Cedar Avenue
TIDAK seharusnya aku marah di hadapanmu
seperti itu. Jika sekarang kau membaca ini maka artinya aku telah sampai pada
tahap terakhir sebuah penyesalan dan hal paling utama yang harus kulakukan
adalah meminta maaf. Tapi, pernah kah kau merasa begitu muak hingga
menggumamkan kata ‘maaf’ saja menjadi sama sulitnya dengan pendakian panjang ke
puncak gunung tertinggi di dunia? Tidak juga, kurasa, kau tidak akan memahami
yang seperti ini karena, seingat-ingatku, kau tidak pernah meminta maaf sama
sekali. Kau tidak meminta maaf saat melupakan janji yang kita buat di hari
ulang tahunku empat tahun lalu. Kau tidak meminta maaf saat kutanya, kenapa
tidak pernah membalas surat-surat yang kukirim padamu. Kau tidak akan meminta
maaf jika saat ini, misalnya, aku menyalahkanmu atas semua yang terjadi di
antara kita.
Dan itu tidak apa-apa. Orang dengan akal
pikiran yang sehat seharusnya tahu kapan mereka harus berhenti dan membatin, apakah
yang kulakukan ini ada artinya? Apa yang akan berubah? Jika aku memang
betul memahami betapa manusianya dirimu, maka kekeliruan sepenuhnya berada
padaku yang enggan mengakui kapan aku harus berhenti.
Tidak apa-apa. Itu semua tidak apa-apa. Terkadang,
manusia bisa menjadi buta seperti itu. Seperti ada rimbunan pohon cemara yang
menghalangi jalan mereka; menjulang sedemikian tinggi hingga awan-awan dan
birunya langit siang mustahil untuk ditangkap di sela-sela cabang dan dedaunan.
Seperti saat ini—jika kau tengah membaca, mungkin tidak akan ada permintaan
maaf yang tulus di sini, tetapi aku ingin memberitahumu tentang pohon-pohon
cemara itu.
Kau ingat tidak, dulu, kita pernah
mengunjungi pameran yang menampilkan karya-karya otentik Kawase Hasui? Kau
mungkin tidak ingat, sebab aku tidak pernah menceritakannya padamu, tapi saat
itu aku begitu kagum dengan satu buah lukisan di sana. Kuharap kau tidak keburu
tersinggung lalu membatin, kenapa aku tidak pernah bercerita. Soalnya, sia-sia
saja, bukan? Apakah kau cukup peduli untuk mendengarkan? Setidaknya, waktu itu,
kupikir tidak juga. Lukisan itu juga biasa-biasa saja. Maksudku, mereka semua indah—lukisan
yang dipajang di sana. Tetapi ada yang luar biasa dan ada yang bagus saja,
mengerti tidak? Dan lukisan itu, menurutku, cukup bagus saja. Aku hanya sempat
terpana dengan gambaran pohon-pohonnya. Benar, pohon-pohonnya. Kau mungkin
tidak sadar, tapi aku suka sekali dengan pohon-pohon tinggi. Pohon-pohon tinggi
yang seolah memerangkapmu dan bermain dengan ingatanmu, mendorongmu untuk
berjalan terus dalam putaran yang sama.
Ada banyak sekali jenis pohon yang seperti
itu. Pohon sanobar, misalnya. Atau pohon pinus. Katanya, pemandangan
pohon-pohon di lukisan yang kubicarakan ini masih ada dan bisa ditemui di sepanjang
jalan Kota Nikko. Aku tidak pernah ke sana. Tapi aku pernah melihat yang mirip
sekali, di pagi setelah aku meninggalkan pintu rumahmu.
Di sana ada sebuah kedai kecil yang
menjual teh dan mitarashi dango. Kedai itu terdampar di tepi jalan,
begitu kecil dihimpit batang pepohonan cemara yang lebar dan menjulang tinggi. Aku
melihat beberapa kendaraan yang lewat begitu saja, tidak menoleh atau apa,
seolah mereka sama sekali tidak menyadari keberadaan kedai itu di sana. Pagi itu hanya ada aku
dan bapak pemiliknya yang meletakkan sepiring dango segera setelah aku
duduk di terasnya.
Aku tak bisa memberitahumu di mana
tepatnya ini terjadi. Bukan karena aku tidak ingin, atau karena kupikir kau
tidak peduli, tapi karena aku sendiri tidak sebegitu ingat dengan jelas.
Seperginya dari rumahmu, aku tidak ingat bus jurusan mana yang kutumpangi dari
halte depan minimarket. Kau yang jarang naik bus saja pasti tahu kalau halte
itu punya banyak jadwal dan jalur berbeda. Sayangnya, kepalaku sudah terlalu
kacau untuk mengingat bus mana yang kunaiki. Aku hanya asal naik saja. Peduli
setan ke mana, aku hanya ingin pergi. Pergi sejauh mungkin. Ke luar kota, ke
laut, ke pulau seberang. Ke mana pun yang tidak ada kau di dalamnya.
Berapa lama aku duduk diam di teras kedai
itu, aku pun tidak sepenuhnya yakin. Yang jelas, aku baru masuk ke dalam untuk
meminta segelas air putih. Rasanya sudah lama sekali aku berdiam di luar tetapi
masih tidak ada pelanggan lain yang datang. Barangkali karena sudah memasuki awal
Juni, pintu-pintu geser dibiarkan terbuka sehingga angin berembus perlahan
mengibarkan kain noren. Bapak pemilik kedai tersenyum padaku dengan
banyak keriput di wajahnya.
“Hanya air segelas saja?”
Ya, kubilang.
Kulihat ia menyiapkan gelas dari rak,
mengambil termos merah lalu menuangkan air pelan-pelan. Tidak sopan rasanya
jika terus-terusan menatap, tetapi tidak ada hal lain yang bisa kuperhatikan di
dalam sana. Kupikir, baiknya aku segera kembali ke depan setelah mengambil
gelasku.
“Tidak ingin duduk di dalam saja, Nak?
Anginnya lumayan kencang di luar,” ujar bapak itu sebelum aku sempat meraih
gelas yang ia sodorkan.
“Tidak, terima kasih. Saya senang duduk di
luar,” jawabku seraya tersenyum sopan.
“Apa ada alasan tertentu?” tanya bapak
pemilik kedai lagi.
Bisa saja aku menjawab saat itu, bahwa aku
menyukai pohon-pohon cemara yang berbaris tinggi dari ujung barat hingga timur.
Atau sekalian ia kuberitahu tentang lukisan Kawase Hasui yang masih melekat di
ingatanku sejak pertama kali aku melihatnya bertahun-tahun lalu. Bisa saja aku
bilang, tidak, tidak ada alasan khusus, lalu kembali ke teras kedai
tanpa bicara apa-apa lagi. Namun, entah terdorong oleh perasaan yang mana, kukatakan
padanya: “Saya sedang menunggu seseorang.”
Apakah seorang teman? ia tanya.
Ya, kubilang, seorang teman.
Mungkin, satu bagian dalam diriku masih
berharap untuk melihatmu lagi di sana, dari beranda sebuah kedai di kota yang tak
kukenali namanya. Mungkin aku sedikit berharap untuk melihat sebuah bus
melintas, lalu tiba-tiba berhenti hanya beberapa meter dekat sini sebab kau
buru-buru meminta supirnya untuk menginjak rem setelah kau melihatku dari
jendela. Aku ingin melihatmu turun tergesa-gesa, berlari kecil hingga keringat
membasahi dahi dan pelipismu, dengan wajah panik dan napas tersengal ketika kau
berhenti di hadapanku. Mungkin, aku menginginkan permintaan maaf itu.
Oleh karenanya aku memilih untuk duduk di
teras yang berangin, menghadap jalan serta pohon-pohon cemara yang menjulang
tinggi. Demikian tingginya, pohon-pohon itu. Demikian rapatnya mereka dengan
satu sama lain. Apakah kau akan mengagumi mereka juga, seandainya kau dapat
melihatnya? Apakah kau masih membaca sampai sejauh ini, hanya untuk mendengarku
bicara tentang pohon-pohon yang tinggi?
Comments
Post a Comment