Kotak Surat (Ong Seongwoo X OC Indonesia Fanfiction)
[WANNA ONE FICLET SERIES]
KOTAK
SURAT
Ong
Seongwoo & Jung Haeun (OC)
HighSchool!AU
HighSchool!AU
Mystery,
Comedy
hvnlysprng
hvnlysprng
the
plot idea isn’t purely mine, bless this video for giving me such an amazing
inspiration:
"Heh! Sini
cepet!"
Ogah-ogahan, Haeun
menyeret kedua kakinya menimbulkan bunyi gemerisik dedaunan kering yang agaknya
sudah menumpuk di sana sejak berbulan-bulan lalu. Seperangkat handycam
di tangannya mendadak terasa begitu berat, seolah-olah yang tengah ia angkat
setinggi wajah kini adalah sebongkah batu bata—bukannya alat perekam mutakhir
pinjaman Daniel.
"Kapan aku
mulai
ngerekam?" tanya gadis itu, fokusnya
tertuju pada layar persegi kecil yang menunjukkan wajah (sok) serius lelaki di
hadapannya.
Si lelaki sedari
tadi berkacak pinggang, keseriusannya bisa nampak nyata andai saja Haeun tak
berada di sana atas paksaan bodoh lelaki itu sendiri. Mendengar pertanyaan
Haeun, keningnya berkerut simbol tak puas dengan kinerja kawan yang direkrutnya
menjadi asisten mendadak.
"Bentar—bentar!
Kamu tau nggak, sih, kita mau ngapain di sini?"
Haeun memutar bola
mata jengah. "Tau. OngTV Paranormal Experience."
Barulah lelaki itu
mengangguk-angguk mantap, tumpuan kakinya ditukar dan kedua tangannya dilipat
di depan dada. "Good. Kamu tau apa yang harus di-shoot?"
Sesaat, Haeun
bimbang. Diperhatikannya sekeliling, penuh dengan pohon pinus, tanah padat,
daun kering, dan ... apa lagi? Sosok Ong Seongwoo yang bagai patung hidup,
barangkali?
Bukan. Bukan
patung sekelas 'The Thinker', tapi lebih mirip patung Macan Cisewu.
Gadis itu hampir
tergelak berkat pemikirannya sendiri, beruntung ia bisa menahan diri dengan
cukup baik hingga kemudian ia memilih untuk menggeleng mentah-mentah atas
pertanyaan barusan.
Namun, kali ini
Seongwoo tidak menampakkan guratan wajah tak senang lagi, justru semakin serius
daripada saat mereka pertama tiba di hutan kecil sekitar taman kota ini. Dengan
sorot mata tajam ke arah lensa kamera (yang balas ditatap Haeun melalui layar),
lelaki itu mengacungkan telunjuknya menuju utara.
Haeun menyipitkan
manik, akhirnya melepaskan atensi dari handycam di genggamannya demi
mengikuti apa yang dituju oleh jari Seongwoo.
"Aku nggak
lihat apa-apa."
"Makanya
melek."
Lantas gadis itu
melotot, melempar lirikan pada Seongwoo yang malah memaksanya kembali melihat
arah telunjuknya tadi.
Ya, awalnya memang
tak nampak apapun. Sebatas barisan pepohonan yang memang sudah terekam di otak
Haeun sejak lima belas menit lalu, sampai-sampai gadis itu curiga yang dimaksud
kawannya itu hanyalah seekor belalang sembah. Akan tetapi, semakin ia
memikirkan soal benda sekecil belalang sembah, Haeun makin mempertajam penglihatannya hingga apa yang kira-kira ditunjuk
Seongwoo terlihat jelas.
"Itu?"
Seongwoo mengangguk.
"Record," ujarnya tiba-tiba, di luar prediksi Haeun alhasil
hampir membuat gadis itu terjengat. Ia kemudian memencet tombol merah di bagian
samping handycam-nya lalu buru-buru mengikuti langkah Seongwoo mendekati
benda yang menjadi topik ulasan objek tidak masuk akal kesekian milik lelaki
itu.
"Mailbox.
Kotak surat. Tanpa rumah, tanpa alamat, tanpa pemilik. Berdiri dengan
misteriusnya di tengah hutan tak berpenghuni. Mengapa ada di sana? Mengapa
sebuah kotak surat? Bertemu lagi dengan saya, Ong Seongwoo, dalam OngTV
Paranormal Experience. Kita akan ulas misteri lain dari kota tercinta milik
bersama hari ini."
Diawali dengan pronounciation
buruk, diakhiri dengan tatapan penambah suasana mencekam, tak perlu kode keras
untuk Haeun kemudian memencet tombol yang sama. Mungkin ini yang namanya
terbiasa.
Akhirnya, handycam-nya
diturunkan, memberi ruang bagi jarak pandang Haeun agar lebih leluasa
memerhatikan benda yang disebut-sebut (yang kini sudah berada tiga meter di
hadapannya). Kedua alisnya menyatu, sedikit tak percaya dengan apa yang tengah
dilihatnya.
Itu benar-benar
sebuah kotak surat. Berbentuk seperti setengah bagian tabung yang dipotong
vertikal, disangga sebongkah kayu lapuk, berwarna putih disertai karat di
sana-sini, tak lupa sebentuk bendera semaphore merah menyala. Terlihat
normal, tapi tidak jika kau melihatnya di tengah hutan.
"Kamu habis
ngejar layangan apa kok bisa nyasar ke sini terus ketemu beginian?"
Seongwoo
mengedikkan bahu. "Kemarin dikejar anjing. Pas lihat signboard 'Dilarang
Menginjak Rumput' langsung kepikiran buat nerobos—kali aja anjingnya patuh
aturan. Eh, tau-tau sampe sini."
Tak habis pikir
Haeun bagaimana kawannya yang satu ini dapat mengucapkan deretan kalimat
faktual yang sejatinya terdengar begitu bodoh. Ah, bagaimana juga Haeun bisa
berteman dengan orang macam ini?
"Isinya apa?
Udah dibuka?" tanya gadis itu, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Dijawab oleh
gelengan pelan, Haeun sedikit terkejut sebab ia mengira seorang Ong Seongwoo
sudah menyiapkan segala hal dari a sampai z. Lalu ia memijit kembali tombol record
setelah berkata, "ya udah. Buka gih."
Akan tetapi
Seongwoo bergeming. Netranya jelas masih menuju mata Haeun, kedua tangannya
bersembunyi di balik punggung. Menyadari pemandangan tersebut, Haeun mendecak.
"Lemah."
Tak butuh waktu
lama untuk satu buah kata itu menggelitik nurani Seongwoo. Lagipula, laki-laki
mana yang terima disebut lemah oleh seorang perempuan? Secepat kilat, tangan
Seongwoo meraih bagian penutup kotak surat tersebut lalu menariknya ke bawah.
Terbuka.
Jantung mereka
berdua mulai mempercepat detakannya, tercampur rasa penasaran sekaligus cemas.
Baik kepala Seongwoo maupun perekam di tangan Haeun sama-sama mendekat,
melongok untuk melihat apa yang tersimpan di tengah kegelapan dalam sana.
"Kosong?"
Tidak percaya, sang pemuda menatap Haeun dengan manik melebar. Namun, gadis
itu justru balik memandang kawan lelakinya jengkel seolah hendak menyampaikan
isi hatinya yang berupa, ‘apa kataku? Ini buang-buang waktu.’
Mengabaikan kejengkelan sang kawan bak seorang profesional, Seongwoo
berdiri tegak kemudian melanjutkan speech yang seharusnya terdengar
menyeramkan saat dipadukan dengan musik latar bertema tegang―jika saja di dalam
sana terdapat sebuah surat tua yang masih menggunakan cap lilin. Atau, yah ...
paling tidak sebuah tagihan hutang?
“Sungguh disayangkan, guys. Kotak surat ini kosong. Walaupun ... well,
kukira bakal ada sepucuk surat dengan kertas menguning dan bercak darah atau
apa.” Seongwoo mengedikkan bahu, melirik objek pengamatannya lalu dengan
sebelah tangan mendorong bagian penutupnya. “Oke, sampai di sini dulu
perjumpaan kita. Kalau ada yang penasaran, bisa langsung dateng ke―”
Dua hal yang saat itu diyakini Haeun. Pertama, baterai handycam di
tangannya masih tersisa setengah. Akan tetapi, mengapa layarnya mendadak
berkedip-kedip seolah hampir kehabisan daya? Kedua, apapun itu, ia melihat
dengan mata kepalanya sendiri bahwa ada suatu keanehan yang sampai-sampai
membuat Seongwoo berhenti bicara dengan mulutnya yang masih terbuka lebar.
Kotak surat itu bergetar. Seolah-olah ada yang menggerakkannya perlahan
namun cukup untuk membuatnya bergoyang ke segala arah.
Apa mendadak ada gempa bumi? Baru saja Haeun hendak menengok apakah tanah
yang dipijaknya juga bergetar, seruan terjekut dari pita suara Ong Seongwoo
membuatnya hampir melompat. Ia menoleh ke arah Seongwoo, lalu mengikuti arah
tatapan kedua manik kawannya itu yang kini telah membulat sempurna.
“Apa? Ada apa?”
Seongwoo masih menganga, namun agaknya tak bisa menjawab pertanyaan yang
diajukan Haeun. Atensinya bahkan tak bisa lepas dari kotak surat itu―yang
sekarang terlihat normal, sama seperti saat mereka berdua datang tadi. Orang
lain mungkin tidak akan percaya jika baru saja benda itu bergerak-gerak bagai
didorong kekuatan misterius.
Diam-diam, Haeun merasakan jantungnya berpacu. “Ong Seongwoo!”
Si pemilik nama tersentak, akhirnya menoleh meski gerakannya terkesan
seperti orang sakit leher. Hal pertama yang diucapkannya setelah terdiam
berdetik-detik adalah, “tadi udah kamu rekam, kan?”
Frustasi, Haeun menaikkan nada suaranya. “Bodo amat! Apa, sih? Tadi
kenapa?”
Setelah berkedip beberapa kali, Seongwoo menelan ludah. “Lihat. Bendera semaphore-nya.
Sekarang berdiri.” Tanpa mengacuhkan Haeun yang terlihat butuh penjelasan lebih
lanjut, lelaki itu kembali menaruh perhatian pada objek pengamatannya.
Tangannya terulur, hendak menyentuh benda itu namun masih sedikit ragu-ragu.
“Bendera semaphore di kotak surat itu punya fungsi sendiri. Kalau dia
berdiri, vertikal―kayak gini, artinya ada surat atau paket di dalamnya.”
Haeun bersumpah, ia tahu betul bahwa Ong Seongwoo adalah maniak misteri,
atau bahkan bisa disebut masokis. Tapi tidak hingga titik ini. Titik di mana ia
ingin mencegah lelaki itu membuka kembali penutup kotak surat di hadapan mereka
akan tetapi tangannya hanya bisa gemetar menggenggam handycam yang masih
menyala.
Ketika akhirnya tangan Seongwoo berhasil menuruti nuraninya, lelaki itu
melongok untuk kedua kalinya. Kini disambut oleh sesuatu, yang barangkali
sempat didambakannya berada di dalam sana.
Sepucuk surat dengan kertas menguning dan stempel lilin.
Ingin rasanya Haeun berlari menjauh sekarang juga. Jika tidak dihambat oleh
rasa setia kawannya pada Seongwoo―pemuda terbodoh yang justru mengambil
selembar amplop tersebut kemudian membukanya tanpa sedikitpun keraguan.
Ketika tulisan tangan rapi di tengah-tengah kertas itu terbaca, Seongwoo
tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.
‘Halo. Hong Seongwoo dan Jung Haeun.’
.
.
.
“Namaku bukan Hong Seongwoo tapi Ong Seongwoo!”
-fin-
(a/n)
Ha! Akhirnya berhasil bikin satu fenfik mystery. Iya. Ini pertama kalinya aku bikin (dan dicampur sama comedy karena Ong selalu identik sama kerecehannya), jadiii maaf kalau kurang dapet feelnya:”)
Ha! Akhirnya berhasil bikin satu fenfik mystery. Iya. Ini pertama kalinya aku bikin (dan dicampur sama comedy karena Ong selalu identik sama kerecehannya), jadiii maaf kalau kurang dapet feelnya:”)
Thank you for reading!
Comments
Post a Comment