Kamar Saya Terlalu Gelap

Kamar saya terlalu gelap.

Pagi ini saya menjatuhkan segelas air minum. Rintihannya membangunkan ayam dan pohon cabai yang masih terlelap di halaman. Saya menunggu kalau-kalau seseorang bakal berseru kaget menanyakan dari mana asal suara itu; sebagaimana ibu seringkali memekik ketika adik saya menumpahkan susu cokelatnya dulu, atau teman sekelas yang terpikau-pikau saat sebuah bola kasti melesat melubangi jendela. Saya menunggu. Menunggu. Tapi hanya ada keheningan. Dan gelap. Kamar saya terlalu gelap tanpa kamu di dalamnya.

Pagi ini saya terbangun tanpa leher dan punggung yang merentik lemah. Tapi, saya tak pernah benar-benar tertidur. Saya kerap terjaga di malam-malam larut tak lain karena rembang terlalu bisu dan kepala saya sibuk bicara. Kepala saya berlagak dirinya adalah dramaturg terhebat yang mengingat seribu naskah berbeda. Kadang kala mata saya menatap bagaimana langit-langit memutar ulang adegan film yang kita tonton dari layar tancap lapangan parkir.

Pecahan gelas dan butir air terseok-seok di lantai kamar. Mereka tampak seperti manikam dan kemilau air mata. Saya teringat kali pertama kamu menangis di hadapan saya, kamu bilang orang tuamu akhirnya datang untuk memberi tahumu betapa bangganya mereka. Saya usap pelan rambutmu seraya berkata bahwa kamu punya hati paling derana di dunia. Setelah itu kamu nyaris tak pernah menangis lagimungkin kamu malu, mungkin jauh dalam hati kamu seorang yang maskulin laiknya tokoh-tokoh di karya Tarantino yang kamu sukai itu. Mungkin masalahnya ada pada saya; terlalu layuh dan buncah menghadapi dunia, lantas mana bisa memberimu katarsis mengarak panja bila saya cuma bernala-nala menyedang kedirian?

Seseorang pernah berkata, menurutnya kamu pasti akan menangis seandainya dapat mengintip isi kepala saya. Tetapi kamar saya terlalu gelap dan saya tak bisa melihat apa pun selain pecahan gelas di lantai. Mereka tampak seperti manikam dan kemilau air matamu.

Comments

Post a Comment