Hari ini, lagi-lagi
Sepatu dan buku bersampul tipis telah ditinggalkan di rerumput ketika kamu tiba. Kaus kakinya juga di sana, menjuntai dari rongga pantofel hitam dan dirayapi dua ekor kumbang daun. Kamu biarkan mereka merajut lingkar-lingkar imajiner pada garis benang biru pudar. Kamu pilih untuk mencari pemiliknya, yang akan menggerutu kesal saat menemukan dua kumbang itu dan mengomelimu yang tidak cukup peka untuk menjentikkan mereka ke sisi lain taman dan bagaimana kalau sepatuku tiba-tiba jadi rumah serangga? Kan geli? Kamu, kok, tega sekali padaku? Ini, lho, sepatu terakhirku yang masih bagus. Itu semua perkara nanti. Masalah untuk dirimu di masa depan. Sekarang, kamu hanya ingin menemuinya.
Kira-kira, ke mana dia perginya? Gelas kertas masih hangat di genggamanmu. Sepintas kamu menimang-nimang untuk meninggalkannya juga, letakkan mereka bertumpu edisi lama Orlando: Sebuah Biografi yang jelas lebih seimbang dari tanah berumput, namun terhenti oleh kemungkinan semut-semut yang bakal ikut terpanggil. Mereka ikut denganmu memutari pohon tabebuya, menginjak beberapa kelopak kuning yang gugur, sepuluh-tiga puluh—seratus langkah dari pohon satu ke pohon lain, bocah-bocah yang berkejaran diikuti seekor anjing, ibu yang menghardik saat salah satu dari mereka hampir tersandung batu, penjual kacang rebus keliling, pelari yang sudah memutari jalur ini untuk ketiga kalinya, nenek tua di kursi roda, gadis kecil menggamit tangan ayahnya dan sebongkah utuh baget, perempuan muda yang menatapmu sedetik terlalu lama, laki-laki muda yang menatap dua gelas kopi di tanganmu lima detik terlalu lama, pria paruh baya, sepasang suami-istri, sekawanan angsa.
“Permisi,” ujarmu pada penjual kacang rebus keliling yang berpapasan denganmu lagi.
“Tiga bungkus sepuluh ribu saja,” jawabnya sambil menjamah tiga bungkus plastik di keranjangnya.
“Anu....” Kamu ingin menolaknya dengan halus, tetapi dia terlanjur antusias menyodorkan kantong-kantong berisi kacang dan kamu jadi merasa sungkan. “Satu saja, berapa? Lima ribu...? Ya sudah, sekalian tiga.”
Kamu pinta bapak itu memasukkan tiga bungkus kacang rebus ke dalam saku jaketmu, karena, ingat, tanganmu masih harus mengawal dua gelas kopi. Kemudian kamu tersadar kamu masih harus mengambil dompet dari saku celana, sehingga kamu pinta lagi bapak itu memegang dua gelas kertas itu untukmu.
“Bapak, tadi lihat seorang laki-laki lewat sini?” tanyamu sambil menarik selembar sepuluh ribuan. Disertai erm dan ah, kamu coba jelaskan ciri-cirinya sesederhana mungkin. Sederhana tetapi detail. Mudah dikenali sekaligus cukup spesifik. Sebab di taman itu pasti ada sekurang-kurangnya sepuluh orang berbeda yang sama-sama punya kacamata bundar, berambut ikal, (kemungkinan) memakai mantel kasmir cokelat tua dan (kemungkinan) celana katun hitam.
“Saya lihat orang banyak, Nak,” jawab si Penjual Kacang Rebus Keliling.
“Oh, iya.” Nyaris saja kamu melupakan detail paling penting. “Dia tidak pakai sepatu.”
Telunjuk Bapak Penjual Kacang Rebus Keliling menuntunmu kembali ke arah kedatanganmu. Kamu sempat mengernyit dan ingin pulang saja. Bisa-bisa energimu habis hanya untuk berputar-putar di timur taman kota. Lebih baik kamu kembali ke kontrakanmu yang sempit itu, duduk di depan kipas angin sambil habiskan dua gelas kopi tubruk seorang diri. Tetapi mereka pun sudah mulai mendingin oleh sentuhanmu, tutup plastiknya mengembun dan uapnya tidak bersisa. Kantong jaketmu berat oleh tiga bungkus kacang rebus yang tak kalah anyep. Seorang bocah nyaris menubrukmu dengan papan luncurnya. Kamu hampir menyerah, merentak sepal-sepal tabebuya, sampai kemudian pandangmu menemukannya.
“Oh, halo.” Dia mendongak padamu, sebelah tangannya masih mengusap kepala kucing yang matanya terpejam menikmati sinar pagi. Betul bahwa dia mengenakan celana katun hitam. Hanya, ternyata, mantel kasmirnya ditinggal di gantungan samping pintu rumahnya dan kamu belum pernah melihat sweter yang dia kenakan hari ini. “Sudah setengah sebelas, kamu dari mana saja?”
“Aku tadi mencarimu.”
“Bukannya kita sudah janjian di sini?”
“Kemarin kamu bilang di bawah pohon tabebuya, dekat bangku yang ada namanya Pak Walikota.”
“Lah, iya. Di sini, kan?”
“Ini pohon dedalu, Bambang.”
Panggilanmu menyentak bahunya, sebab namanya bukan Bambang dan nama bapaknya juga bukan Bambang. Kamu hanya memakai panggilan itu di ujung rasa frustrasi atau setiap dia ngotot kalau mentimun itu termasuk sayur bukan buah-buahan. Masih mendongak, dia lalu memeriksa bentang alam sekitar kalian seperti ingin mencari bukti bahwa kamu keliru dan dialah yang benar. Tetapi benar adanya bahwa dia tengah berjongkok di bawah pohon dedalu yang rantingnya menjulur sedih hingga menyembunyikan sosoknya darimu sepagian ini.
“Tapi tidak jauh, kan?” dalihnya. “Lihat, tabebuyanya juga berjatuhan sampai sini, kok.”
“Tetap saja ini pohon dedalu.”
“Iya, deh. Maaf,” ujarnya lalu bangkit mengikuti langkahmu. Kamu diam saja ketika dia meraih salah satu gelas kopi tanpa basa-basi. “Sepatuku kutinggal di sana, lho. Masa kamu pikir aku bakal ngeluyur jauh-jauh?”
“Ya, aku lihat.”
“Terus? Padahal kamu tinggal tunggu di situ juga aku pasti balik sendiri.”
“Iya, sih.”
“Kopinya dingin, by the way.”
“Coba dipikir itu salah siapa.”
Dia merangkul bahumu. “Kan, aku sudah minta maaf. Dimaafkan, ya? Besok-besok aku tidak akan kejar kucing lagi. Sini, dengar, aku baru dapat surel kemarin....”
Sepasang sepatu dan satu eksemplar Orlando: Sebuah Biografi masih tergeletak di posisi mereka ditinggalkan. Tubuhmu sudah lemas saat dia menarikmu duduk di ruang kosong yang belum dibanjiri tabebuya. Kamu hanya bersyukur bisa mengistirahatkan kaki selagi dia mulai merepet soal surel yang sampai di kotak masuknya semalam, nama-nama yang kamu ingat sebagai koleganya dan tidak kamu kenal sama sekali. Kakinya yang pucat bernoda tanah, tampak seperti bungkal lobak yang baru dipanen. Sejumput daun tersangkut di rambutnya dan kamu tidak berkata apa-apa.
“Jadi, mungkin, aku akan ambil tawarannya.”
Kamu mengerjap. “Oh.... Sudah ... sudah kamu bicarakan dengan HR?”
“Surelnya baru datang kemarin, Sayang. Ini hari Sabtu.”
“Oke.” Bahumu terangkat. “Kamu yakin?”
“Harusnya aku yang tanya begitu padamu.”
“Aku? Kenapa aku? Kan, yang dapat tawaran kerja kamu?”
Dia menatapmu sebentar; sebentar yang terasa lama sekali. Lalu dia berpaling ke arah jalan setapak yang dilintasi orang-orang. Tidak ada habisnya, mereka, berkelindan membentuk potret yang sama dari minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun, dan tanpa sadar kalian sudah tidak semuda dahulu ketika bangku taman belum ditempeli nama Pak Walikota dan kota ini masih cukup luas untuk ditelusuri setiap sudutnya.
“Kucing yang tadi,” sambungnya, mata masih menerawang ke arah jalan dan pohon-pohon, “kakinya pincang. Percaya tidak? Ada anak-anak kecil yang melemparinya dengan kerikil.”
Kamu membuang napas. “Aku tadi nyaris ditubruk bocah yang naik skateboard.”
“Aku semakin tidak ingin punya anak.”
“Sama.”
Dia akhirnya menoleh, melempar senyum padamu. “Kita masih bisa menikah, walaupun tidak punya anak.”
Momen itu, senyumnya tampak begitu manis; daun di rambutnya tidak terlihat konyol; sweter hijau tampak serasi di sosoknya meski kamu pernah bilang dia tidak cocok memakai warna hijau.
“Palembang itu, lumayan jauh, ya?” tanyamu.
“Jauh sekali.” Jemarinya meraih tabebuya kuning yang baru rontok dan mendarat di antara kalian. Perlahan, dia menggapai tanganmu lalu meletakkan bunga itu di sana. Pula, jalinan jemarinya bertahan menggamit tanganmu. “Tiket pesawatnya mahal.”
Kamu bergumam. Segelas kopi dingin terlupakan. Kamu pikir, seharusnya kepalamu sibuk merenungi banyak hal, tetapi semua perkara hanya lewat sepintas dan tak satu pun dari mereka memilih untuk tinggal.
“Tadi ada kumbang di sepatumu,” ujarmu kemudian.
Dia tertawa. Kamu tidak menyangka dia akan tertawa.
Comments
Post a Comment