Ziarah
TUAN Hantu menanti di wajah pusara memori.
Untuk dia, ujar Nona Penyihir, untuknya kuhidupkan larik-larik ini. Meski
selebihnya adalah untukku juga, ungkap Nona Penyihir pada suatu sore. Muridnya
dibuat termangu-mangu, menenteng sekeranjang penuh telur ayam dan secarik resep
masakan. Ia masih tak habis pikir kenapa mereka tengah berjalan bersisian,
memunggungi matahari terbenam, melintasi tanah lapang sampai ke gerbang
pemakaman. Bukan—mereka bukan merencanakan sebuah piknik petang. Lantas untuk
apa telur-telur itu? Peziarah mana yang datang membawa telur untuk
tulang-belulang orang mati?
“Pula,” jawab Nona Penyihir, “untuk dia.”
“Siapa itu dia?” tanya muridnya.
“Tuan Hantu.”
Muridnya masih tak sepenuhnya mengerti. Di
antara sekian banyak rangkaian batu nisan, melintang rapi dari setiap ujung
mata angin, mana yang jadi milik Tuan Hantu? Ada nisan yang dihias ukiran cantik,
ada makam-makam tak bernama, ada yang ditumbuhi ilalang dan dirayapi lumut.
Mereka menyusuri jalan setapak yang sunyi. Langit mulai berubah warna saat Nona
Penyihir berhenti di hadapan sepetak tanah, tak jauh dari menara penunjuk
waktu.
Nona Penyihir memanggil muridnya.
“Letakkan dulu keranjangmu di sini.”
Muridnya letakkan keranjang itu di sisi
batu nisan. Makam yang ini tampak biasa-biasa saja. Sebagaimana petak-petak
lain di seluruh penjuru pemakaman. Hanya, di sekitarnya sekelompok Sekar Bulan
Biru menari tertiup angin. Sang murid justru mengernyit pada nama yang dimiliki
nisan itu. Ia ganti memanggil mentornya. “Tapi, bukankah ini nama Tuan
Pahlawan?”
Nona Penyihir tersenyum.
Melalui huruf-huruf magis, ia hidupkan
sebentuk alat musik dengan sederet senar. Ada yang hilang di udara. Ada yang
terlewat, tak pernah terucap meski muridnya kerap kali mendengar lagu yang sama
dimainkan di malam-malam yang lalu; di seberang api unggun pula di lantai
penginapan. Ada yang berbeda. Lagu yang familier kini menjaga distansi seolah dunia
hendak menyitanya pergi. Seolah lagu itu tak lagi milik Nona Penyihir, atau
ingatannya, atau milik siapa-siapa.
“Ke mana mereka akan pergi?” tanya
muridnya. “Lagu yang kaumainkan, maksudku.”
“Entahlah,” jawab Nona Penyihir, “mungkin
ke surga?”
“Ke tempat Tuan Hantu berada?”
Nona Penyihir menoleh bingung ke arah
muridnya. “Apa maksudmu?”
“Surga. Bukankah dia ada di sana?”
Angin berbisik kembali, masih membawa
serta sisa melodi. “Dia baru saja ada di sini,” tambah Nona Penyihir. “Kau
tidak melihatnya?”
Tuan Hantu terjaga di arung pusara memori.
Arung yang begitu panjang dan tak seorang pun tahu di mana ujung akhirnya. Apakah
sepanjang perjalanan kita? Ya, sepanjang perjalanan kita—juga perjalanan yang
lalu. Di hari ini saja, setiap tahunnya, Nona Penyihir dapat menemui
persimpangan antara mereka. Yang hidup dan yang mati; yang terlelap dan terus terjaga;
yang berpisah sebelum mengucapkan selamat tinggal. Kenanglah aku, pinta Tuan
Hantu dulu sekali, panggillah namaku di sini, dan aku akan menyapamu setiap
kali.
Terinspirasi dari fanart ini.
Comments
Post a Comment