Cedar Avenue


川瀬巴水「日光街道」1930
Road to Nikko by Kawase Hasui


TIDAK seharusnya aku marah di hadapanmu seperti itu. Jika sekarang kau membaca ini maka artinya aku telah sampai pada tahap terakhir sebuah penyesalan dan hal paling utama yang harus kulakukan adalah meminta maaf. Tapi, pernah kah kau merasa begitu muak hingga menggumamkan kata ‘maaf’ saja menjadi sama sulitnya dengan pendakian panjang ke puncak gunung tertinggi di dunia? Tidak juga, kurasa, kau tidak akan memahami yang seperti ini karena, seingat-ingatku, kau tidak pernah meminta maaf sama sekali. Kau tidak meminta maaf saat melupakan janji yang kita buat di hari ulang tahunku empat tahun lalu. Kau tidak meminta maaf saat kutanya, kenapa tidak pernah membalas surat-surat yang kukirim padamu. Kau tidak akan meminta maaf jika saat ini, misalnya, aku menyalahkanmu atas semua yang terjadi di antara kita.

Dan itu tidak apa-apa. Orang dengan akal pikiran yang sehat seharusnya tahu kapan mereka harus berhenti dan membatin, apakah yang kulakukan ini ada artinya? Apa yang akan berubah? Jika aku memang betul memahami betapa manusianya dirimu, maka kekeliruan sepenuhnya berada padaku yang enggan mengakui kapan aku harus berhenti.

Tidak apa-apa. Itu semua tidak apa-apa. Terkadang, manusia bisa menjadi buta seperti itu. Seperti ada rimbunan pohon cemara yang menghalangi jalan mereka; menjulang sedemikian tinggi hingga awan-awan dan birunya langit siang mustahil untuk ditangkap di sela-sela cabang dan dedaunan. Seperti saat ini—jika kau tengah membaca, mungkin tidak akan ada permintaan maaf yang tulus di sini, tetapi aku ingin memberitahumu tentang pohon-pohon cemara itu.

Kau ingat tidak, dulu, kita pernah mengunjungi pameran yang menampilkan karya-karya otentik Kawase Hasui? Kau mungkin tidak ingat, sebab aku tidak pernah menceritakannya padamu, tapi saat itu aku begitu kagum dengan satu buah lukisan di sana. Kuharap kau tidak keburu tersinggung lalu membatin, kenapa aku tidak pernah bercerita. Soalnya, sia-sia saja, bukan? Apakah kau cukup peduli untuk mendengarkan? Setidaknya, waktu itu, kupikir tidak juga. Lukisan itu juga biasa-biasa saja. Maksudku, mereka semua indah—lukisan yang dipajang di sana. Tetapi ada yang luar biasa dan ada yang bagus saja, mengerti tidak? Dan lukisan itu, menurutku, cukup bagus saja. Aku hanya sempat terpana dengan gambaran pohon-pohonnya. Benar, pohon-pohonnya. Kau mungkin tidak sadar, tapi aku suka sekali dengan pohon-pohon tinggi. Pohon-pohon tinggi yang seolah memerangkapmu dan bermain dengan ingatanmu, mendorongmu untuk berjalan terus dalam putaran yang sama.

Ada banyak sekali jenis pohon yang seperti itu. Pohon sanobar, misalnya. Atau pohon pinus. Katanya, pemandangan pohon-pohon di lukisan yang kubicarakan ini masih ada dan bisa ditemui di sepanjang jalan Kota Nikko. Aku tidak pernah ke sana. Tapi aku pernah melihat yang mirip sekali, di pagi setelah aku meninggalkan pintu rumahmu.

Di sana ada sebuah kedai kecil yang menjual teh dan mitarashi dango. Kedai itu terdampar di tepi jalan, begitu kecil dihimpit batang pepohonan cemara yang lebar dan menjulang tinggi. Aku melihat beberapa kendaraan yang lewat begitu saja, tidak menoleh atau apa, seolah mereka sama sekali tidak menyadari keberadaan kedai itu di sana. Pagi itu hanya ada aku dan bapak pemiliknya yang meletakkan sepiring dango segera setelah aku duduk di terasnya.

Aku tak bisa memberitahumu di mana tepatnya ini terjadi. Bukan karena aku tidak ingin, atau karena kupikir kau tidak peduli, tapi karena aku sendiri tidak sebegitu ingat dengan jelas. Seperginya dari rumahmu, aku tidak ingat bus jurusan mana yang kutumpangi dari halte depan minimarket. Kau yang jarang naik bus saja pasti tahu kalau halte itu punya banyak jadwal dan jalur berbeda. Sayangnya, kepalaku sudah terlalu kacau untuk mengingat bus mana yang kunaiki. Aku hanya asal naik saja. Peduli setan ke mana, aku hanya ingin pergi. Pergi sejauh mungkin. Ke luar kota, ke laut, ke pulau seberang. Ke mana pun yang tidak ada kau di dalamnya.

Berapa lama aku duduk diam di teras kedai itu, aku pun tidak sepenuhnya yakin. Yang jelas, aku baru masuk ke dalam untuk meminta segelas air putih. Rasanya sudah lama sekali aku berdiam di luar tetapi masih tidak ada pelanggan lain yang datang. Barangkali karena sudah memasuki awal Juni, pintu-pintu geser dibiarkan terbuka sehingga angin berembus perlahan mengibarkan kain noren. Bapak pemilik kedai tersenyum padaku dengan banyak keriput di wajahnya.

“Hanya air segelas saja?”

Ya, kubilang.

Kulihat ia menyiapkan gelas dari rak, mengambil termos merah lalu menuangkan air pelan-pelan. Tidak sopan rasanya jika terus-terusan menatap, tetapi tidak ada hal lain yang bisa kuperhatikan di dalam sana. Kupikir, baiknya aku segera kembali ke depan setelah mengambil gelasku.

“Tidak ingin duduk di dalam saja, Nak? Anginnya lumayan kencang di luar,” ujar bapak itu sebelum aku sempat meraih gelas yang ia sodorkan.

“Tidak, terima kasih. Saya senang duduk di luar,” jawabku seraya tersenyum sopan.

“Apa ada alasan tertentu?” tanya bapak pemilik kedai lagi.

Bisa saja aku menjawab saat itu, bahwa aku menyukai pohon-pohon cemara yang berbaris tinggi dari ujung barat hingga timur. Atau sekalian ia kuberitahu tentang lukisan Kawase Hasui yang masih melekat di ingatanku sejak pertama kali aku melihatnya bertahun-tahun lalu. Bisa saja aku bilang, tidak, tidak ada alasan khusus, lalu kembali ke teras kedai tanpa bicara apa-apa lagi. Namun, entah terdorong oleh perasaan yang mana, kukatakan padanya: “Saya sedang menunggu seseorang.”

Apakah seorang teman? ia tanya.

Ya, kubilang, seorang teman.

Mungkin, satu bagian dalam diriku masih berharap untuk melihatmu lagi di sana, dari beranda sebuah kedai di kota yang tak kukenali namanya. Mungkin aku sedikit berharap untuk melihat sebuah bus melintas, lalu tiba-tiba berhenti hanya beberapa meter dekat sini sebab kau buru-buru meminta supirnya untuk menginjak rem setelah kau melihatku dari jendela. Aku ingin melihatmu turun tergesa-gesa, berlari kecil hingga keringat membasahi dahi dan pelipismu, dengan wajah panik dan napas tersengal ketika kau berhenti di hadapanku. Mungkin, aku menginginkan permintaan maaf itu.

Oleh karenanya aku memilih untuk duduk di teras yang berangin, menghadap jalan serta pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi. Demikian tingginya, pohon-pohon itu. Demikian rapatnya mereka dengan satu sama lain. Apakah kau akan mengagumi mereka juga, seandainya kau dapat melihatnya? Apakah kau masih membaca sampai sejauh ini, hanya untuk mendengarku bicara tentang pohon-pohon yang tinggi?

Comments