. Ia bisa langsung menghampirinya sekarang, mengutarakan maksud awalnya ke sini, tetapi lelaki itu tampak sibuk menata rangkai bunga sambil bicara dengan beberapa pelanggan. Di samping Richard lemari pendingin berdengung semu, menyimpan ember-ember berisi ikat bunga yang terbungkus kertas putih. Sekelebat ia berusaha mengintip rupa mereka. Lili putih.

Richard harus pergi. Jam berapa sekarang? Ia mengecek arloji, lalu terdengar bunyi keras dari luar.

Setiap kepala menoleh, setiap bisik-bisik terhenti, seruan sahut-menyahut mengikuti apa yang Richard simpulkan sebagai bunyi kaca pecah. Panggil polisi! teriak seseorang. Toko itu tak lagi tenggelam oleh gema percakapan lirih, tergantikan derap sepatu yang diangkat menuju pintu dan jendela. Di gedung sebelah, ujar seseorang, dengan suara lebih lantang, pasti di toko perhiasan itu!

Karangan bunga ditinggalkan di meja kasir, karyawan yang tadi berdiri di sana telah tergesa keluar dan semestinya menyadari plakat pada jendelanya belum ia balik. Richard perhatikan mobil-mobil yang tetap berhenti meski lampu lalu-lintas berubah hijau, orang-orang yang meluber ke trotoar, tidak peduli perampok yang mereka cari telah hilang di persimpangan atau mobil polisi yang mereka telepon tak kunjung datang juga.

Di dalam sana masih dingin. Lampunya masih pucat. Lemari pendingin di sisi Richard masih berdengung selagi ia memikirkan keping-keping pecahan kaca yang berserakan di luar. Untuk pertama kalinya hari itu Richard mengakui betapa ia enggan untuk pergi. Ia ingin pulang, tetapi rumah tak punya apa-apa selain kotak pos yang dijejali sampah dan sofa yang tampak sempit. Surat itu, tidak pernah datang rupa-rupanya. Richard memikirkan kenapa kiranya Francis pergi tanpa memberitahunya kali ini. Richard memikirkan Francis. Ia tidak ingin memikirkan Francis. Ia pikir, seharusnya ia todong Francis dengan ajakan itu sekali lagi, beberapa bulan lalu, sebanyak apa pun hingga lelaki itu menyerah lalu terima uluran tangannya. Seandainya bukan Richard, barangkali ia akan setuju. Seandainya bukan dirinya.

Richard meraih pintu lemari pendingin. Dengungnya semakin keras kala dibuka, udara beku kontan menyergap wajahnya. Tidak ada yang melihatnya mencabut seikat lili putih dalam balutan kertas. Tidak ada yang menghentikan langkah pelannya keluar.

Comments