BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 19)


19


Yang menjadi fokus utama Rahee ketika berjalan memasuki kelasnya pagi itu adalah bagaimana ia harus kukuh menyeimbangkan tempo ayunan kaki hingga akhirnya bisa menghempaskan tubuh di kursi miliknya dengan napas lega, selagi sisa-sisa kejengkelan pada sang kakak lelaki yang terlambat mengantarnya ke sekolah masih mengendap di sudut kepala. Namun keyakinan gadis itu runtuh tepat saat atensinya menemui sesosok Min Yoongi tengah sibuk membersihkan papan tulis.

Memang―papan tulis kelas mereka berhasil terbebas dari goresan-goresan kapur putih bekas kemarin, tapi ayunan tangan lelaki itu terlihat sama sekali tidak bertenaga. Matanya sayu, ekspresinya datar setengah malas, barangkali ia terpaksa melakukan tugas piket harian tanpa menyadari menit yang tersisa kurang dari dua kali enam puluh detik hingga bel masuk benar-benar dibunyikan.

Ah, menurutmu berapa lama Rahee menyandang titel sebagai siswi SMA hingga saat ini? Seharusnya pemandangan semacam itu sudah biasa baginya. Hanya saja, dengan warna hitam legam yang menggantikan coklat terang pada rambut lelaki itu―sesaat, Rahee bahkan melupakan cara bernapas.

“Semuanya, kelas sejarah kita hari ini di perpustakaan!”

Seandainya tidak terdengar teriakan Jeon Wonwoo dari ambang pintu yang lantas membuat Yoongi ogah-ogahan menoleh, mungkin atensi Rahee masih akan setia tertuju pada lelaki dengan brand new hair-nya itu. Sang gadis mungkin akan ketahuan telah menatap lelaki itu, ia akan gelagapan lalu tanpa sengaja tersandung kaki panjang Jeon Jungkook yang dengan cerobohnya dijulurkan di lantai kelas, semuanya akan berakhir kacau. Dan memalukan.

Beruntung itu cuma kemungkinan buruk, yang meski persentase terjadinya bisa mencapai lebih dari 75% namun tetap saja itu hanya sebuah ‘kemungkinan’. Karena realitanya, Rahee berhasil sampai di bangku tersayangnya dengan selamat dan meletakkan tasnya di sana tepat ketika bel berbunyi nyaring. Jungkook tidak sembarangan menjulurkan kaki karena ia sibuk mengeluarkan buku-buku sejarah dari dalam tas punggungnya. Seisi kelas pun begitu, sama-sama sibuk mempersiapkan jam belajar pertama mereka di hari Senin. Tak ada insiden, tak ada malu yang harus ditanggung Rahee, semua berjalan dengan normal.

Mungkin―akan tetapi tidak cukup normal bagi Min Yoongi, yang menyadari tingkat kegugupannya tiba-tiba melejit ke atas. Hoseok sudah memberikan pujian tulus pada warna rambut baru Yoongi, tapi lelaki itu lebih peduli pada pendapat gadis yang sosoknya sempat tertangkap di sudut pandangannya, tengah berdiri di pintu kelas dengan napas terengah-engah karena hampir terlambat.


***


Kafetaria sekolah selalu memiliki varian menu menarik tiap harinya, tetapi kebanyakan siswi tingkat pertama lebih memilih untuk membawa bekal dari rumah masing-masing. Alasannya bercamam-macam, ada yang bilang memang sudah terbiasa memakan bekal, ada yang memenuhi suruhan orang tua, atau bahkan yang takut berpapasan dengan senior galak di kafetaria. Yang jelas, hari ini Hyeso memaksa Rahee dan Hani untuk menemaninya makan di tempat sakral itu dengan embel-embel, “Menu hari ini bibimbap! Kalian pasti belum pernah coba bibimbap khas sekolah kita, kan? Setara dengan restoran yang biasanya masuk akun kuliner di Instagram, loh!”

Apa yang bisa dilakukan kedua gadis itu selain membiarkan Hyeso menggeret mereka menuju kafetaria?

Maka permulaan jam makan siang dihabiskan ketiganya untuk mengantri sambil membicarakan seberapa berpengalamannya seorang Jung Hyeso dalam urusan kuliner, bahwa gadis itu sudah melewati setengah tahun pertamanya di SMA untuk menjelajahi kota kecil mereka ini, mencari spot kuliner dengan kualitas bintang lima. Berita baiknya, belakangan ia memiliki Kim Seokjin sebagai partner.

“Di sana ada satu meja kosong.” Dagu Hyeso terangkat, menunjuk sebuah meja persegi panjang dengan enam kursi di sekelilingnya. Tanpa membalas, Rahee mengikuti langkah kedua kawannya lalu dengan hati-hati meletakkan nampan berisi seporsi bibimbap dan segelas teh dingin di atas meja.

“Astaga―aku lupa puding karamel!”

Rahee baru saja hendak duduk, seruan ceroboh Hyeso menginterupsi hingga membuatnya kembali mendongak namun terlambat karena Hyeso sudah berbalik, kembali menghampiri antrian yang mengular demi sebuah puding karamel favoritnya.

“Apa katanya?” tanya Rahee, ekspresi bingung terpancar jelas di wajahnya.

Hani memutar bola matanya jengah. “Puding karamel. Ini kenapa aku tidak ingin makan di kafetaria dengan Hyeso, terlalu lama! Nah, karena aku cuma beli tteokbokki, nanti aku pergi duluan, oke? Kau bisa temani dia sampai selesai.”

Entah maksudnya dijadikan tumbal atau apa, Rahee hanya terdiam sementara Hani mulai melahap porsi kecil tteokbokki-nya. Gadis itu tak beranjak dari posisinya sampai mendadak Hani kembali berucap, “Jangan khawatir, makan siang dengan Hyeso tetap asik kok. Bukannya aku tega meninggalkanmu, tapi aku ada urusan penting dengan Taehyung setelah ini.”

Pasrah, Rahee menghela napas panjang. “Oke, tidak apa-apa. Aku mau cuci tangan sebentar.”

Dibalas anggukan sekilas, sepasang kaki perempuan itu membawanya menuju wastafel di pojok ruangan. Setelah memastikan tangannya steril termasuk dari debu-debu buku lama perpustakaan yang tadi ikut menempel di sana, ia beranjak kembali ke tempatnya meninggalkan Hani sembari mengusapkan sapu tangan untuk mengeringkan tangannya.

“Rahee-ya!”

Rahee menoleh, ia kenal suara itu―milik wakil ketua kelasnya, Lee Hwarin. Dan benar saja, perempuan itu tengah duduk tak jauh dari tempatnya berdiri, melambai cepat-cepat tanpa menghiraukan Kim Namjoon yang masih berbicara padanya.

“Kau memanggilku?” tanya Rahee setelah menghampiri gadis itu, yang segera menarik pergelangan tangan Rahee agar ia duduk di sampingnya.

“Ya,” jawabnya, namun dengan tatapan tajam tertuju pada Namjoon yang duduk di seberangnya. “Maaf karena mengganggumu tiba-tiba, tapi ada satu hal yang ingin kutanyakan." 

Sekilas Rahee ikut menatap Namjoon yang kini mengusap keningnya, terlihat seperti Guru Kim yang lelah menghadapi murid-murid yang terus melanggar peraturan, sebelum kemudian kembali menoleh ke arah Hwarin. “Apa?”

“Kau tau laki-laki di sana?”

“Yang mana?”

“Yang itu!” Hwarin mengangkat telunjuknya. “Yang sedang bicara dengan Hoseok. Oh―dia berbalik, sekarang dia berjalan ke arah kita!”

“Maksudmu ... Yoongi?”

“Ha!” Secepat kilat, Hwarin menolehkan kepalanya ke arah Namjoon. Ekspresi kemenangan terlukis di wajahnya. “Apa kubilang! Dalam sekali lihat saja sudah ketahuan kalau itu Yoongi, perbedaan warna rambut itu tidak berpengaruh banyak!”

Namjoon lantas mengerutkan kening, kedua alisnya hampir menyatu. “Aku tidak bilang kau tidak akan bisa menebaknya dalam sekali lihat, aku cuma bilang Yoongi dengan rambut hitam dan model baru begitu hampir membuatku tidak mengenalinya.”

Rahee mengabaikan perdebatan sepele mereka berdua, diam-diam matanya terfokus pada sosok berambut hitam yang diperdebatkan―berjalan semakin dekat hingga tiap langkahnya terasa mengintimidasi.

Ketika sang pemuda berhenti tepat di depannya, Rahee tanpa sadar sudah menahan napas. Mereka bertukar pandangan beberapa detik (yang terasa seperti bermenit-menit) hingga kemudian suara Hwarin menginterupsi, menyadarkan Rahee untuk kembali menatap kawannya itu sekaligus memaksa sang pemuda menghela napas lalu duduk di kursinya, meletakkan nampan di meja.

“Jadi, Yoongi.” Hwarin mencondongkan tubuh, sebelah tangannya menumpu kepala. “Kenapa kau tiba-tiba mewarnai rambutmu, huh?”

Ada jeda panjang sekali. Jeda yang dipakai Yoongi untuk menatap satu-persatu temannya. Hwarin, Namjoon, lalu Rahee. Tanda tanya besar barangkali terpampang jelas di wajah mereka.

Kecuali Rahee.

Gadis itu terlalu gugup menunggu jawaban macam apa yang akan terlontar dari mulut Min Yoongi. Terlebih setelah atensi pemuda itu kembali tertuju padanya. Kedua kawannya mungkin sabar menunggu, mengira Yoongi masih menyusun kalimat yang cocok untuk diucapkan, tapi Rahee tidak bisa. Jantungnya berpacu―entah karena tatapan Yoongi yang begitu intens atau apa―dan sekali lagi napasnya tertahan.

Ia tidak bisa mendengar jawaban Yoongi, apapun itu.

Detik itu juga, ketika sang pemuda akhirnya membulatkan tekad, menemukan secercah keberanian―atau kenekatan, seruan yang menyebut nama Song Rahee kembali memecah keheningan.

Si pemilik nama reflek berdiri, menoleh ke sumber suara cempreng yang sudah sangat ia kenal, dan mendapati dugaannya benar seratus persen. Itu Jimin.

“Ini bibimbap-mu, bukan? Cepat ke sini sebelum makan siangmu dingin!” ujar Jimin seraya mengangkat mangkuk hitam berisi seporsi bibimbap, tidak lain memang milik Rahee.

Sebuah senyuman terpatri di bibir perempuan itu, ditujukan pada tiga kawannya sebelum ia mulai beranjak menghampiri Jimin. Rahee sendiri tidak tahu, apakah itu senyuman lega atau senyuman kecewa. Atau hanya senyuman permintaan maaf?

Yang jelas, senyuman itu segera menghilang ketika ia melihat tiga orang tengah duduk mengelilingi mejanya semula. Tidak masalah dengan Jimin, dua orang lainnya-lah yang mengejutkan. Bukan Hyeso, bukan juga Hani, tapi seorang perempuan yang memberinya senyuman manis dan laki-laki yang sibuk dengan ponsel di genggamannya.


***


“Ini yang kau sebut urusan penting?”

Hani terpaksa bungkam lantaran telunjuk Kim Taehyung sudah mendarat di bibirnya meski dengan fokus sepenuhnya tertuju pada hal lain. Memutar bola matanya jengah, sang gadis mengikuti arah pandangan lelaki itu.

“Setidaknya, bisa kau jelaskan kenapa kita berdiri di balik pilar begini?” tanya gadis itu segera setelah tangan Taehyung beralih mengambil ponselnya dari dalam saku celana.

“Ini satu-satunya tempat yang tidak terlihat dari sana,” jawab Taehyung acuh tak acuh, jemarinya menari-nari di atas layar ponsel.

“Dari mana?”

“Dari meja Jimin.”

Kening Hani berkerut, ia kembali menatap sosok Park Jimin di kejaughan. “Meja Jimin? Bukannya itu tempatku makan tadi?”

Taehyung mengangguk, kini berkutat dengan fitur pesan dan papan ketik.

Hani membuka mulut, “Kau tahu?”

“Tidak.”

Lantas segenggam pukulan dilayangkan ke arah bahu Taehyung, ringan tapi masih bisa menyebabkan seruan kesakitan meluncur dari mulut laki-laki itu. Ketika hendak protes, bibirnya kembali terkatup lantaran menyadari Hani tengah melotot ke arahnya.

“Aku rela meninggalkan bibimbap Rahee yang masih utuh di sana karena kau keburu menarikku ke sini. Tapi apa? Nyatanya kau cuma menyuruhku berdiri diam seperti patung, ha?”

Disertai wajah tanpa dosa dan tangan kiri yang sibuk mengusap bahu, laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya. “Bibimbap Rahee aman, kok. ‘Kan setelah aku menarikmu, Jimin langsung menempati mejanya.”

“Lalu kenapa kita bersembunyi dari Jimin? Dan siapa dua orang yang ikut duduk di sana itu?”

“Sudah kubilang,” ujar Taehyung, ponselnya dikembalikan ke saku, “kita di sini agar tidak terlihat oleh mereka. Kalau dua orang itu, sepertinya nama mereka Youngae dan Soonyoung.”

“Siapa?”

“Youngae. Dan Soonyoung.”

“Siapa itu Youngae? Dan Soonyoung?”

Bohong. Hani mengenal jelas perempuan bernama Youngae itu, mereka pernah berada dalam satu tim saat summer camp. Lalu untuk lelaki bernama Soonyoung, ia yakin tidak salah mengenal orang. Rambut pirang Soonyoung terlalu mencolok untuk tidak diingat.

Tapi siapa peduli, situasi ini terlalu dipenuhi tanda tanya dan Kim Taehyung harus memberinya jawaban.

Di sela helaan napas, lelaki itu menjawab, “Temannya Jimin.”

“Masa?”

“Iya.”

“Anak kelas mana?”

“Kelas 1-F, kalau tidak salah.”

“Apa yang mereka lakukan di sana?”

“Makan siang, lah.”

“Kenapa mereka makan siang dengan Jimin?”

“Memangnya tidak boleh? Mereka, kan, temannya Jimin.”

“Kenapa harus di sana? ‘Kan ada meja lain yang masih kosong.”

“Karena ini sudah ba―tunggu, Kim Hani! Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu lagi, oke?”

Sang gadis memasang wajah jengkel, meski dalam hati sedikit merasa puas sudah berhasil mengerjai kekasihnya―yang kini kembali fokus pada kegiatan mengintai abal-abal. Mendadak suasana kafetaria terasa terlalu ramai. Taehyung tidak bicara, suara-suara obrolan yang tumpang tindih kini mulai mengganggu.

Hani mendecak. “Sebaiknya aku pergi.”

Pergelangan tangan gadis itu ditahan oleh Taehyung. “Mau ke mana?”

“Kelas. Apa urusanku di sini? Aku tidak dibutuhkan.”

Keengganan dalam suara dan sorot mata Hani terlampau jelas, namun ketika akhirnya Taehyung mencengkeram bahunya, ia terkesiap. Lelaki itu membuat mereka berdiri berhadapan, kemudian sedikit mencondongkan wajah untuk menatap mata Hani lebih dekat.

“Aku membutuhkanmu.”

Suara baritonnya bagai menenggelamkan bunyi-bunyi lain di sekitar mereka, membuat Hani merinding, seolah kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya. Aroma mint napasnya hampir tercium jelas. Dengan pandangan mereka yang terkunci, gadis itu merasa sekelilingnya berubah senyap.

“Tetap di sini, oke?”

Sesuatu memaksa Hani untuk mengangguk hampir secara otomatis. Apa ini semacam hipnotis? Ketika Taehyung tersenyum lebar, gadis itu berani bertaruh ia bisa meleleh saat itu juga. Sang pemuda kemudian melepaskan cengkeramannya, mengusap pangkal kepala gadis itu dengan lembut. Saat itulah Hani mengerjap, baru sepenuhnya tersadar.

“Kalau begitu ... katakan padaku yang sebenarnya. Kenapa kita bersembunyi di sini?"

Taehyung memang kesal, akan jauh lebih baik jika Hani tetap diam sampai urusannya selesai. 

Tapi, Kim Hani yang ia kenal tentu saja tidak akan melakukannya. Gadis itu akan terus menuntutnya dengan pertanyaan demi pertanyaan, setidaknya sampai rasa penasarannya hilang.

Kurva lebar di bibir Taehyung masih terlukis jelas. Itu adalah tipikal Kim Hani yang disukainya.

“Oke. Kau menang. Berjanjilah untuk tidak mengatakannya pada siapapun.”


***


Kala itu langit senja dipenuhi semburat merah muda, warna yang identik dengan perempuan tapi di mata Jungkook entah kenapa terlihat begitu indah. Mungkin karena tidak biasanya jingga yang mendominasi kini menjadi minoritas. Hal-hal yang tidak biasa memang selalu lebih indah. Apalagi jika dilihat dari koridor sekolah yang sudah sepi, dengan sinar matahari menembus tanpa halangan pada jendela yang terbuka dan angin sepoi-sepoi perlahan menerbangkan gorden putih.

Apalagi jika diiringi lantunan musik indah, dan sosok Park Choonhee dengan jari-jemari di atas tuts piano.

Sebuah senja yang sempurna.

Bila mampu, Jungkook ingin berada di sini selamanya―mematung di ambang pintu ruang musik yang terbuka lebar selagi memandang gadisnya duduk di sana―atau setidaknya, mengabadikan momen indah semacam ini. Ia yakin tidak akan melupakan pemandangan yang dilihatnya sekarang, tapi tidak ada ruginya. Barangkali di masa depan, saat dirinya sudah beruban, Jungkook bakal senang membangkitkan serpihan ingatannya soal definisi ‘senja sempurna’ miliknya sendiri. 

Akan tetapi lelaki itu tetap bergeming, bahkan mungkin tak kuasa mengedipkan mata, hingga permainan piano sang gadis terhenti dan tiba-tiba terdengar pelan suara tepuk tangan Jungkook. Jelas saja, Choonhee terlonjak dari kursinya, terkejut. Jungkook juga terkejut, tubuhnya baru saja bergerak dengan sendirinya tanpa menggubris otaknya yang masih loading. Sepertinya hal-hal sempurna kadang bisa membuatmu melakukan tindakan di luar kepala.
 
“Apa yang kau lakukan di sini?”

Jungkook berdehem, memutuskan untuk menghampiri Choonhee sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan gadis itu. “Aku mencarimu,” ujarnya setelah duduk di sebelah Choonhee. Ia sedikit tak mengira kursi piano ternyata cukup lebar untuk diduduki dua orang.

Keduanya saling memandang, dan Choonhee pun tak bisa menyembunyikan senyuman. “Oh, ya? Ada apa?”

“Kau tadi bolos kegiatan klub.” Jungkook mengedikkan bahu.

“Ah, benar...,” jawab gadis itu sambil mengangguk-angguk, dalam ucapannya tersirat nada kecewa. Pandangannya mulai dialihkan pada tangan kanannya yang menyentuh permukaan tuts-tuts piano. “Hanya itu?”

Menyadari pertanyaan yang dilontarkan Choonhee tanpa berani menatap ke arahnya, Jungkook lantas tersenyum lebar, menampakkan gigi kelinci yang mempermanis kurva di bibirnya.

“Tidak. Kurasa ... aku merindukanmu.”

Meski dari samping, dapat terlihat kedua manik gadis itu membulat sempurna. Gerakan tangannya terhenti ketika ia merasa jantungnya seolah berhenti bekerja. Oh, bagaimana seorang Jeon Jungkook dapat mengatakan hal semacam itu dengan sebegitu gamblangnya? Sementara Choonhee melihat pemuda itu berdiri di ambang pintu saja rasanya sudah seperti diterpa hujan badai.

“Aku ingin mengatakan hal ini sejujurnya padamu,” ucap lelaki itu tiba-tiba, agaknya mencoba mengalihkan topik berhubung Choonhee seolah tak merespon ungkapan hatinya yang cukup memalukan, “aku baru tahu kau bisa main piano. Tidak―bukan ‘bisa’, tapi jago!”

Choonhee tersenyum, menunjukkan deretan gigi rapinya. Tanpa balas bicara maupun menatap lelaki di sampingnya, jemari lentik gadis itu mulai bergerak, perlahan-lahan namun seolah sudah tahu jelas di mana tempat dan kapan tempo waktunya. Ia kini menyatu dengan musik.

“River Flows in You?”

Barulah Choonhee menoleh, memandang dalam-dalam wajah sumringah Jeon Jungkook. Meski tak saling bicara, mereka berkomunikasi melalui tatapan mata. Seolah Choonhee mengatakan, ‘ya, kau benar,’ lalu Jungkook membalas dengan senandung manisnya yang lantas memperindah melodi yang terdengar di penjuru ruangan senja itu.

Keduanya tak butuh mesin waktu, tak butuh apa-apa, hanya saling merasakan presensi masing-masing dengan merasakan bahu yang tak sengaja bertubrukan saja sudah lebih dari cukup.

Disertai helaan napas pendek, Choonhee masih bisa mendengar detak jantungnya yang tak kenal lelah bekerja berkali-kali lipat. Bagaimana bisa tenang jika sesosok mirip bidadari begini duduk begitu dekat di sampingnya, tanpa ragu-ragu mendestinasikan atensi pada dirinya dengan kerlingan manik seindah malam bertabur bintang. Tapi, bukan berarti Choonhee tidak menyukainya. Justru ia suka. Sangat.

“Jungkook.”

“Hm?”

“Aku juga ingin mengatakan sesuatu.” Jemarinya berhenti menari-nari bebas di atas tuts, gadis itu bertukar pandang dengan sang pemuda. “Sejujurnya.”

“Katakan saja.”

Atensinya dikembalikan ke depan, ke arah refleksi wajahnya yang sedikit buram di antara cat hitam mengilap grand piano. “Aku ingin pindah ke Klub Musik.”

Se-shock apapun Jungkook saat itu, bagaimana pun ekspresi yang terlukis di wajahnya, Choonhee hanya bisa tertawa kecil layaknya seorang kakak yang baru saja membohongi adik kecilnya―namun ia serius, sama seriusnya dengan mengambil keputusan akhir dari dua opsi jawaban yang membingungkan pada ujian akhir. Dibarengi kurva yang masih terpatri lebar, gadis itu berkata, “jujur, aku juga merindukanmu.”



***
To Be Continued


(a/n)
Jujur. Jujur banget. Aku udah nulis ini sejak berbulan-bulan lalu, cuman stuck dan baru kulanjut sekarang. Malah sebenernya ini masih kurang banget. Tapi aku merasa ... ada keharusan buat upload malem ini juga. Hehe. Maaf karena meninggalkan kalian sebegitu lama:( Berhubung laptopku udah balik (iya, selama ini aku semacam...nggak punya laptop) ke depannya aku bakal coba buat rajin nulis lagi, aamiin!

Comments