if i betray our lonely nights spent out like a light
Keranjang Jungkook dipenuhi kotak-kotak pembungkus galaksi.
Kakak-kakaknya selalu bilang, Jungkook tak pernah berubah sejak dulu; ketika pemuda itu masih berusia lima belas dan suka malu-malu seperti seekor kelinci yang buru-buru melompat masuk sarang bila didekati manusia. Jungkook cuma nyengir acapkali Hoseok atau Seokjin menyebutnya demikian, alih-alih cemberut protes sebab dalam hati pun Jungkook merasa dirinya yang sekarang sudah jauh lebih dewasa (ia sudah bebas memanjangkan rambut dan punya tato macam-macam tanpa harus minta izin pada orang tua—kurang dewasa bagaimana lagi?).
Senyum Jungkook pun terpatri lebar kala pernyataan yang sama dilontarkan mulut kakak-kakaknya, selagi tangannya belum berhenti menjejalkan kotak-kotak pembungkus galaksi ke dalam keranjang. Keranjang yang terlalu kecil, barangkali tak akan muat mengangkut keinginannya yang begitu besar. Galaksi itu rasanya manis, berbentuk lolipop dengan tusuk plastik daur ulang dan warna lembayung yang jadi favoritnya. Jika dipikir-pikir, ledekan yang ia terima itu memang ada benarnya.
Mau bertambah umur berapa tahun pun, ia masihlah Jeon Jungkook yang mencintai lolipop galaksi serasa gula-gula beku. Jungkook masih seorang adik yang sering diledek dan disuruh ini-itu. Ia tetaplah anak muda yang bingung ketika disuruh mengambil keputusan besar, menangis saat patah hati dan bertanya-tanya pada dunia mengapa takdir berbelok ke sini bukannya ke sana.
“Aku sudah peringatkan.” Suara Taehyung menggema di rungunya, tidak marah—hanya dingin, lelah, seolah sudah memperkirakan sejak lama; akan datang hari di mana Jungkook menghampirinya bersama kantung mata dan benang rumit di kepala. “Kalau sudah seperti itu, nggak bakal bisa diperbaiki. Memang kamu mau dikhianati lagi? Apa nggak capek sakit hati?”
Ah, ingin rasanya Jungkook mengaku, sejatinya kata-kata Taehyung yang menusuk itu rasanya jauh lebih menyakitkan. Tapi, toh, Taehyung tidak sepenuhnya salah. Kalimat yang meluncur deras dari bibir kakaknya itu jadi terasa menyakitkan karena mereka benar—ada noda yang terlalu sulit untuk dibersihkan, ada luka yang tidak bisa disembuhkan.
‘What’s the point if you won’t even believe
in me anymore?’
Seolah ada yang menggelitik hidungnya, Jungkook tak sengaja bersin dan menggoyahkan genggamannya pada cerek plastik berwarna hijau muda—nyaris saja menjatuhkannya. Memang tidak jatuh, tapi siramannya jadi ke mana-mana sampai terdengar pekik tertahan tak lama kemudian.
“Jungkook!”
“Sori, sori!”
“Bukunya nyaris lecek gara-gara kamu.”
“Maaf, asli nggak sengaja,” ujar lelaki itu cepat-cepat, cerek hijau ia letakkan jauh-jauh di pojokan terapit pot-pot besar. Segera ia kembali untuk memelototi jajaran buku yang nyaris jadi korban siraman airnya. “Tapi nggak kena, ‘kan?”
“Hampir.” Disusul hela napas, gadis yang berjongkok di sebelahnya kini memunguti satu-persatu buku yang mengular panjang bersisian dengan deret pot bunga. Jungkook ingin membantu, tapi urungkan niat karena takut malah berbuat apa-apa yang berisiko.
“Maaf.”
Hanya terdengar gumaman. Sepintas, Jungkook melirik pintu kaca yang tengah digeser terbuka, menampakkan ruang duduk yang kosong. Yoongi tidak tampak di mana pun. Syukur, dalam hati Jungkook berharap kakaknya yang satu itu tidak sedang jatuh pingsan di suatu sudut rumah. Ia kemudian ikut berjongkok, mengamati tanaman yang menyantap sinar matahari pagi dan berjilid-jilid kertas yang terbatuk mengusir debu dari tubuh mereka.
Jungkook mengerling. Sejujurnya, ia masih tidak mengerti mengapa buku-buku pun harus dijemur. Kata Rahee, semata agar tidak ada rayap yang diam-diam bermukim di lipatan halaman, supaya kertasnya tidak berjamur dan tahan lama. Aneh, ia pikir, terlebih setelah menilik mayoritas buku-buku ini yang terbilang masih baru. Kertasnya belum menguning, beberapa malah masih punya aroma buku baru. Mereka cuma berdebu saja, seperti baru pertama kali bernapas setelah dibiarkan terhimpit dalam lemari.
“Sudah cukup, kurasa.”
“He? Cepat banget.”
“Nggak boleh dijemur terlalu lama.”
Padahal yang dibicarakan buku, tapi isi kepala Jungkook malah berkelana ke tempat lain. Sudah sekitar dua minggu lamanya ia menjemur pertanyaan yang sempat diajukan padanya. Rasa-rasanya pun tak ada gunanya, baik hari berhujan maupun hari yang terik, pertanyaan itu Jungkook biarkan tergolek di tanah konkret.
‘Maybe ... it’s better if we—’
“Nggak usah bantu bawa masuk,
Jungkook lanjut siram bunganya Kak Namjoon aja.”
Jungkook tersentak dari lamunan,
memasang wajah linglung sebentar selagi sosok Rahee sudah beranjak masuk
bersama tumpukan buku di tangannya. Tipikal Jungkook, disuruh A malah melakukan
B, disuruh tidak melakukan A—tetap saja dilakukan. Tanpa mengindahkan anjuran
Rahee, ia memungut buku-buku yang tersisa lalu membawanya masuk.
Langkahnya dibawa ke pintu kamar
tidur Yoongi. Sedikit banyak tak menyangka ia bakal mendengar percakapan dari
dalam sana.
“...’kan nggak mungkin aku suruh
Rahee menata semuanya?”
“Justru aku repot-repot ke sini
biar Yoongi nggak perlu menatanya sendiri.”
“Nggak sendiri, kok.” Kalimat
Yoongi terhenti, kepalanya ditolehkan ke arah pintu; kini bertukar pandang
dengan Jungkook yang mematung dengan mata melebar. “’Kan ada Jungkook.”
Rahee tadinya sibuk menghadap
rak buku di sebelah jendela, lantas berbalik dan melempar pandangan
bolak-balik; Yoongi ke Jungkook, Jungkook ke Yoongi. Bahunya melorot sebelum ia
letakkan sisa buku-buku di pelukannya ke lantai asal-asalan. “Oke, ada Jungkook
yang mau susah-susah disuruh merangkai rak—terima kasih, Jungkook. Nah, karena Jungkook
masih bisa disuruh-suruh menata buku, jadi Yoongi mending duduk manis aja,
oke?”
Tanpa menunggu seloroh Yoongi
yang baru membuka mulut, Rahee sudah melesat keluar ruangan—membuat Jungkook
buru-buru beranjak dari ambang pintu.
“Dia nggak pulang, ‘kan?”
Ketika menoleh, ekspresi Yoongi
kali ini merupakan campuran panik dan bingung, mau tak mau mengundang senyum
simpul Jungkook. “Paling mau ambil sisa buku di belakang, tadi masih ada
beberapa.”
“Lagian ngasih buku kok banyak banget.”
Jungkook tertawa. “Bagus, dong?
Kak Yoongi jadi ada bahan bacaan.”
“Masalahnya, ada juga yang sudah
kubaca di Kindle.”
“Nggak apa-apa,” respon
Jungkook, dengan telaten tangannya sudah menderetkan buku-buku pada sisi rak
paling bawah. “Kindle nggak bisa diajak berjemur pagi-pagi.”
“Kata siapa?” Fokus Jungkook
tidak runtuh kala Yoongi malah balik bertanya. Ia pura-pura tak dengar—atau
memang sama sekali tak dengar? Maniknya sibuk mengobservasi rak langsing serona
cokelat dengan aksen kayu yang kuat; hasil mahakaryanya. Ini pertama kalinya
Jungkook berhasil merakit furnitur IKEA sampai selesai. Biasanya, setiap
disuruh membongkar pasang furnitur sendiri, paling-paling hasil akhirnya bakal
seperti ini:
“Tahu, nggak? Buku-bukunya baru
tapi berdebu, makanya harus dijemur dulu,” lanjut Yoongi. Barangkali Jungkook
sudah bergumam sedikit, atau ia cuma diam saja, manapun itu agaknya Yoongi
bukan sedang minta direspon dengan jelas.
“Rahee itu bukan tipe orang yang
suka menimbun buku terus nggak dibaca. Dia selalu perhitungan kalau mau beli
buku, harus yang benar-benar menarik dan dia yakin bakal baca sampai selesai.”
Jungkook mendengarkan, meski
suara Yoongi seolah cuma angin lewat, masuk ke telinga kanan dan langsung pergi
melalui telinga kiri. Tetapi ia sadar sempat berpikir “kok bisa, ya?” ketika Yoongi bilang semua buku di rak baru itu
tadinya cuma pajangan di rumah Rahee, sebab dari awal memang bukan dibeli untuk
dibaca; melainkan dibeli sambil memikirkan Yoongi. Kok masih bisa begitu, sih? Buku sebanyak itu terkumpul dalam kurun
dua tahun—dua tahun yang terlampau panjang buat Yoongi, Jungkook tahu betul
karena sudah sering menemani kakaknya itu mengobrol sambil minum-minum sampai
lewat tengah malam. Lucu benar, selama ini Yoongi mengira cuma dirinya yang
kesulitan membuang kenangan masa lalu, tapi ternyata Rahee sendiri diam-diam
menyimpan memori tentang Yoongi di dalam tumpukan buku.
Kenapa cuma Jungkook seorang yang
menyembunyikan rasa takut di antara reminisensi?
“Kak Yoongi,” panggil Jungkook.
Sekelumit keraguan berkabut di kepalanya, namun sudah ia putuskan untuk bicara—lagi
pula, bukankah itu yang dikehendaki Yoongi sejak awal? Mengoceh tentang Rahee
dan buku-bukunya agar Jungkook terpancing mengangkat topik itu?
Jungkook bernapas pelan, jemari sepenuhnya
berhenti menjamah halaman-halaman berbau matahari. Ia melayangkan pandang pada
Yoongi, yang tengah duduk bersandar dengan kaki dilipat. “Memangnya salah,
kalau aku butuh waktu buat percaya lagi? Waktu biar lukaku benar-benar bisa
sembuh?”
Sebentar, cuma ada keheningan. Padahal
Yoongi tahu betul pertanyaan semacam itu akan muncul juga dari dalam benak
Jungkook yang awut-awutan, tapi ia mesti berpikir cukup lama sebelum akhirnya
menjawab, “Nggak ada yang salah.”
“Sama seperti kamu yang boleh
bersedih atas luka, kamu juga berhak mengambil jarak,” sambungnya. Kamar itu
jadi berisik oleh dengung air conditioner,
sayup-sayup percakapan jauh di luar, serta balon-balon tanda tanya jauh di
dalam sepasang mata Jungkook. Bibirnya membisu, namun netranya menyalang tanpa
kedip. Berisik sekali. Pun Yoongi tidak ayal melanjutkan, “Tapi kamu malah
lari.”
Barangkali, yang berisik
sebetulnya bukan kepala—tapi hati. Debarnya begitu keras sampai Jungkook nyaris
lupa bagaimana cara bernapas. Takut-takut Yoongi bakal mendengarnya, ia
cepat-cepat memalingkan wajah. Deretan rapi di rak buku menyapanya dalam bisu,
sedang kepal tangannya mengeras di sisi mereka.
Jungkook berkedip. Memori itu
berputar lagi. Dalam kepalanya yang berisik; hatinya yang tak pernah tidur. Kalau tak bisa percaya, mengapa kamu
kembali? Mengapa kita kembali?
“Jungkook?”
Panggilan Yoongi menembus rungu
pemuda itu. Dihelanya napas singkat, sebelum kemudian menggeleng seraya
tersenyum lemah. Yoongi benar. Jungkook lari.
Ia terlalu sibuk meladeni kepalanya yang berisik dan hatinya yang tak pernah
tidur. Ia takut seandainya ia biarkan matanya terpejam sebentar saja, luka itu
malah bertambah besar, bertambah menyakitkan. Kalau sudah begitu, bagaimana
bisa ia sembuhkan? Sebab kenyataannya ia tak akan pernah mampu mengusir kamu dari kehidupannya.
“Kamu ini belum berubah sama
sekali, ya,” komentar Yoongi, lantas mengundang kekehan kecil Jungkook. “Tiap
hari menyiram bunganya Namjoon, bantu Kak Seokjin masak, mau-mau aja disuruh ngosek kamar mandi, sekarang juga nggak
ngeluh diminta tolong rakit rak buku—kamu kira aku nggak sadar? Kalau
menghindar terus, justru kamu nggak bakal beranjak ke mana-mana.”
Biasanya, Jungkook cuma akan
cengar-cengir bila disebut demikian; Jungkook,
kamu masih sama aja kayak dulu. Ia tak perlu Hoseok, Seokjin, atau Yoongi
mengingatkannya bahwa dirinya masihlah Jeon Jungkook yang suka lolipop galaksi
semanis gula-gula beku, atau sesosok adik yang sekali-sekali butuh omelan
kakak-kakaknya supaya tidak berjalan terlalu jauh melewati batas.
“Kak Yoongi?”
“Iya.”
“Harus bagaimana, dong?”
Terdengar hela napas Yoongi,
keras sekali, seolah beban seluruh dunia tiba-tiba ditimpakan pada bahunya.
Kasihan. Padahal bahunya yang satu sudah cukup menanggung derita. Kendati
Jungkook malah tersenyum, ia tahu Yoongi tak pernah keberatan bila sang adik
membagi beban hidup dengannya.
“Nggak perlu buru-buru,” ujar
Yoongi. “Yang penting, kamu kasih kabar dulu ke Kalea.”
Ah. Yang ini agak sulit. Sudah
berapa lama ia mengabaikan pesan Kalea? Bagaimana Yoongi bisa tahu? Memang aneh
kakaknya yang satu ini.
Jungkook belum sempat merespon
ketika Yoongi sudah berseloroh lagi, “Sebelum kamu coba mempercayai orang lain,
ada baiknya kamu kasih mereka kesempatan mempercayaimu juga.”
Wkwk.
written just for fun (hence the ending is a bit strange),
dengan meminjam headcanon dan OC-nya Bekal-san, terima kasih
Comments
Post a Comment