[What a Waste of a Lovely Night: #03] Kerling Matamu Jelas Bukan Dusta
[What a Waste of a Lovely Night: #03]
Kerling Matamu Jelas Bukan Dusta
Park Woojin & Park Jihoon
Comedy, slight!Bromance
Kerling Matamu Jelas Bukan Dusta
Park Woojin & Park Jihoon
Comedy, slight!Bromance
a fanfiction by hvnlysprng
∞
Malam itu, taburan bintang di
angkasa mengingatkan Woojin akan sebuah mitos yang seringkali ia dengar baik
disengaja maupun tidak sepanjang beberapa tahun belakangan. Mereka bilang, jika
kau seolah melihat gemerlap bintang-bintang di dalam mata seseorang, maka orang
itu merupakan jodohmu.
Konyol. Woojin tak habis pikir
siapa oknum kurang ajar yang pertama kali menyebarkan kebodohan semacam itu. Tapi
tak ada yang lebih bodoh daripada orang-orang yang dengan mudahnya percaya dan
segera mengarang cerita mengenai mitos itu yang jelas terlihat dibuat-buat.
“Hei, Woojin.”
Woojin menoleh tanpa
repot-repot menyahut sebab mulutnya masih sibuk mengunyah. Di sampingnya,
Jihoon entah sejak kapan telah memfokuskan seluruh atensi pada langit malam
yang kebetulan cerah hari itu.
“Lihat!” Jari telunjuk Jihoon
teracung, menunjuk sebuah titik di antara luasnya langit yang menaungi bumi.
“Itu bintang bukan, sih?”
Butuh lima detik untuk
menangkap arah mana yang sebenarnya ditunjuk oleh lelaki itu, lalu butuh lima
detik berikutnya untuk mencerna pertanyaan Jihoon kemudian membandingkannya
dengan kenyataan yang ditilik dengan mata menyipit.
“Bukan,” jawab Woojin akhirnya
setelah sepuluh detik yang bagi Jihoon terasa seperti setengah jam. “Itu bukan
bintang, tapi lampu pesawat.”
“Ha?” Jihoon terdengar kaget,
wajahnya berubah serius selagi ia masih mengobservasi objek bersinar di angkasa
itu seolah tak setuju sepenuhnya pada pernyataan Woojin. “Bohong, ah. Masa
bukan bintang?”
Membuang napas lelah, Woojin
mengabaikan sebungkus tteokbokki-nya
lantas mencoba menjelaskan pada Jihoon dengan cara sesimpel mungkin. “Lihat aja
warnanya, kedip-kedip biru-hijau-merah gitu. Mana ada bintang berubah warna?”
“Oh. Iya juga.”
Mungkin Park Jihoon ini memang
jauh lebih bodoh daripada pengarang-pengarang cerita mitos jodoh-jodohan khas milenium
yang Woojin sebutkan tadi.
Omong-omong, bagaimana Woojin
tahu betapa konyolnya kisah penuh mitos itu? Ha, ia masih ingat jelas bagaimana
linimasa Twitter-nya penuh dengan thread
yang membicarakan pengalaman tiap-tiap pemilik akun dengan ribuan pengikut. Dari
benci ke cinta, insiden tabrakan di koridor, versi modernnya Siti Nurbaya, seklise
itu! Tinggal beri bumbu omong kosong soal aku
melihat langit berbintang di matamu, dan voila! Dapat, deh, beribu retweets.
Park Woojin memang bukan
tipikal orang yang doyan membaca (kecuali mungkin komik Naruto milik Jihoon
yang dibeli acak), tapi mau bagaimana lagi kalau cerita-cerita soulmate itu terus-terusan muncul saat
ia membuka aplikasi media sosial? Kalau boleh jujur, Woojin lebih memilih
disuruh membaca kitab primbon.
Pokoknya, ia tidak suka dengan
omong kosong soal jodoh.
“Kenapa tteokbokki-nya kamu habisin?”
Dengan wajah datar, Woojin
kembali melirik Jihoon yang kini tak lagi menaruh perhatian pada bintang-bintang
dan lampu pesawat, justru malah terlihat agak jengkel. “Sori? Ini ‘kan emang
punyaku???” ujar Woojin bingung, terdengar tidak jelas sebab dirinya masih
mengunyah gigitan terakhir kue berasnya.
Meskipun begitu, Jihoon masih
punya kemampuan untuk mencerna perkataan kawan karibnya itu. Namun sekelumit
unsur negatif dalam ekspresinya tetap enggan untuk sirna. “Dasar nggak peka.”
Lelaki itu memalingkan pandangan seraya membuang napas kasar. “Berapa tahun
kita kenal, Woojin-ah? Udah berapa
kali kita nongkrong di sini tiap malem Senin?”
“Delapan tahun.” Woojin
menjawab gamblang. Cepat-cepat ia meraih sebotol air mineral setelah menelan
sisa terakhir tteokbokki yang ia
makan. Tenggorokannya mulai serat. “Berapa kali, ya? Nggak tau, lah. Ngapain
juga kuhitung? Pokoknya kira-kira sejak kita masuk SMA, sejak hari Senin bakal selalu
kerasa terlalu berat buat dijalanin.”
Jihoon mengangguk, dengan
pandangan masih diedarkan ke mana pun asal bukan ke arah kawannya yang kini
tengah buru-buru meneguk minuman. “Lama nggak, tuh?”
Terdengar gumaman tidak jelas
Woojin. Entah maksudnya apa, tapi toh tidak berbeda jauh dengan cara ia biasanya
bicara kalau sedang gugup―mirip orang kumur-kumur. Jihoon anggap artinya ‘iya’.
“Terus―” detik berikutnya
Jihoon akhirnya menatap lelaki itu, mengabaikan riak air sungai dan suara
jangkrik yang bergerak-gerak tepat di rumput sebelahnya, “―kenapa masih nggak
peka aja kalo aku pengen minta tteokbokki-nya,
HAH??!?!”
Lantas Woojin melotot,
menghentikan kegiatannya memutar tutup botol, ketika mendongak ternyata Jihoon
juga tengah membulatkan bola matanya seolah meminta pertanggung jawaban atas
dosa-dosa yang telah diperbuat Woojin selama ini. “Lah? Ngomong, kek, kalo mau
minta??”
Sang kawan mendengus. “Gini,
nih. Pantes kamu jomblo terus.”
Nampaknya Woojin tidak terima,
meski ia berusaha menahan kejengkelan dengan meletakkan botol air yang bahkan
belum tertutup dengan benar. Kalau mau, botol itu bisa saja sudah dipakai untuk
menggetok kepala Jihoon. “Bodo amat! Terus sekarang tteokbokki-nya kudu kumuntahin lagi, gitu?”
Raut jijik segera terpasang di
tampang Park Jihoon, tidak peduli karibnya itu seolah bisa meledak kapan saja,
ia justru kembali menyalakan kompor. Begitulah kedua pemuda Park mempraktikkan
perdebatan mereka yang ke sekian kalinya, ditemani refleksi rembulan dan
lampu-lampu kota di permukaan air sungai serta ilalang yang bergoyang ditiup
angin. Bahkan kerik jangkrik pun kalah keras.
Heran. Woojin sendiri
bertanya-tanya, barangkali delapan tahun bersahabat tidak menutup kemungkinan
adanya adu mulut barbar meski perkaranya sesederhana makanan ringan.
Ketika keduanya sudah lelah
marah-marah, salah satu akan menghela napas seraya menghempaskan punggung di
atas rumput. Kali ini giliran Woojin yang memutuskan untuk menutup telinga
rapat-rapat lalu rebahan dengan sebelah tangan dijadikan bantal. Sesaat
keheningan memenuhi udara malam hingga samar-samar terdengar suara katak dari
kejauhan. Manik Woojin menangkap kedipan lampu pesawat tadi saat ia diam-diam
melirik ke arah kawan sejawatnya.
Jelas, Jihoon masih cemberut.
Agaknya semakin gondok mengingat besok ada ujian Bahasa Inggris, niatnya jajan
sambil nongkrong bersama Woojin agar
tidak pusing memikirkan hari Senin bukannya malah cekcok begini. Guratan wajah
lelaki itu terlihat samar-samar dari sudut pandang Woojin, hanya nampak
setengahnya itupun tidak akan jelas jika tidak tertimpa cahaya lampu jalan.
Kendati Woojin tahu betul, kawannya pun tengah mengamati keindahan langit malam
ini.
Woojin serius. Terlepas dari
fakta bahwa esok adalah hari Senin yang penuh kelaknatan, malam ini semesta
tersaji begitu indah. Putihnya awan yang biasanya menyatu dengan gelap langit
kali ini lenyap, sedemikian bersihnya hingga bisa dilihat tercermin pada
permukaan air. Rumput pinggir sungai pun tidak terasa basah berkat paparan
sinar mentari sepanjang hari. Angin sepoi-sepoi berhembus khas bulan September.
Dan yang terpenting, tak ada yang lebih indah selain bagaimana gemerlap cahaya
bintang tak hanya terpantul di atas air, namun juga pada sepasang manik Park
Jihoon.
Lho?
“Apa lihat-lihat?”
Hampir saja Woojin terjengat.
Tahu-tahu pandangannya sudah bersirobok dengan Jihoon. Namun kali ini, Woojin
sama sekali tak mengacuhkan ekspresi galak lelaki itu, ia terlalu sibuk
mengernyit kala menyadari sesuatu dalam retina kecoklatan Jihoon yang tak
pernah ia jumpai sepanjang delapan tahun belakangan. Apa netra kawannya itu
memang seindah ini?
“Mau beli tteokbokki lagi, nggak?”
Sebaris kalimat itu meluncur
begitu saja dari bibir Woojin. Ia hampir lupa cara berkedip ketika Jihoon
lantas melebarkan kedua kelopak matanya, memperjelas pemandangan yang tengah
ditilik Woojin. Sepasang manik tersebut jelas-jelas diarahkan menuju Woojin,
bukan sedang menatap langit yang ditaburi bintang, akan tetapi kerlingan di
dalamnya seolah menunjukkan sebaliknya, seolah seisi galaksi bimasakti
terbentang di sana, seolah Woojin lah sumber dari segala sumber cahaya seindah
bintang-bintang dalam diri Park Ji―
“Pake duitmu, ya?”
Woojin berubah pikiran. Kiranya
yang ia lihat bukan gemerlap bintang, melainkan sekedar kedipan cahaya pesawat.
-tamat-
(a/n) Emang dasar suka bodoh.
Tapi tetep aja―AKU BAPER NULISNYA HAHAHA. Maklumi yah jiwa nuna-nuna sosis
merah muda gini nih padahal aslinya aku bukan nuna mereka:(
Teruntuk Park Jihoon dan Park
Woojin tersayang, selamat yaa tahun ini sudah legal! Hehe. Semoga makin dewasa
tapi tetep jadi se-sengklek-sengkleknya bocah (loh?) dan tetep deket satu sama
lain walaupun waktu kalian bareng-bareng tinggal setahun kurang:”D Yuk gaes
mari terus cintai geng sosis merah muda kita<3 Mereka lucu banget:") #2park #chamwink #bunssodan #pinksausages
Comments
Post a Comment