罪な人、私だけ
Minggu lalu kamu tak ada di sana.
Begitu juga minggu sebelumnya, dan minggu lalunya lagi, dan minggu-minggu sebelumnya. Kamu tak ada di sana ketika kucing saya melahirkan lima anak-anak kucingnya, ketika Yozo-san memperbaiki proyektor tua yang sudah bertahun-tahun mangkrak di loteng, ketika keesokan harinya kami berdua menonton film-film Hitchcock di garasi yang lampunya dimatikan dan jendela-jendelanya tertutup kain sarung bantal.
Padahal kamu pernah berjanji.
Namun, apa artinya janji, jika bukan selayang kata-kata yang kamu ucapkan karena diam-diam saya harapkan. Justru karena kamu tahu saya ingin pergi memetik stroberi di halaman belakang rumahmu, memakan nasi tamagoyaki buatanmu, atau pergi hatsumode bersama supaya kita bisa membandingkan omikuji siapa yang lebih beruntung hasilnya.
Yozo-san bilang, kadang-kadang ia melihatmu di sana setiap hari Senin atau Selasa. “Dia selalu duduk di bangku yang sama,” ujarnya, “sambil menggambar, atau membaca buku, aku jadi sungkan mau mendekatinya tiba-tiba.”
Saya mengangguk setuju. “Tapi,” potong saya, “kenapa kita tidak pernah ketemu, ya?”
Yozo-san terdiam sebentar, lalu ia kedikkan bahu. “Mungkin karena kamu cuma datang di akhir pekan.”
Yozo-san bilang, kamu selalu duduk di bangku yang sama setiap hari Senin atau Selasa, sambil menggambar atau membaca buku-buku yang kamu suka: kumpulan haiku Basho atau Issa. Saya mungkin tahu bangku mana yang dimaksudkannya. Ada sederet bangku beratap gazebo dekat jembatan lengkung yang didesaki juntaian wisteria setiap menjelang musim semi. Jembatan itu terbuat dari kayu dan mengingatkanmu akan jembatan-jembatan tua di masa Edo. Kenapa kita tidak pernah buat jembatan seperti itu lagi? Saya tidak tahu. Mungkin karena orang-orang merasa jauh lebih aman ketika melintasi jembatan beton daripada jalinan kayu-kayu yang dipaku tangan manusia. Sama seperti kamu yang duduk di bangku beratap gazebo karena tak pernah tahu kapan hujan akan turun.
Sama seperti saya yang selalu datang di akhir pekan, semata-mata karena kamu pernah berjanji akan ada di sana.
“Mungkin kamu bisa coba pergi hari ini,” ujar Yozo-san. Hari ini hari Selasa.
Menggeleng, saya menjawab, “Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Tidak bisa hari Senin. Atau Selasa. Hanya bisa akhir pekan.”
Yozo-san cuma bergumam, kemudian melamun seolah tengah memikirkan apa yang perlu dilakukannya jika dunia berakhir esok hari. Saya menatapnya sampai merasa bersalah karena ia tampak lebih khawatir daripada saya, atau kamu. Apakah saya kurang berusaha? Haruskah saya mengorbankan sekian banyak hal untuk melihat kamu benar-benar ada di sana?
Salahkah jika saya merasa, begini pun tidak apa-apa?
“Nath,” panggil Yozo-san, “kamu tak ingin pergi?”
Saya menelan ludah. “Ingin.” Mungkin. Saya tak tahu apakah benar demikian, atau jawaban itu cuma bohongan.
“Lantas, kenapa masih di sini?”
Hening. Lama sekali. Rasanya seperti berminggu-minggu yang terlewat tanpa janji yang kamu tepati. Pertanyaan itu mengetuk pelan kepala saya tanpa henti. Ritmenya begitu teratur seperti tetes gerimis yang menghujam atap gazebo. Saya teringat kembali hari ketika kamu menanyakan hal serupa; bibirmu mengucap lirih sekali, menyelinap di sudut pandang saya, seperti ujung sentuhan yang terdiam lama sebelum menyela ruas jari-jemari, seperti bisik-bisik subuh dan apa yang terkadang saya lamunkan di bawah langit-langit ketika kamu tak ada di sini.
Comments
Post a Comment