Perhitungan
“Terlalu depresif,” ujar Francis. Buku di tangan ia tengadahkan semakin
tinggi, seolah kalimat-kalimat di dalam sana dapat terjun keluar—membanjirinya
dengan jawaban-jawaban yang mustahil dipetik dari pembacaan pertama. Namun,
buku hanyalah buku. Baris demi baris paragraf justru kian mengerdil,
mencemoohnya dari jauh. “Memandangnya saja sudah mual.”
Richard memindah tumpuan kakinya. “Kukira, mungkin, kau akan suka.”
Segera, sorot Francis dilemparkan ke arah Richard. “Kenapa kau bisa
berpikiran begitu?”
Sudah ditanya demikian, Richard mulai merasa was-was. Suara Francis sedikit
bernada menuding dan kemungkinan terbesar, mau dijawab bagaimanapun ia bakal
berakhir tersinggung. Mustahil Richard berterus-terang: karena kau suka
Rimbaud...? Yang setelah dipikir kembali pun, bukan landasan persepsi yang
cukup kokoh. Arthur Rimbaud dan Dazai Osamu, kemiripannya di mana? Sama-sama
mati muda?
“Maaf,” ucap Richard, kehabisan kata-kata. Lantaran pandang Francis masih
belum beranjak darinya, Richard buru-buru menambahkan lagi, “Tapi kau tetap
membacanya sampai selesai, bukan?”
Francis mendengus. Gagal Menjadi Manusia merosot dari tangannya yang
loyo ke ruang kosong di atas sofa. “Richard, menurutku ini kutukan,” sahutnya
tak bertenaga, “kau bisa berhenti membaca buku yang tidak kausuka, selamat, good
for you! Nasibku tidak seberuntung itu.”
“Justru hebat, bukannya? Buku-buku pinjaman Henry masih menganggur di
kamarku, tidak akan lama sampai dia sadar aku belum menyentuh mereka sama
sekali.”
Terbayang wajah menghakimi Henry di benak keduanya. Tawa pelan Francis
menguap di udara selagi Richard melangkah perlahan, memungut bukunya yang sudah
bermalam satu purnama di bawah atap Francis. “Tidak biasanya kau membaca selama
ini—hanya seratus halaman, lho.”
“Because it’s dreadful, Richard.” Francis sedikit menggeser posisi
duduk, memberi Richard cukup ruang di sisi lain sofa. “Aku harus berhenti
setiap tiga halaman. Kalau tidak, bisa-bisa insomniaku makin parah.”
“Seburuk itu?”
“It gave me headache.”
“Sorry.”
Jemari Richard membuka-buka halaman yang telah familier olehnya. Goresan
pensil dan coretan di sana-sini, anotasi yang baru ia sadari mestinya ikut
dibaca Francis dengan dahi berkerut. Tiba-tiba Richard jadi merasa agak malu.
Ia bertolak kembali ke bab pertama. Hidupku penuh aib[1],
demikian kalimat pembukanya berbunyi. Betul, jika dipikir-pikir, dari situ
saja bisa dinalar kenapa Francis tidak begitu menyukainya. Ide dari mana, sih,
meminjamkan buku ini padanya? Mungkin, kau akan suka; kadang Richard
sulit memahami keputusan yang ia ambil sendiri.
“Memang, bukan cerita yang bahagia.” Richard berceletuk, masih menatap
halaman yang sama. Ia mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan buku
tersebut; hari-hari sekolahnya di Plano; rak tersembunyi penuh buku-buku kiri
yang sudah bosan ia telisik di toko buku. Sampulnya sederhana namun mencolok,
berwarna dasar merah terang lalu ditumpuk bentuk abstrak hitam dengan sebentuk
mata terbuka di pusatnya. Pada kata pengantar, dijelasan bahwa penulisnya
berpartisipasi dalam gerakan-gerakan komunisme pasca-perang di Jepang sana, dan
Gagal Menjadi Manusia merupakan novel semi-autobiografi yang mengikuti
alur kehidupan pribadinya. Richard membelinya tanpa pikir panjang—sama halnya
dengan buku-buku Marxisme lain yang ia kumpulkan di kamar tidur—bukan murni
karena ideologi, lebih-lebih hanya sebagai bentuk pemberontakan.
Angin Oktober mengentak jendela. Kala menyadari betapa sunyi ruang
apartemen itu, barulah Richard menoleh disambut wajah penat Francis. Tanpa
diberitahu pun Richard telah menebak-nebak makna dari ekspresinya. “Sebagaimana
tragedi,” ia menambahkan, meski setengah yakin apa pun yang keluar dari
mulutnya tak mungkin mengubah pendapat Francis. “Apa bedanya dengan,
entahlah—Dostoyevsky, misalnya?”
“I hate Dostoyevsky.”
“Fine—Hamlet, then.”
Serius? Begitu
ucap kedua mata Francis, seandainya mereka bisa bicara. Di momen itu pun
Richard merasa argumennya agak kejauhan. Tidak tahu kontribusi apa lagi yang
dapat ia berikan ke diskusi sehat ini, Richard cuma balas menatap Francis
hingga lawan debatnya itu menyerah. “Coba kutanya,” sambung Francis, “kau betul
berpikir ada penderitaan yang seperti itu? Bukankah dunia, apa adanya, sudah
cukup kejam terhadap kita?”
“It’s a big world, Francis.”
“Never said it isn’t. Tapi, waktu kita tidak lama, juga.”
“Maksudnya?”
Kepala Francis jatuh ke punggung sofa. Rambut merahnya memanjang sampai
kerah kemeja, sebagian disibaknya agar tak menghalangi mata. Ia tak menatap
Richard saat itu, melainkan langit-langit ruang duduknya yang putih tak bernoda.
Gagal Menjadi Manusia telah membisu di pangkuan Richard; sang pemilik
sibuk menerka sisi wajah Francis yang berbintik dan netranya yang berbinar
hijau.
“Begini, aku tidak bilang bukumu jelek kok.”
Bukumu. Mendengar
Francis menyebut buku itu seolah miliknya, hasil tulisannya sendiri, perut
Richard seolah diikat dari dalam.
“Bukannya jelek,” lanjut Francis, “aku hanya tidak menikmatinya. Jangan
marah, ya?”
“Aku tidak marah.”
Francis menghela napas. “It’s just—it’s too real. It felt so real I wanted
to throw up. Lalu, kau sendiri yang bilang, ini sebuah tragedi. Tapi aku
tidak merasa begitu. Sama sekali. Rasanya terlalu jauh untuk menjadi tragedi.
Terlalu depresif. Dan bukannya tidak ada kebahagiaan; tokoh utamanya seperti
tidak diperbolehkan untuk bahagia. Padahal, untuk jadi sebuah tragedi, bukankah
harus ada pembandingnya? Bagaimana cara mengukur tragisnya suatu cerita tanpa
mengetahui cara tokohnya berbahagia? Aku tahu, kau akan bilang memang itu
poinnya. Tapi aku tidak setuju.”
Francis mengerling padanya. Richard tahu lelaki itu tidak sedang meminta
pembenaran. Tragedi yang biasa mereka bicarakan di kelas memang terlampau jauh
dari definisi Francis akan buku yang sama sekali tak ia nikmati. Tragedi yang
terstruktur dan punya dua sisi berlawanan. Tragedi yang puitis. Richard sangat
memahaminya. Boleh saja mereka mengakhiri topik ini, saling setuju untuk tidak
setuju. Namun, Richard merasa penjelasan panjang itu pun masih belum sepenuhnya
tuntas. Masih ada yang ingin ia dengar dari Francis.
“Kau benar, mungkin menyebutnya tragedi itu agak keliru,” sambungnya.
“Tapi, kalau membacanya bisa menimbulkan rasa tidak nyaman, kupikir pesannya
tersampaikan dengan baik.”
Ekspresi Francis datar. “Pesan apa?”
Richard mengangkat sebelah alis. “Bahwa ... realitas kita tidak pernah
punya struktur sempurna? Dan ... akan ada manusia yang sengsara sepanjang
hidupnya?”
“You don’t sound so sure about that.”
“Oh, ayolah.” Ia benci mengakuinya, tapi Francis tidak salah, kalimat
Richard memang masih penuh tanda tanya bahkan di dalam kepalanya saat itu.
“Semua orang berhak menyuarakan hidup mereka.”
Bahu Francis merosot, seolah mengakui kekalahan. “Yah—tapi, maksudku—aku
hanya ... aku masih tidak mengerti kenapa kau memintaku membacanya, Richard.
Maksudku, waktu kita pendek sekali! Kenapa harus membuang waktu itu untuk
membaca kesengsaraan orang lain?”
Buku di pangkuan Richard terasa berat. Ia masih memandang wajah samping
Francis, cahaya sore kini menyorotnya dari jendela. Sekeliling mereka tampak gelap
kecuali di sana; di sofa yang berbantal lembut dan beraroma parfum. Richard
baru teringat hari apa ini. Mereka punya janji makan malam di rumah Camilla dan
Charles.
Comments
Post a Comment