IN JULY
GEDUNG di seberang rumah sakit akan ditutup juga. Sudah lama, sebenarnya. Kamu sudah lupa kapan kafe di lantai dasarnya terakhir buka. Sekilas mungkin tidak ada yang berbeda; jendela-jendela kafe masih tampak berdebu dan, jika teliti, ada jejak cat baru yang menimpa coret-coret grafiti di tembok. Pun, siapa saja tahu bahwa gedung itu sudah tidak lama lagi umurnya. Seng-seng kelabu telah disejajarkan mengelilingi halaman depannya yang sempit. Kamu perhatikan semuanya dari tepian atap rumah sakit. Pagar itu tampak begitu janggal dikelilingi pepohonan.
“Halo!”
Kamu buru-buru menoleh. Sama sekali tak
menyadari kedatangan wajah familier yang tengah menghampirimu. “Halo juga,”
ujarmu seraya menarik satu lagi kain seprai basah dari keranjang, berpura-pura
menggeluti tugasmu hari ini meski tak kurang dari sedetik lalu kamu malah sibuk
memelototi bangunan tua di seberang jalan.
“Hari mencuci, ya?”
Tersenyum, seng besi dan gedung yang tutup
terpaksa kamu tampik dari pikiran. Fokusmu telah kembali ke kain-kain seprai yang
masih meneteskan butir-butir air, meninggalkan bercak genangan di lantai. Aroma
deterjen memenuhi hidung selagi kamu beberkan mereka di sepanjang tali jemuran.
Sambil menoleh sesekali, kamu melanjutkan, “Sedang apa di sini, Nath?”
Nath mengangkat bahu (kelihatannya, kamu
tidak begitu yakin sebab kamu hanya melirik sekilas ke arahnya). “Jalan-jalan
saja,” jawabnya.
“Oh, ya?”
Ia bergumam. “Kebetulan melihatmu di
sini.”
“Betul?” tanyamu, lantas menoleh kembali
ke Nath yang kini bersandar pada selusur atap. “Tidak sedang tersesat?”
Sehela angin menerpa wajahmu tiba-tiba,
membuatmu harus menyipitkan mata sedikit, tetapi kamu yakin ada segaris senyum
di bibir itu. “Tersesat? Tidak, kok—jangan khawatir.” Suara Nath begitu ringan
saat mengatakannya. “Sebenarnya, aku tadi bertanya pada Mrs. Wilson. Katanya kamu
ada di sini.”
Dahimu berkerut. Nath? Mencarimu? Mungkin
sebuah tawa singkat ikut lolos dari bibirmu. “Kamu ... baik-baik saja? Bahumu
sudah baikan?”
Nath menatap bahu kanannya sebentar. Lilitan
perban tampak sedikit dari balik lengan kausnya. Kaus itu putih bersih,
sebersih seprai-seprai yang baru kamu cuci. Di bawah matahari, Nath tampak jauh
berbeda dengan sosoknya yang tiba empat malam lalu; dengan pakaian bersimbah
darah dan sekujur tubuh penuh luka. Namun, mata yang menatap bahu itu masih
diselimuti emosi yang sulit kamu pahami. “Aku baik. Terima kasih,” jawab Nath
akhirnya. “Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku? Aku ... baik?” Tanggapanmu lebih
terdengar mirip pertanyaan.
“Yakin? Tanganmu tidak apa-apa?”
Menunduk, kamu perhatikan telapak tanganmu
yang—oh, benar, keduanya masih memerah dengan luka lecet sana-sini. Heran,
sejak kapan ia melihatnya? Kalau ia memang sudah menelisik rona menyala di
tanganmu sedari tadi, kamu sama sekali tak menangkap tanda-tandanya.
“Mesin cuci kalian sedang rusak, ya?”
tanya Nath lagi.
Kamu mendengus pelan. Kain-kain itu terasa
begitu dingin oleh sentuhanmu. Sampai-sampai kamu ikut lupa berapa lama waktu
yang kamu habiskan untuk memeras mereka satu persatu. “Hanya pengeringnya
saja,” jawabmu, agak malu-malu. Kini ketahuan bahwa kamu tidak begitu pandai mengurus cucian. “Padahal kemarin masih berfungsi seperti biasa. Entahlah—tidak
penting, juga. Masih perlu seprai bersih, katanya. Tidak peduli bagaimana, yang
penting selesai, kan?”
“Huh ... mereka perlu naikkan
gajimu sedikit.”
Kali ini, kamu tertawa. “Maaf, aku belum
memberitahumu, ya? Aku tidak bekerja di sini, Nath.”
Wajah itu menatapmu bingung. “Maaf?”
“Aku tidak bekerja di sini,” ulangmu,
kemudian disusul kesadaran bahwa kalimat itu sama sekali tidak menjelaskan
apa-apa. “Aku cuma ikut program relawan saja. Baru mulai dua bulan lalu. Tidak
digaji.”
“Oh.”
Tampak jelas bahwa Nath cukup terkejut
hingga ia perlu waktu sebentar untuk memproses informasi di benaknya. Reaksi
yang berlebihan—menurutmu. Kamu tahu Nath adalah orang yang cukup awas. Pagi
ini pun kamu masih kesulitan mengusir ingatan soal mata itu; mata biru Nath
yang tak henti-hentinya memantau sekeliling, menguliti setiap dinding dan sudut
dan lorong-lorong, mengekor setiap sosok yang lewat seolah ia tengah
mengantisipasi sesuatu.
Nath tidak banyak bertanya. Malam pertama
kamu melihatnya, kolegamu di meja resepsionis tampak sangat kebingungan saat ia
memintamu menuntun Nath ke ruang A&E. Sekilas pandang ke arah pasien ini
dan kamu langsung mengerti. Orang normal mana yang meminta janji dengan dokter
pukul dua pagi? Menilik tingkat keparahan cederanya, seharusnya ia langsung
masuk saja ke A&E. Namun, tanpa banyak membantah ia juga menuruti langkah-langkahmu.
Kamu sendiri tak yakin apakah Nath hanya lelah atau ia masih menjaga jarak
denganmu waktu itu. Ia begitu waspada dengan semua orang—kamu salah satunya,
hingga pemeriksaannya selesai dan ia menyadari kamu telah menunggunya di sisi
lain ruangan, siap menuntunnya ke kamar rawat inap.
“Perlu bantuan?” Suara Nath menarikmu
kembali dari lamunan.
“Ah.” Hanya tersisa satu kain di
keranjang, kamu menatapnya sebentar sebelum beralih ke Nath untuk mencibir,
“Baru tanya saat aku sudah mau selesai?”
Tersenyum kecil, Nath tetap beranjak demi
mendahuluimu meraih kain terakhir itu. “Mau cerita?” lanjutnya.
“Soal apa?”
“Alasanmu di sini—kenapa kamu memilih jadi
relawan di sini, maksudku.”
Kamu berkacak pinggang selagi Nath
melebarkan kain di tali jemuran, berusaha menyeimbangkan panjangnya supaya
tidak berat sebelah. Setelah menimang-nimang, kamu akhirnya menanggapi, “Tidak
ada ceritanya. Hanya hidupku yang membosankan, begini-begini saja.”
Nath melirik ke arahmu. Ia tak mengatakan
apa-apa lagi, tetapi mata itu seolah mengenali setiap kebohonganmu. Kamu segera
berpaling darinya, dari kain-kain yang kini berkibar dan butir air yang masih
menetes-netes. Tidak adil, rasanya. Kamu tak banyak tahu soal Nath selain,
mungkin, rasa puding kesukaannya dan kenapa ia selalu menyisihkan kacang kedelai
dari seporsi buburnya. Kamu tahu pukul berapa jadwal cek rutinnya dan setiap
detail kesehatannya yang kamu catat ulang ke dalam laporan digital. Tidak adil
jika Nath berakhir mengetahui lebih banyak dari apa yang kamu pahami
tentangnya. Dan, terus terang, kamu hanya tak ingin bercerita padanya tentang hidupmu
yang stagnan dan kenapa kamu masih terjebak di kota ini setelah menyelesaikan studimu.
Kamu masih tidak berani membalas tatapan Nath.
Alih-alih, atensimu justru kembali ke bangunan itu, yang tampak semakin kerdil
dan dimakan usia. Kamu baru menyadari rumput-rumput liar mendiami setiap sudut
pekarangannya.
“Nath,” panggilmu. “Kamu lihat gedung di
seberang sana?”
“Gedung yang tutup itu?”
Kamu mengangguk. “Aku pernah kerja paruh
waktu di sana. Jalan ini—kota ini, dulu ramai sekali.”
“Bisa kubayangkan.”
“Ya?” Suaramu penuh harap, seolah kamu
ingin melempar kenangan itu hingga mereka bukan lagi milikmu. Siapa tahu? Kamu
pikir, mungkin Nath juga punya kenangan seperti itu. Barangkali ia juga punya
kota yang tak lagi sama dengan apa yang diingatnya.
Ketika kamu mencuri lirikan, senyum Nath
terlihat teduh dan manis. “Tapi, kota ini begitu damai sekarang—itu hal yang
baik, bukan?”
for leon and a friend
Tulisanmu bagus 🤩 tapi ini sepertinya bagian dari cerita yang lebih luas ya? Aku jadi penasaran sama si tokoh "aku".
ReplyDeleteWah, terima kasih! Ini cerpen aja kok, untuk dua tokohnya memang ada latar belakang masing-masing di kepalaku, tapi nggak yang dalem banget sampe bisa dijadiin cerita yg lebih panjang hehe
Delete