Lalu kita sama termangu


Ada grasah-grusuh di dapur. Kiranya itu Henry, sedikit masuk akal bila ia terjebak lama mengacak-acak dapur Francis karena mereka lupa menyetok kopi, misalnya. Atau tidak sengaja sebuah cangkir tersenggol jatuh sehingga ia mesti membereskan bekas pecahannya. Namun, semakin dekat langkah Richard ke sana, suara itu tergantikan senandung kecil yang sudah pasti bukan milik Henry.

Pasti Francis. Sedikit saja, Richard mempercepat ayunan tungkai. Seolah ia perlu segera memastikan bahwa tebakannya benar, seolah dengan mengenali suara lirih Francis akan ada riuh tepuk tangan imajiner di dalam kepalanya. Dinding berubin putih memasuki pandang Richard, sinar pagi memantul dari sana ke segala penjuru. Dapur itu tampak benderang. Francis berdiri membelakanginya, masih bersenandung, separuh rambut merah diikat asal-asalan ke belakang, agaknya sama sekali tidak mendeteksi kedatangan Richard. Riuh rendah tepuk tangan.

“Oh, hai,” sambut Francis setelah mendengar ketukan di pintu. Ia cuma menoleh sepintas lalu kembali sibuk dengan urusan di tangan.

“Lihat Henry?”

“Tidak,” jawabnya. “Kenapa?”

“Tadi dia bilang mau ke sini.” Richard berjalan masuk, tidak sampai dua meter, terhenti di ujung meja konter. “Ke dapur, maksudku. Setengah jam lalu, kira-kira.”

Francis bergumam. “Mungkin keluar? Dia tidak ada waktu aku sampai sini—belum lama, sih. Baru beberapa menit lalu.”

Aneh, pikir Richard. Tapi, bukan Henry kalau tidak aneh. Apa pun itu, pasti jauh lebih penting urgensinya dibanding tawaran secangkir kopi untuk Richard. Bukan masalah besar. Pula, Richard tidak begitu memikirkannya lagi, atensinya kini beralih menuju apa yang Francis lakukan di dapur pagi-pagi. “Itu,” celetuknya, “mau dibuang?”

Jemari Francis tampak telaten mencabut dedaunan layu, memisahkan ranting-ranting yang telah ringkih, membuang mereka ke bak cuci lalu dengan hati-hati mengembalikan sisanya ke vas tembikar. Dari jauh, samar-samar Richard menyadari tangan kurus itu agak gemetar. Sebuah kebiasaan. Ia lupa kapan pertama memergokinya, tapi Francis itu memang mudah terserang tremor di pagi hari.

“Toko dekat kampus itu kayaknya memang niat menipuku,” gerutu Francis. “Seumur-umur aku beli bunga potong, layunya tidak pernah secepat ini. Tahan dua hari lah, paling tidak. Nah ini, baru juga beli kemarin sore, sudah banyak yang rontok. Jangan beli bunga di sana, Richard, rugi yang ada.”

“Toko yang di persimpangan? Dekat apartemenmu?”

“Bukan—di sana tidak apa-apa, biasanya aku beli di sana aman saja. Maksudku, yang lebih dekat kampus, sebelahnya studio foto?”

Richard mengangguk. “Oke, akan kuingat,” sahutnya, meski ia tidak merasa punya keperluan yang cukup genting untuk membeli bunga di waktu dekat.

You really shouldn’t,” ulang Francis, berusaha terdengar semeyakinkan mungkin. “Kemarin itu situasi mendesak. Aku buru-buru ke sini dari kampus, tidak sempat pulang dulu, mau tidak mau terpaksa beli di toko itu. Seingatku, dulu Julian juga pernah bilang kalau bunganya jelek-jelek. Yah, mau bagaimana lagi.”

Tersisa rangkaian krisantemum, lili putih, kuncup merah hiperikum, dan satu-dua mawar kuning. Francis menatanya dengan baik, tetapi vas-vas itu berakhir tampak terlalu besar untuk rumpun bunga yang menunduk lesu. Mau ditukar-tukar isinya pun, ketiga vas itu punya kekurangan masing-masing: yang satu jadi kurang hijau, yang tengah kurang volume, yang terakhir tidak memancarkan semangat sama sekali. Richard memperhatikan usaha Francis mengobrak-abrik mereka, jemari ternoda hijau dan ruangan dipenuhi aroma tanaman busuk. Ia belum beranjak dari posisinya di ujung meja. Perasaan mengganjal di hati memaksa kakinya bertahan di tempat.

“Tidurmu baik-baik saja?” tanya Francis kemudian.

“Baik. Bagus.”

“Tidak sakit leher, kan?” Ia menyalakan keran air, agaknya sudah menyerah dengan vas bunganya. “Soalnya, kau tidur lumayan lama di meja. Harusnya kubangunkan lebih awal. Maaf, ya.”

“Tidak—tidak masalah kok.”

Dengan hati-hati, Francis mendekap salah satu vas di lengannya. Ketika ia berbalik, Richard kesulitan menangkap wajahnya yang tersembunyi rangkaian bunga. “Trims, sudah membangunkanku  kemarin,” ujar Richard, walau memorinya masih tidak yakin dengan konklusi tersebut. “Mau kubantu bawa?”

Kini Francis berdiri cukup dekat hingga Richard bisa melihat jelas tangannya yang gemetar. Ia berhenti sebentar, menelengkan kepala sedikit untuk menatap Richard dari balik daun dan ranting dan kelopak-kelopak bunga. Bibirnya sedikit terbuka, seolah kalimat yang hendak ia ucapkan tiba-tiba tersangkut di pangkal lidah. Richard balas menatap mata hijau itu, juga anak-anak rambut yang jatuh dari selipan telinga.

Sebelum ia sempat membuka mulut, Francis sudah melempar senyum kecil. “Tidak perlu. Terima kasih, Richard.”





Sepotong dari fanfiksi TSH, selengkapnya bisa dibaca di sini.

Comments