The Minnow Season
Tentu saja wajah meringis Nagi bertahan cukup lama setelah itu. Bukan karena gerisik bumi yang menyapu jemari kaki hingga ke sela-selanya. Lantas, apakah karena terik siang jauh terlalu menyengat untuk garis pandangnya? Mungkin. Mungkin saja! Tidak ada yang tahu betul. Pun Nagi sendiri tak sepenuhnya menyadari wajah macam apa yang ia pasrahkan pada orang asing itu. Namun, siapa yang tidak buncah bila tiba-tiba ditanyai: "Neraka di sebelah mana?"
Siapa pun identitasnya, yang Nagi tahu adalah orang itu bisa jadi manusia tersabar di dunia. Waktu yang terbuang selagi ia mematung di sana telah jauh dari kata sebentar. Seandainya saja Nagi sudah membaca bagian pertama Komedi Ketuhanan Dante, ia pasti punya macam-macam jawaban yang dapat setidaknya memuaskan si penanya. Namun, Nagi saat itu baru belajar berenang hingga sepuluh meter ke arah jantung danau. Dan siang itu ia terlalu asyik mengurung capung-capung di dalam stoples acar.
"Kau...," gumam Nagi akhirnya, sehabis meneliti sekitar dan tak menemukan seorang pun selain mereka berdua. "Kau bicara padaku?"
Orang itu mengangguk. Orang itu? Orang–gadis? Gadis. Gadis itu. Sorot matanya serius sekali meski wajahnya yang menunduk membelakangi matahari agak terlalu gelap untuk ditangkap Nagi. Rambutnya disisir angin dan topi yang ia kenakan tampak seolah ingin kabur jauh ke langit. Gadis itu bisa jadi manusia tersabar di dunia, tetapi lama-kelamaan Nagi merasa tidak enak hanya diam membisu tanpa menjawab pertanyaannya. "Tadi," lanjutnya, "bisa kau ulangi?"
"Neraka," jawab gadis itu, "di sebelah mana?"
Nagi masih tak tahu harus menjawab apa. Jalan setapak di hadapannya membentang dari satu arah ke arah lainnya. Di utara sana hanya ada hutan dan peternakan Tuan Norin yang dipagari jalinan kawat. Di selatan, jika berjalan agak jauh akan ada persimpangan: satu menuju gereja, satu lagi jalan menuju rumahnya. Perlahan, Nagi menyeka keringat di dahi. "Memangnya, kau datang dari mana?"
"Dari surga."
"Kata ibuku, cuma orang mati yang bisa ke surga dan neraka."
"Semua orang pernah ke surga."
"Aku tidak ingat pernah ke sana."
"Kalau neraka?"
Nagi menggeleng. "Maaf," katanya, "tapi kau bisa bertemu sapi-sapi Tuan Norin kalau berjalan terus ke sana."
Percakapan itu menemui jalan buntu. Seolah tak punya pilihan lain, gadis itu meninggalkan Nagi untuk menyapa sekumpulan sapi, setidaknya begitulah yang Nagi kira. Mungkin ia akan menemukan gerbang rahasia menuju neraka di perjalanan. Dante menyebut gerbang itu Avernus, tetapi Nagi tak akan tahu sampai beberapa tahun ke depan. Kala itu, ia hanya peduli pada capung-capungnya. Dan jika tidak lupa, ia akan bertanya pada ibunya: Neraka ada di sebelah mana?
This is part of a series I'm currently working on. You can read the rest on Wattpad.
Comments
Post a Comment