the sun feels nice through the window with a view
“Pasti melelahkan, ya, membacanya?”
“Enggak juga,” jawab Legend. Ia betulkan letak poninya. Gerakan tangannya agak kaku. Poni itu sebetulnya baik-baik saja, meski tak sempat ia sisir pagi ini, masih tampak sama normalnya seperti biasa. Legend cuma perlu alasan untuk menyembunyikan wajahnya yang mungkin agak pucat serta kantung matanya yang semakin gelap. “Cuma sedikit berbeda dari bahasa yang kutahu. Tapi enggak sampai bikin repot, kok.”
Hyrule mengangguk. “Tiga ratus tahun, katanya.”
“Dari aku, mungkin cuma selisih beberapa dekade. Sepuluh, paling jauh.”
“Mengukurnya lewat mana?”
Lewat mana, ya? Tangan Legend belum beralih dari wajahnya; jari-jemari yang kasar itu kini memijat pelipis setelah dirasanya nyeri ringan mulai menyerang. Legend memang bukan ahli linguistik. Ia hanya mengira-ngira saja. Ini, toh, bukan proyek penelitian yang membutuhkan rujukan seakurat mungkin. Mereka hanya sedang kalah oleh rasa penasaran–Hyrule dan dirinya. “Katamu, kamu dari Calatia, kan?”
“Kurang lebih, iya. Enggak lama di sana. Aku enggak begitu ingat. Tapi, iya, dulu aku tinggal di daerah sana.”
“Kira-kira, di tempatmu, udah berapa lama Calatia ada kerja sama dengan Hyrule?”
Yang ditanya terdiam. Seolah Legend habis menyuruhnya ambilkan sepotong bagian bulan dan ia tengah mengalkulasi bagaimana supaya mereka bisa terbang jauh sampai ke angkasa luar. “Halo?” tegur Legend, agaknya tak punya sisa energi dan kesabaran untuk dibuang-buang. “Link?”
Rasanya masih aneh, menyebut namanya sendiri. Namun panggilan itu cukup jitu sampai Hyrule agak tersentak lalu menyahut, “Oh–iya, maaf. Calatia, ya? Hm … gimana, ya, menjelaskannya?”
Reaksi terbata-bata itu memberitahu Legend bahwa urusan ini tidak bisa diburu-buru. Kan, memang, sedari awal ini bukan proyek penelitian yang serius. Legend jadi merasa tidak enak. Segera saja ia merangkul bahu Hyrule yang jadi dua kali lebih kebingungan, pelan-pelan menuntunnya ke suatu sudut kecil di ruangan kapal pecah itu, melintasi meja-meja yang letaknya tidak simetris serta peti-peti yang saling bertumpuk.
“Nah, duduk dulu,” ujarnya selepas memosisikan tubuh oleng kawannya di sebuah kursi berbantal. “Enggak usah keburu, pelan-pelan aja ceritanya.”
“Oh. Ehm … oke.”
Sinar matahari pagi yang masuk lewat jendela sedikit menyakiti mata Legend. Masih tersedia beberapa kursi kosong mengelilingi meja. Alih-alih duduk di salah satunya, ia putuskan untuk beranjak menuju rak berpintu kaca tak jauh dari sana. Melalui kaca itu, tampak bermacam gelas dan cangkir berjajar rapi. Banyak sekali. Dari yang mungil sampai sebesar dua telapak tangan, yang kacanya bening sampai keramik penuh corak semarak. Legend ambil dua saja, yang letaknya paling dekat dari daun pintu.
“Hyrule,” panggilnya lagi. “Mau kopi?”
“Air aja.”
“Teh, ya? Ravio habis beli bunga telang kemarin. Katanya bisa dibuat teh warna biru.”
“Oh, ya?”
“Yah–katanya, sih. Tapi aneh banget. Kalau bunga telang, ngapain susah-susah beli? Harusnya petik sendiri aja, di dekat-dekat sini banyak.”
Hyrule terkekeh. Ia tak tahu bunga telang itu apa, tapi mendengarnya saja ia jadi tidak sabar. Matanya mengekor gerak-gerik Legend yang kini susah payah menghampiri perapian, memuat-muatkan tubuh kecilnya di antara perabot lalu mengaduh pelan saat sikunya tak sengaja menyenggol sudut lemari. Sebenarnya, ini gudang atau ruang duduk? Atau ruang belajar? Atau jangan-jangan dapur? Hyrule sama sekali tak mengerti lantaran seisi rumah Legend tampak seperti ini, tidak ada bedanya, sampai-sampai Warriors mengeluh ia dua kali nyaris tersesat di dalam sana. Pun, Hyrule pikir ia tak pantas berkomentar. Seumur hidup, tidak banyak rumah yang pernah dimasukinya. Dan terus terang saja, Hyrule kurang memahami denah rumah yang normal itu seharusnya seperti apa.
Yang ia tahu, tidak mungkin mereka tengah berada di dapur utama sebab sudah terbayang Wild yang bakal mengomel-ngomel jika disuruh memasak di ruangan ini.
“Calatia itu, terkenal minuman sari jahenya,” ucap Hyrule, suaranya sedikit dikeraskan takut-takut tidak terdengar.
“Ya, aku pernah dengar. Rasanya gimana?”
“Enak. Cocok diminum saat cuaca dingin. Biasanya dicampur madu atau gula merah, supaya manis.”
“Gula merah?”
“Kamu enggak tau gula merah?”
“Gula yang warnanya merah?”
Hyrule menunduk, berusaha sembunyikan senyumnya. Padahal begini saja Legend sudah terlalu sibuk menghitung takaran teh dan gula. Mau Hyrule senyum-senyum atau salto juga tidak akan digubris olehnya. “Kamu bukannya udah jalan-jalan sampai ujung dunia, ya?” tukas Hyrule. “Masa enggak pernah lihat gula merah?”
Barulah kemudian Legend berbalik. “Ya maaf,” jawabnya, terdengar sangat tersinggung, “aku bukan jelmaan peri yang suka nyemilin gula.”
“Tapi ini juga bukan sembarang gula.” Hyrule melipat tangan di depan dada, lantas ia serahkan beban punggung pada sandaran kursi. “Diolahnya dari sadapan pohon kelapa. Memang namanya gula merah, tapi warnanya enggak yang merah banget. Lebih ke cokelat kemerahan. Rasanya juga beda jauh sama gula biasa.”
Tahu-tahu saja Legend sudah berjongkok menyodok-nyodok bara kayu perapian, menyimak sambil bergumam sesekali. “Emangnya gula yang putih itu dibikinnya dari apa?”
Serpih-serpih kayu mengertak di hadapan Legend. Api terus menjilat-jilat pantat ketel yang sudah segelap gambaran masa depan di kepalanya. Tak lama, uap timbul dari moncong ketel yang kemudian memekik nyaring bagai burung-burung neraka. Bunyi mereka cukup mendominasi hingga ia tak sadar sudah cukup lama lawan bicaranya tiba-tiba membisu.
“Legend….”
Yang punya nama tidak repot-repot menoleh. “Ya?”
“Kamu enggak tau gula itu terbuat dari apa?”
“Enggak,” jawabnya santai. Dengan hati-hati diangkatnya ketel gosong itu, ia tuangkan air mendidih ke dua cangkir yang telah sabar menanti sejak tadi. Aroma kopi panas menerpa wajahnya. Hylia. Inikah alasan sejati Legend terlahir ke dunia? Sebagai saksi dari eksistensi ajaib bernama kopi? Denyut di pelipisnya perlahan sirna, kantuk di mata ikut terangkat dan untuk pertama kali pagi hari itu Legend merasa punya kendali atas kesadarannya.
Bersama hati yang tenang, ia menjinjing dua cangkir berkelun kembali menuju meja di sudut yang disinari matahari itu.
“Nah, dari mana tadi?” celetuknya.
Hyrule bengong. Lelaki di hadapannya ini tampak seolah tak punya beban hidup. Ke mana perginya Legend yang baru lima menit lalu grasak-grusuk membenturkan siku ke lemari? Tangannya yang kini luwes dan ringan menyodorkan secangkir teh pada Hyrule, sebelum kemudian mengambil posisi nyaman di kursi seberang, membiarkan wajah penatnya terekspos matahari pagi.
Legend masih menatapnya dengan sorot bergelimang kantung mata. Paras itu bagai habis dipaksa menyaksikan seribu macam siksa kubur. Namun, caranya menyeruput kopi dalam diam tampak begitu damai hingga Hyrule tidak sampai hati mencecarnya dengan perkara asal muasal gula. Biar Legend mengira kalau gula terbuat dari endapan mata air tempat tinggal Great Fairy. Setidaknya, untuk hari ini saja, Hyrule tidak akan menghakimi.
Kalau sudah begini, masih perlukah ia bercerita soal Calatia?
“Legend?” panggil Hyrule.
“Hm?”
Jemari Hyrule meraih cangkir. Ia raba permukaannya yang masih panas. “Terima kasih tehnya.”
“Tentu. Sama-sama.”
“Kalau boleh tanya,” lanjut Hyrule, “teks yang kukasih itu hubungannya apa sama Calatia?”
“Ah, sebenarnya enggak ada, sih. Cuma, aku ketemu beberapa kata yang enggak pernah kudengar. Terus kucari di kamus, dan kebanyakan kayaknya diadopsi dari bahasa Calatia. Kamu bisa bahasa Calatia, 'Rule?”
“Sedikit.”
“Yah, enggak apa. Pokoknya, dari situ kusimpulkan kalau di masamu pasti banyak kontak bebas dengan Calatia. Enggak seperti di sini. Sekarang, mungkin belum, aku pernah dengar dari Zelda kalau mereka–Kerajaan Calatia, berencana mengajukan hubungan kerja sama. Tapi masih belum ada kabar lagi, sih.”
“Benar, kok.” Hyrule memberi anggukan. “Aku enggak tahu sejak kapan tepatnya–kamu tau, sulit ketemu dokumen yang masih utuh. Tapi memang jalur perdagangannya terbuka bebas, sepanjang situasinya aman. Di perbatasan area pesisir, ada kota terkenal namanya Vale.”
“Oh! Aku tau kota itu.”
“Kamu pernah ke sana, Legend?”
Legend menggeleng. “Belum pernah. Kamu?”
“Pernah, sih.” Hyrule menggaruk pipi, pandangan jatuh ke cangkir yang baru terjamah jemarinya saja. Air di dalamnya telah berubah membiru. “Terakhir ke sana sudah beberapa tahun lalu,” lanjutnya, “dan, yah, enggak berbeda jauh sama kota-kota lain yang terdampak agresi waktu itu. Sebenarnya, aku kurang tau juga kondisi keseluruhannya gimana–Calatia itu, kan, lumayan luas, ya. Aku enggak pernah kepikir untuk pergi terlalu jauh ke sana, udah terlanjur sibuk mengurus ini-itu.”
Terdengar kekeh pelan Hyrule. “Maaf, ya, pengetahuanku enggak sebegitu membantu.”
Ragu-ragu, ia melirik sekilas ke arah Legend. Panas milik secangkir teh bagai menjalar ke dada kala ia temui pandang Legend yang masih melekat padanya. Sinar pagi jatuh sedemikian rupa; menimpa anak-anak rambut pirang Legend yang belum disisir, menyorot wajah yang mulai bersemu dan terpantul pada sepasang mata itu. Hyrule waswas membayangkan reaksi macam apa yang akan ia terima. Dan Legend memberinya seutas senyum kecil.
“Jangan bilang begitu,” jawabnya. “Berkatmu, kita jadi dapat konfirmasi kalau memang ada pengaruh perkembangan bahasa dari negara tetangga, kan? Katamu, usia teksnya sekitar 300 tahun. Dan perkiraanku, rencana kerja sama itu pasti terjadinya enggak lama lagi.”
Ada jeda singkat yang Legend habiskan untuk mengambil napas perlahan. Udara di sekitarnya terasa seperti campuran debu dan uap kopi serta sisa lembapnya hujan kemarin sore. Tiba-tiba saja ia ingin tertawa. “Sebentar,” katanya, “jadi selisih umur kita kira-kira 300 tahun, dong?”
Mereka berdua berpandangan. Lalu, entah siapa yang memulai duluan, suara tawa memenuhi sudut rumah yang porak-poranda itu.
Comments
Post a Comment