Konditorei, Kota, dan Nyanyian Angin
Hari yang sangat berangin. Padahal ini nyaris musim panas, kamu mengharapkan hujan akan sering turun dan bunga-bunga hydrangea mulai mekar di taman atau balkon orang-orang. Malah, udara jadi sedikit kering lalu terkadang kamu bersin tiba-tiba. Masa kamu terserang flu penghujung musim semi? Kamu tidak yakin, tapi pergi ke dokter bukan pilihan baik karena kamu tidak suka suasana rumah sakit yang asing.
Ini kunjungan keduamu ke Dresden. Tiga tahun lalu kamu pergi menonton opera serta berjalan-jalan mengelilingi kota. Dresden di ingatanmu seperti kotak hadiah ulang tahun dari seorang sahabat, dengan pita cantik dan kartu ucapan manis. Dresden musim semi itu tidak seramai Berlin, tidak menyisakan salju berkepanjangan seperti Aachen, dan stasiunnya tidak lebih membingungkan dari Hamburg-hauptbahnhof yang dipenuhi penumpang transit ke Denmark. Dresden, menjelang akhir musim semi inipun terlihat tak jauh berbeda—kecuali mungkin angin kencangnya. Yang berbeda, pikirmu, barangkali cuma apa yang hatimu ikut bawa ke penjuru kota.
Ini baru kali kedua kamu berkunjung ke Dresden, tapi langkah kakimu tidak pernah ragu-ragu menapak trotoar dan menyisir lalu-lalang manusia. Di sudut jalan ada Loschwitzerkirche yang pernah kamu kunjungi. Di dekatnya ada air mancur dengan patung yang katanya sudah direnovasi pasca serangan bom pada perang dunia kedua, di situ kamu pernah duduk sambil memakan roti isi keju. Kali ini kamu melewati mereka begitu saja. Kamu juga mengabaikan rumah ketujuh di sisi kiri Amtsstraße, yang dahulu sempat kamu kagumi nyaris seperempat jam selagi kamu membatin bahwa rumah itu mungkin rumah impianmu. Kala sampai di sebuah tikungan, kamu selalu berbelok dengan cermat, mengetahui lokasi tepat zebra-cross saat hendak menyeberang, dan memastikan tidak sampai tersesat di gang-gang dengan resiko terjadi tindak kriminal.
Kamu memang seperti itu—fakta yang mengherankan, kamu tak pernah memerlukan peta ke manapun kamu pergi. Kamu lebih senang membiarkan sepasang tungkaimu membawa tubuh dan kesadaran ke arah yang mereka inginkan. Jika kamu berhenti, artinya beragam—bisa saja karena ada sesuatu yang tersangkut di sepatumu, atau karena kamu ingin buang air sehingga atensimu mengedar sebentar mencari toilet umum. Kali ini kamu berhenti karena alasan lain lagi.
“Hei! Akhirnya ketemu!”
Kamu menoleh, lantas mematri senyum ketika bertatap muka dengan seorang gadis berambut pirang. “Oh, halo! Kamu menemukanku,” ujarmu dengan nada geli.
Gadis itu melangkah lebih dekat, selagi fokusmu kembali pada bangunan baroque bercat hijau toska yang berdiri kokoh di persimpangan. “Aku tahu kamu akan ke sini,” ucapnya, yang hanya kamu diamkan sebentar.
“Kenapa repot-repot mencariku?” tanyamu akhirnya. “Katanya tadi ingin ke museum? Makanya kita berpisah di tengah jalan, ‘kan?”
“Aku baru tersadar kalau pergi sendirian itu sama sekali tidak menyenangkan—jangan tersinggung, aku tahu kamu lebih suka ke mana-mana sendiri, tapi aku tidak. Rasanya kurang puas karena tidak ada yang bisa kuajak bicara.”
Terdengar suara tawa nyaring darimu, sebelum ia melanjutkan, “Kamu sudah mampir ke mana saja?”
“Belum ke mana-mana, cuma berkeliling.” Sekali lagi, kamu menatap lekat-lekat bangunan bertingkat di hadapan. Ada huruf-huruf timbul berjajar di atas pintu dan jendela-jendelanya, Gröhmann Bäckerei & Conditorei. “Ini yang pertama.”
“Ah—“ Gadis itu berseru kemudian berkacak pinggang. “Kamu sengaja memancingku ke sini, ya? Agar aku mau membelikanmu spritzringe karena kamu meninggalkan dompet di hotel?”
Kamu tergelak. “Wah—sebenarnya, itu ide yang bagus!”
Sebelum gadis itu berlagak semakin marah lalu berpaling meninggalkanmu sendirian di sisi jalan, kamu menepuk-nepuk pundaknya sambil berusaha meredakan tawa. “Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau, lihat—aku punya ini.”
Pada genggam tanganmu yang terulur, ada selembar uang 10 euro terlipat rapi membentuk segitiga. Meski tampak lebih tenang, kecurigaan gadis itu masih kentara di ekspresi serta kerling matanya. “Kamu dapat uang dari mana?”
Kurva bibirmu melebar. “Angin.”
Gadis itu tetap melekatkan atensi pada sosokmu, yang mulai berjalan menaiki undakan menuju pintu masuk toko. Hari ini memang berangin. Ia bahkan menyadari bagaimana rambut pirangmu ikut menari bersama hembusan udara pagi. Tapi tetap saja—memangnya angin bisa menghadiahi kita uang 10 euro? Tentunya kamu tidak akan mengakui, bahwa belum lama ini kamu bertemu sekelompok penari schuhplattler di jalanan yang menyedot seluruh atensimu, sampai akhirnya hanya terdengar suara tepuk tangan yang teredam angin—dan tiba-tiba saja selembar uang 10 euro terbang menampar wajahmu. Bahwa angin memang bisa menghadiahi kita uang.
“Kurasa aku mau sepotong baumkuchen lagi.” Kamu berpaling dan gadis itu sudah ada di sana, setengah meter di sebelahmu, yang tadinya sibuk memandang rak-rak roti beraroma mentega. Terus terang, presensi gadis itu lumayan mengejutkanmu. Mungkin kamu hanya belum terbiasa melihat sosoknya yang ini, baru dua minggu lalu dia tiba-tiba memangkas rambut sependek lehernya. Aneh. Sekarang rambutmu bahkan lebih panjang dari miliknya.
“... pfannkuchen atau spritzringe lagi?”
Mengerjap, kamu tersadar ia masih bicara padamu. Oh—benar. Spritzringe lagi. Kamu baru teringat, tiga tahun lalu kamu ke sini untuk membeli dua buah spritzringe dengan icing vanila di atasnya. Mudah dibayangkan, namun kamu tidak ingat betul rasanya. Semoga saja tidak terlalu manis.
“Oh, mereka punya kue wortel!” Mengabaikan pertanyaannya barusan, kamu berseru, dengan manik sewarna laut bersinar-sinar bagai permukaan air yang ditimpa cahaya matahari.
Ia mengikuti arah pandangmu, lantas menimpali beserta nada mengejek, “Kamu sedang sial, ini hanya dijual seloyang.” Jarinya menunjuk kartu kecil di sebelah satu set kue bundar seukuran diameter bola voli. Kue yang lucu, dihiasi wortel-wortel mini di atasnya, namun angka-angka yang juga tertulis di kartu itu membuatmu melotot.
“Oh, sialan.”
Kini giliran gadis itu yang tertawa—kedengarannya puas sekali, seolah rasa penasarannya soal lembaran uang 10 euro milikmu terbayar. Barangkali lebih baik kamu memberitahunya fakta di balik uang itu, dengan demikian ia akan mempertimbangkan untuk meminjamimu beberapa euro tambahan. Sekilas, kamu melempar lirikan ke arah gadis itu, masih asyik terkekeh geli. Ah, memang aneh, rambut barunya itu. Apa tiga tahun lalu ia juga tertawa seperti ini? Atau tawanya sudah berubah—seperti halnya potongan rambutnya yang kini terlalu pendek?
“Jangan menekuk wajahmu begitu!” ujarnya selepas puas tertawa atas penderitaan orang lain. Sia-sia, kamu tampak terlalu dalam menderita, hingga mau tak mau kesadarannya diambil alih rasa kasihan. Gadis itu berjalan ke arah kasir, memunggungimu yang masih terbengong-bengong. Dalam hati, kamu yakin ia akan membelikanmu kue itu tanpa diminta.
Comments
Post a Comment