i'll hold your hand at midnight
Kamu tak ingin menemuinya saat ini. Mungkin di pagi hari tidak apa-apa. Tidak ada salahnya melihat wajah-wajah yang sama setiap kamu terbangun–kadang terlalu dini, kadang cukup siang hingga asap tungku Si Juru Masak membuatmu batuk-batuk setengah sadar. Tentu saja menjengkelkan kalau sudah begitu. Bukannya disambut sarapan yang sudah jadi, malah harus meladeni tenggorokan yang gatal, perut keroncongan, atau diteriaki: “Vet, cepat cuci muka!” Memangnya kamu ini anak remaja atau apa?
Yang seperti itu jadi semakin menjengkelkan ketika kepalamu tiba-tiba mengingat mendiang paman yang sibuk membesarkan pohon-pohon apelnya di surga. Padahal, ia sudah punya berpetak-petak kebun apel di rumahnya. Rumah itu kini jadi milikmu, begitu pula kebun apelnya, dan sebilah pedang peninggalannya, serta realita bahwa mereka yang dibesarkan pamanmu semua bernasib sama. Kalian ditinggalkan sendiri.
Memang sulit mengakuinya. Tapi kamu tidak bodoh–yang benar saja! Jauhkan cemooh itu darimu! Setidaknya, kamu cukup pintar untuk menyadari kenapa asap tungku dan guncangan di bahu bisa begitu menjengkelkan untukmu. Dan cukup kamu saja yang menyadari. Orang lain tidak perlu tahu. Biar apa? Mereka hanya akan menertawakanmu! (ini paranoiamu yang bicara).
“Cara pandangmu pada dunia sedih sekali.” Ya memang! Terus kenapa?
“Vet, aku minta maaf.” Buang-buang waktu saja. Memangnya kamu yang menurunkan hujan dan mengatur nasib manusia?
“Vet, kamu punya hati yang lembut.” Ini yang paling kamu benci. Siapa pun yang bilang begitu dapat hadiah bogem mentah darimu.
“Tenang dulu, ya? Kami masih di sini, kok.”
Namun, kamu sedang tak ingin menemui mereka. Tidak di sini. Seharusnya ada hujan meteor malam itu. Seisi kota membicarakannya sepanjang minggu. Si Pelaut pun ikut tertantang menceritakan gugus bintang yang selalu tampak dari laut kesayangannya. Kamu pun mengenal mereka, tetapi kamu diam saja. Seharusnya ada hujan meteor, dan cerita-cerita kapal perompak, dan debur ombak yang terperangkap jauh di dalam cangkang kerang. Berhenti! Berhenti! Debur itu semakin mendekat. Suaranya yang samar lama-kelamaan menelan rungumu. Berhenti! teriakmu pada luas samudra. Oh, kamu ini tidak sepintar itu ternyata! Samudra tak mengindahkan permintaanmu, ia sekejam badai yang membunuhmu bertahun-tahun lalu. Sayang, kamu tidak mati saat itu. Kamu ada di sini.
Kamu di sini untuk ke sekian kali. Kamu tak pernah melihatnya lagi, maupun desa kecil itu atau telur raksasa di puncak pandangmu. Kamu biarkan riak dingin mengecup tungkaimu. Sesaat saja, kamu lupa akan segala hal; segala yang bukan kesedihan dan ketakutan yang susah payah kamu kubur dalam-dalam. Lalu dapat kamu rasakan asap tungku dan guncangan di bahu itu kembali.
Kamu tak ingin menemuinya saat ini.
“Kita ada di mana, Vet?”
“Sebuah pulau,” jawabmu.
“Ya, aku tahu itu! Tapi kenapa bajumu sekarang warna hijau?”
Kamu menunduk. Ia benar, bajumu sekarang berwarna hijau.
“Vet, kami mencarimu sejak tadi!” ujar suara lain.
“Hei, kamu mau segelas teh hangat?” ujar suara lain lagi.
Satu pukulan ringan dilayangkan pada pemilik suara itu. “Bagaimana, sih? Dia ‘kan sukanya kopi!”
Suara tawa. Suara tawa. Suara tawa lagi. Lagi. Lagi. Lagi dan lagi. Dan kamu mulai merasa takut sekali. Kamu sungguh tak ingin menemui mereka saat ini. Kenapa mereka ada di sini? Ke mana perginya hujan meteor yang melintasi kepala? Ini semua tidak nyata! Tidak ada yang lebih nyata dari rasa takut yang merayapi tubuhmu. Pantai itu terasa dingin dan kamu berharap semuanya membeku. Jika mereka di sini, apakah kamu akan terbangun tanpa siapa-siapa lagi?
“Vet,” panggilnya. Ia pandang air mata yang tanpa sadar jatuh ke pipimu. “Kami masih di sini.”
Ia menggenggam tanganmu.
Terinspirasi dari fanfiksi ini.
What happened to Vet? π³
ReplyDelete