he never found his lover's tomb
he must not turn his head to look behind
Nymph Finding the Head of Orpheus, 1950. JW Waterhouse |
“Kamu pikir ia tak pantas untuk mati?”
Tidak.
“Mengapa begitu? Bukankah kematian hal yang paling ditakutkannya?”
Tidak. Kematian bukan lagi hal yang paling ditakutkannya, kamu bilang. Itulah mengapa ia sibuk memetik nada-nada lira sembari nyanyikan elegi pilu tentang mendiang kekasihnya. Mengapa ia tak akhiri saja hidupnya? Mengapa harus menunggu batu-batu dimuntahkan langit dari amarah sumbang sekelompok Mainad di sela pepohonan? Mengapa harus menanti hingga jemarinya tak lagi dapat meruntih lawai, tangan dan kakinya tercerai-berai, berdarah-darah; hingga seisi hutan tak sudi selamatkan ujung rambutnya yang mulai menyatu dengan arus ke muara.
Kematian bukan lagi hal yang ditakutkannya. Meski ia menangis dan meratap dan memohon agar setiap entitas mulia Avernus bersedia ampuni penyesalannya. Ia menangis dan menangis sebagaimana elegi yang ia senandungkan sampai rumah para Musai.
Orfeus menangis. Namun ia tak pantas untuk mati. Ia tak lagi takut akan kematian. Ia jauh lebih takutkan dunia yang dipenuhi sesal dan neraka yang dipenuhi dendam. Pantas kah ia mati untuk temui kekasihnya lagi?
Orfeus terus senandungkan elegi. Ia tak sempat ucapkan maaf pada Euridike.
Comments
Post a Comment