BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 18)


18

“Hei, dengar! Hyeso pelit sekali, masa dia tidak mau membagi jawaban tugas sastra, sih?”


Lirikan sekilas dilemparkan pada pemilik suara. Bukannya balasan, yang terdengar hanyalah keheningan selagi ujung sebuah bolpoin terus bergerak menghasilkan goresan huruf demi huruf.

Ya! Kenapa kau tidak menjawab?”

Tangan yang menggerakkan bolpoin itu berhenti. Ketika menoleh, didapati Jung Hoseok dalam posisi telentang tengah menatapnya sebal. Sambil berusaha menahan tawa, perempuan itu berucap, “Kau hanya bilang ‘dengar’, bukan memintaku memberi jawaban.”

Mendengar itu Hoseok terduduk dengan ekspresi kusut semakin kentara. Ia yang geram segera melancarkan serangan seolah hendak mencekik leher Jung Hyora, membuat perempuan itu meledakkan tawanya. Bolpoin di tangannya terlepas ketika ia berusaha menghindar dari Hoseok, menimbulkan sedikit goresan tinta di kertas dan berakhir tergeletak di atas meja. Rambutnya yang diikat ke belakang bergoyang tak tentu arah, kedua tangannya disilangkan di depan wajah sebagai simbol pembelaan diri.

Barangkali Hoseok memang sebal karena sedari dulu gadis itu seringkali bersikap mengompori di situasi yang tidak pas. Tapi setelah tiga menit beradu jotos hingga menyaingi pertandingan tinju Muhammad Ali, mereka akhirnya berbaring telentang bersebelahan sambil berusaha meredakan tawa masing-masing, dengan masing-masing manik menatap langit-langit ruangan yang beraroma pengharum lemon.

“Bagaimana? Sudah puas mengganggu orang yang seharusnya fokus mengerjakan tugas?” tanya Hyora tiba-tiba, menoleh ke arah Hoseok yang dadanya masih naik-turun.

Selepas membuang napas panjang, sang pemuda lantas memasang wajah tanpa dosa. “Puas apa? Sepertinya kau duluan yang cari masalah tadi.”

“Salahmu sendiri.” Gadis itu duduk kembali, meregangkan otot lengan dan punggungnya seraya berkata, “Lagipula, kalau ada tugas itu dikerjakan, bukan cari contekan.”

Hoseok mendengus, meski dalam hati mengaku perkataan Hyora memang ada benarnya. Atensinya mendadak beralih menuju pintu kaca tak jauh dari tempatnya berbaring, menampakkan pemandangan hijau kebun belakang rumah Hyora, beserta langit biru dengan gumpalan awan menggantung di atasnya.

Sesaat, ia kembali menatap si pemilik rumah yang sudah terfokus kembali pada buku catatan di meja.

“Tidak capek belajar terus? Cuacanya bagus, loh. Tidak ingin jalan-jalan keluar?”

Jung Hyora yang baru lima detik kembali memegang bolpoin hanya bisa berandai-andai kapan gerangan datangnya saat di mana Hoseok bisa serius diajak belajar.


***


“Umm ... jadi ... bulan depan kita sudah ujian akhir semester, ya?”

Melongo. Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Namjoon pada Hwarin setelah pertemuan aneh mereka di sudut ruangan sebuah toko musik. Sejujurnya menjadikan situasi semakin awkward sehingga jawaban ‘iya’ yang keluar dari mulut Hwarin terdengar begitu ragu dan lebih mirip kalimat tanya.

Atmosfer di sekitar mereka kembali dipenuhi keheningan yang hakiki. Kursi kayu yang dipoles mengilap ini mendadak tidak nyaman diduduki. Namjoon mencoba menyesap espresso-nya berharap bisa sedikit menenangkan hati namun justru rasa pahitnya semakin terasa menggigit lidah.

Baguskah keputusannya ini? Menawarkan secangkir cappucino gratis di gerai Starbucks depan toko musik pada gadis yang baru beberapa detik bertatap muka dengannya setelah kurun waktu seminggu? Ah, tidak seharusnya ia berpikir begini. Masih untung gadis itu mau menerima tawarannya, ‘kan?

Sekali lagi ia mengambil cangkir espresso di atas meja. Kini rasa pahitnya mulai hilang, sudah beradaptasi dengan lidah. Di luar sana gerimis mulai mengguyur jalan beraspal dan para pejalan kaki.

Pemuda itu berdehem, mengeluarkan suara yang lebih terdengar seperti sedang sound check.

“Apa kabar?”

Hanya itu? Oh ... Kim Namjoon merasa gagal menjadi seorang gentleman. Berapa menit ia habiskan untuk menenangkan diri namun yang terucap hanya sebuah frasa basi begitu? Sekarang ia lebih memilih untuk mengubur diri bersama makanan tupai.

Untungnya, Hwarin tak ambil pusing lantas mengedikkan bahu. “Baik. Kau sendiri bagaimana? Menghilang seminggu juga tidak bilang apa-apa.”

Pernyataan itu lumayan mengintimidasi, namun Namjoon yang merasa tak bersalah segera memberikan pembelaan diri. “Aku juga baik. Nenekku di Ilsan sakit keras, sedang kambuh. Tak ada yang menjaganya di sana.”

“Oh....” Raut wajah Hwarin mulai melunak, sekilas tersirat rasa iba di sana. “Bagaimana keadaannya sekarang?”

“Sudah agak mendingan, tapi masih harus banyak istirahat. Sekarang sepupuku di sana untuk menggantikanku.”

Seraya mengulum senyum tipis, gadis itu pun berkata, “Salam untuk nenekmu, ya? Semoga cepat sembuh.”

Namjoon mengangguk-angguk, melontarkan ucapan terima kasih dengan hati berseri setelah melihat senyum yang telah dirindukannya selama seminggu ini.


***


“Tolong dua caramel macchiato atas nama Kim Taehyung.”

“Hei, aku tidak pesan itu!”

“Sstt....” Telunjuk pemuda itu mendarat di bibir Hani, mau tak mau membuat sang gadis bungkam. “Aku yang bayar, aku yang pilih. Mengerti?”

Detik berikutnya Taehyung sudah kembali menghadap barista yang sibuk memenuhi pesanan, tangan kirinya masih menggenggam erat tangan Hani. Diliriknya perempuan itu, mendapati ia memasang wajah datar berusaha untuk tidak cemberut. Lantas Taehyung tersenyum geli, dalam hati berpikir betapa manisnya gadis yang satu ini.

Sementara itu, Hani sekilas menangkap cengiran Kim Taehyung merasa sejak tadi lelaki itu telah mempermainkannya. “Kenapa senyum-senyum? 

Wajah Taehyung lekas berubah datar. “Siapa? Aku? Tidak, tuh.” Ekspresinya kini lebih mirip orang yang merasa terdzholimi, yang dalam hati bersikukuh bahwa doa orang-orang yang terdzholimi pasti akan didengar Tuhan.

“Aku sedang tidak ingin main-main denganmu, Tae. Lebih baik aku pulang daripada harus―”

“Silakan, dua caramel macchiato. Totalnya 2000 won.”

Keduanya menoleh, sedikit takjub pada barista yang begitu cekatan melayani pelanggan tetapi Hani lebih merasa kesal karena ucapannya baru saja terpotong. Gadis itu melipat kedua tangan di depan dada selagi Taehyung merogoh sakunya, mengeluarkan dua lembaran 1000 won dari dalam dompet. Setelah menerima struk belanja, ia mengambil dua gelas kertas bertuliskan ‘Kim Taehyung’ kemudian berbalik, melangkahkan kakinya menjauh dari kasir.

Kim Hani, yang tadinya berdiri di samping sang pemuda dan sudah mengangkat tangannya bersiap menerima salah satu gelas tersebut lantas dibuat bungkam. Perempuan itu enggan menggerakkan kakinya mengikuti langkah Taehyung, justru hanya berbalik menatap punggung sang pemuda yang semakin menjauh.

“Kim Taehyung!”

Si pemilik nama berhenti, sepatu Gucci-nya berdecit di atas lantai porselen gerai Starbucks. Tanpa membalikkan posisi tubuh, ia menoleh ke belakang. Wajahnya datar dan mulutnya tak mengucap sepatah kata pun, namun Hani merasa ekspresinya sedikit mengejek, maka gadis itu pun ikut diam.

Setelah beberapa detik dipenuhi keheningan dan tatapan judgemental Hani, akhirnya lelaki itu berkata, “Katanya tidak mau caramel macchiato? Ya sudah, buatku saja.”

Hani bersumpah, menghadapi lelaki itu merupakan salah satu cobaan terberat dalam hidupnya. Dengan mantap ia mengayunkan tungkainya, menghampiri sosok pemuda ber-coat cokelat senada dengan rambutnya. Jika saja orang itu bukan Kim Taehyung, mungkin Hani sudah mencekik lehernya. Tanpa bicara apapun, gadis itu berhenti tepat di samping sang pemuda, menyambar segelas kopi Italia di tangan kanan Taehyung sebelum kemudian melangkahkan kakinya kembali, kali ini menuju pintu keluar.

“Mau ke mana?”

“Pulang.”

Tidak ada jawaban lagi. Hingga ketika Hani mengulurkan salah satu tangannya untuk mendorong pintu kaca gerai tersebut dan seseorang tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya.

Ia memandang pergelangan tangannya yang digenggam erat, lalu menoleh ke samping dan mendapati tatapan tajam Kim Taehyung yang bertemu dengan kedua maniknya. Sang pemuda berucap, “Di luar hujan.”

Apa seorang karyawan tempat itu memutar soundtrack drama viral yang berjudul Beautiful Life? Hani sangat yakin baru beberapa detik lalu ia mendengar musik jazz 80-an memenuhi penjuru ruangan cafe. Agaknya inilah yang disebut timing pas, tetapi gadis itu terlalu sibuk meredakan deru jantungnya sambil terus menatap Taehyung. Demi Tuhan, tidak bisakah lelaki itu berhenti menjungkirbalikkan perasaan Hani hampir tiap waktu sekaligus berhenti terlihat begitu mempeso―

“Permisi, tolong jangan berdiri di depan pintu.”

Reflek, dua sosok bermarga Kim tersebut terlonjak, menarik masing-masing tangan dan segera berpindah posisi menjauh dari tempat orang-orang keluar-masuk tempat tersebut. Hingga saat di mana orang asing yang mengacaukan momen langka mereka mendorong pintu dan menghilang di tikungan trotoar, tak ada di antara keduanya yang berani bergerak dan melirik satu sama lain.

Hani mungkin sudah lupa cara bernapas dan Taehyung sudah akan bertekad hendak memakai kantung kertas untuk menutup wajahnya seumur hidup jika sesuatu tidak mengalihkan fokus salah satu di antara mereka. Dengan nada terkejut sekaligus heran, Kim Hani berbisik, “Bukannya itu Namjoon dan Hwarin?”


***


“Siapa yang bilang cerah tadi?”

Tanpa sedikitpun rasa penyesalan, sepintas ‘hehehe’ terucap dari mulut Hoseok. Di sebelahnya, Hyora hanya bisa menghela napas pasrah. Setidaknya terperangkap hujan di teras sebuah toko kelontong itu lebih baik daripada diguyur hujan ketika sedang berjalan di trotoar dengan santainya.

“Yang penting kita masih bisa berteduh.”

Oh, Hoseok seolah bisa membaca isi pikiran gadis itu. Nada bicaranya yang ceria seperti hendak mengatakan, “Hujan itu berkah, dinikmati saja!” Maka Hyora pun mengembangkan senyumnya. “Kau benar, kita harus mensyukuri segala macam keadaan.”

Ketika kemudian terdengar suara tepukan tangan Hoseok, sang gadis tak bisa menahan gelak tawanya. Ia menoleh, mendapati Hoseok memasang wajah takjub persis seperti saat-saat di mana ia biasanya menonton acara motivasi berembel-embel ‘Golden Ways’ di televisi tiap pukul setengah sembilan malam.

“Aku senang sudah bisa menularkan energi positif padamu.” Lelaki itu mengangguk-angguk puas.

Masih dengan senyuman lebar terlukis di wajah, Hyora memukul pelan bahu sang pemuda. “Terima kasih.”

“Sama-sama. Tapi aku minta maaf karena malah mengajakmu ke sini saat kita masih punya banyak tugas yang belum diselesaikan.”

Rasa-rasanya Hyora seperti salah dengar. Apa barusan Hoseok meminta maaf padanya? Oke―sebenernya ia tidak ambil pusing. Berakhir terjebak hujan begini bukan kesalahan Hoseok, tidak ada alasan mengapa lelaki itu harus mengatakan ‘maaf’. Hyora menghargai sikap lelaki itu. Yah, Hoseok memang seperti ini, sejak dulu, sejak masa-masa mereka berdua menangis setelah saling berebut Tamagotchi sampai sekarang di mana mereka bukan lagi anak kecil yang tidak perlu mengkhawatirkan masa depan masing-masing.

“Oke, kumaafkan. Jangan diulangi, ya? Kita harus belajar dengan serius jika ingin mewujudkan cita-cita.”

“Kalau Hyora, sih, aku yakin cita-citanya pasti bisa terwujud.”

Dengan sebelah alis dinaikkan, yang dibicarakan lantas menjawab, “Umm ... terima kasih? Kuharap perkataanmu benar. Tapi, bicara saja mudah, ‘kan?”

“Yah...,” Hoseok menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tangan kirinya ia letakkan di pinggang, “kau benar. Namanya usaha itu harus nyata. Kalau tidak salah, kau ingin jadi polisi, ya?”

Hyora mengangguk. “Ya. Tapi itu dulu, sekarang aku lebih ingin kuliah.”

“Ah, benar. Kau ‘kan ingin masuk jurusan Bahasa Inggris,” ucap Hoseok, diikuti ekspresi terkejut sang gadis yang merasa bahwa ia belum mengatakan fakta tersebut selain pada guru BK. Belum sempat ia menanyakan dari mana Hoseok bisa mengatahuinya, si lelaki melanjutkan perkataan, “Tapi nilaimu bagus, hampir semuanya. Pasti bisa, kok, aku yakin.”

Keheranan gadis itu menguap, tergantikan oleh masalah nilai, belajar, dan masa depan yang belakangan ini memenuhi otaknya. Mengakhiri jeda pendek yang ia isi dengan wajah serius, Hyora berucap, “Sudah kubilang, bicara saja mudah. Sebenarnya banyak hal yang perlu dikhawatirkan juga. Di kelas ada banyak murid lain yang nilainya lebih bagus dariku, lebih rajin, lebih pintar, dan lebih memiliki potensi. Belum lagi di sekolah lain. Bisa kau bayangkan bagaimana jadinya saat ujian masuk universitas nanti? Sainganmu bukan hanya dari satu sekolah, tapi seluruh negara. Mau jadi apa aku ini yang kadang-kadang belajar saja malas?”

Termenung, Hoseok hampir lupa untuk berkedip. Matanya menatap gadis di sampingnya, tak bisa beralih sementara si gadis membiarkan dirinya dibuai oleh derasnya tetesan air yang jatuh ke tanah. Suaranya terngiang di rungu Hoseok, pidato pendeknya menyatu dengan suara hujan, menari-nari di udara yang lembab.

Apa Hoseok baru saja mendengar curahan hati seorang Jung Hyora? Jika ya, maka terjawab sudah pertanyaan demi pertanyaan yang sering tercetus dalam benaknya mengenai perempuan itu.

Apa Hyora murid yang rajin? Ya. Apa Hyora tidak lelah menjadi murid rajin? Tentu saja, tapi ia tetap mempertahankan title itu demi cita-citanya. Kenapa Hyora senang sekali belajar? Karena ia memimpikan masa depan yang cerah, dan tak ada hal lain yang bisa dilakukannya sebagai murid selain belajar dengan tekun.

Apa Hyora orang yang menarik?

Jawaban Hoseok: Ya.

Segalanya dalam diri gadis itu sangat menarik. Dan Jung Hoseok selalu menyukai hal-hal yang menarik.

Dengan senyum seribu watt-nya, Hoseok membuat gadis itu menoleh ke arahnya. Ia menangkup wajah Hyora dengan kedua tangannya, dibalas dengan tatapan bingung sang gadis. “Senyum, dong! Kau pasti bisa! Jung Hyora harus tetap semangat!”

Jika ada hal selain penyakit yang bisa menular, maka Hyora berani menyatakan bahwa senyuman itu menular, terlebih milik seorang Jung Hoseok. Kalimat-kalimat pendek yang meluncur dari bibir lelaki itu membuat jantung Hyora serasa akan meledak, perasaannya meletup-letup barangkali mengalahkan kecepatan jatuhnya hujan. Dengan tingkat semangat paling tinggi yang pernah ia rasakan, Hyora menjawab, “Iya, Hoseok! Terima kasih!”


***


“Jika tidak ada hal lain lagi yang mau kau bicarakan, aku akan pergi du―”

"―Tunggu!”

Hwarin sudah beranjak dari tempat duduknya, sudah hendak meraih tas selempangnya, namun Namjoon memotong ucapannya dan kini menggenggam pergelangan tangannya. Ia tak bisa berkata-kata, pikirannya kosong tetapi tatapan Namjoon cukup meyakinkan untuk membuatnya kembali menghempaskan tubuh di tempat duduk.

“Maaf. Sudah seminggu aku tidak bertemu siapapun selain nenekku, keluargaku, petugas stasiun kereta api, dan tukang pos―ah tidak, sebenarnya aku bertemu Yoongi tadi pagi. Tapi rasanya aneh saat tiba-tiba berada di sini dan duduk di hadapanmu.” Namjoon mengusap punggung tangan kirinya selagi mulai berbicara, atensinya tertuju pada hitamnya espresso di dalam cangkir dan sesekali berpindah ke mana pun selain Hwarin.

“Aku mengerti dengan cukup jelas kalau kau marah padaku bahkan sebelum tetek-bengek pentas seni itu dimulai, bahkan mungkin sampai sekarang, tapi aku malah menghilang selama seminggu tanpa kabar dan aku benar-benar minta maaf. Dan saat kita sudah bertatap muka begini aku malah kehilangan nyali dan tidak tahu harus mengatakan apa. Maaf, sungguh, rasanya aku sudah seperti―”

“Kau terlalu banyak minta maaf.”

Namjoon mendongak, atensinya bersirobok dengan milik Hwarin. Gadis itu tak melanjutkan perkataanya begitupun Namjoon yang penjelasan panjangnya terpotong justru malah merespon dengan ekspresi terkejut yang terlihat tidak intelektual sama sekali. Jeda panjang memenuhi udara, entah apa yang dipikirkan Hwarin yang jelas Namjoon merasa tenggorokannya tercekat. Sang pemuda tak mungkin berani bicara lagi, ucapan gadis itu kini terngiang di telinganya, terdengar ketus dan dipenuhi rasa kesal.

Ah, kenapa Namjoon harus merasa begitu paranoid?

Bodoh. Bukan―bahkan terlalu bodoh untuk disebut bodoh. Tidak ada sebutan yang pantas disandingkan dengan namanya sekarang. Ia memang lelaki tidak berguna. Selama ini menganggap remeh dan mengabaikan apa yang diucapkan hatinya sendiri, akhirnya menanggung penyesalan teramat besar.

Kenapa? Kenapa ia tak bisa yakin pada dirinya sendiri? Kenapa sulit rasanya untuk percaya bahwa ia menyukai gadis yang kini berada di hadapannya?

“Kau harus berhenti memasang ekspresi seperti itu, Joon.”

Oh, benar. Ekspresi ini malah membuat Namjoon terlihat semakin bodoh. Gadis itu memang selalu mengatakan hal yang benar, berkebalikan dengan Namjoon yang embel-embel saja peringkat satu pararel tapi pada dasarnya cuma seorang pecundang.

“Dan seharusnya akulah yang minta maaf, bukan kau.”

Dasar, Namjoon memang seorang―apa?

“Dengar, Joon, selama ini kau tidak melakukan kesalahan apapun. Tak ada gunanya meminta maaf. Itu malah membuatku merasa semakin bersalah. Semua kerumitan dan kesalahpahaman ini berawal dariku. Jika saja aku tidak memaksakan keegoisanku untuk melihat pertunjukan hip hop di pentas seni pasti kau tidak perlu repot-repot mewujudkannya. Well, walaupun kau memang terlalu berbakat sampai-sampai pertunjukan kelas kita sukses besar.”

Diliriknya lelaki itu, yang seharusnya tengah diajak bicara tapi kelihatannya terlalu terkejut sampai kedua bola matanya terbuka begitu lebar (sungguh, Namjoon berusaha keras untuk terus mendengarkan tanpa membiarkan mulutnya menganga). “Jadi ... aku benar-benar minta maaf. Kau telah melakukan yang terbaik, penampilanmu benar-benar keren sampai aku kehilangan kata-kata. Kuakui, bakatmu dalam musik bukan main-main―ah, yang lain juga! Pokoknya, kalian jjang!”

Jadi ini permintaan maaf atau penjelasan atau pujian atas penampilan Namjoon dan keenam sohibnya di panggung beberapa waktu lalu? Yang manapun itu, Kim Namjoon masih merasa tenggorokannya tercekat tapi dalam artian dan alasan berbeda. Otaknya masih memproses segala hal yang masuk secara tiba-tiba ketika Hwarin mendadak berucap kembali.

“Ah! Aku bahkan menuliskan nama kalian bertujuh dalam form pendaftaran audisi Big Hit!”

“...apa?”

“APA!?”

Namjoon melotot, kemudian ikut terlonjak bersama Hwarin karena yang mengucapkan ‘apa’ untuk kedua kalinya namun dengan volume lebih keras diikuti gebrakan meja bukanlah dirinya. Keduanya menatap seseorang yang kini berdiri dengan kacamata hitam bertengger di hidung, di sebelahnya seorang lagi tengah menunduk dengan hoodie dan masker terpasang rapi menutupi wajah dan rambutnya. Dua sosok orang asing itu duduk tepat di belakang Namjoon dan Hwarin, sedari tadi ikut mendengarkan perdebatan tidak jelas mereka namun terima kasih pada si kacamata hitam berkatnya identitas mereka pun terbongkar.

“...siapa kau?” tanya Hwarin akhirnya, masih dengan suara mengecil sisa-sisa keterkejutan.

“Kau yang siapa!” jawab lelaki berkacamata. Sekali lagi Hwarin terlonjak. “Berani-beraninya menulis nama orang di formulir pendaftaran agensi! Kau kira kau siapa? Ibuku? Hah? Hah?”

“A-aku―”

“Kau kira aku mau jadi penyanyi? Aku berterima kasih kalau kau bilang suaraku bagus, tapi aku ini ingin bekerja di NASA!”

“Loh?” Sosok ber-hoodie yang ternyata adalah wanita diketahui dari suaranya itu mendongak, menatap kawannya heran. “Bukannya kau bilang ingin bekerja di industri musik kema―”

“Diam! Sekarang aku sedang bicara dengan perempuan kurang ajar ini,” potong si kacamata seraya menodongkan telunjuknya tepat ke arah Hwarin.

“I-itu―”

“Jangan bicara padaku! Kau lebih baik meminta maaf lagi pada Namjoon, dan aku, dan Yoongi, dan Jimin, dan Jungkook, dan Hoseok, dan Seokjin juga!”

Tanpa benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi, siapa sebenarnya lelaki misterius berkacamata itu, atau kenapa ia mengenal Namjoon dan yang lainnya, Hwarin kembali menatap Namjoon yang sekarang tak bisa menahan diri untuk memasang wajah terkejut dengan mulut menganga. Pikirannya kini terlalu kacau, dengan panik ia berkata, “Maafkan aku!”

Namjoon masih dipenuhi rasa terkejut, berusaha berkedip karena matanya mulai terasa perih. “...apa benar kau mendaftarkan kami ke audisi Big Hit?”

Tadinya Hwarin sudah menundukkan kepalanya sembilan puluh derajat, kini kembali mendongak. “Aku cuma bercanda!”

“Eh?”

“Sumpah, aku bercanda!”

Maka huru-hara sore itu pun usai bersamaan dengan tetesan terakhir air yang turun dari langit, diikuti cahaya matahari yang menyapa melalui celah-celah awan kelabu.


***


Malam ini cerah, meski angin musim gugur masih berembus kuat mengharuskan tiap orang yang pergi keluar rumah untuk memakai jaket dan syal tebal. Agaknya sudah tidak ada sisa-sisa hujan deras sepanjang siang tadi seolah langit sudah memuntahkan habis seluruhnya. Park Choonhee yang biasanya menerima dengan senang hati ajakan kedua orang tua untuk pergi ke restoran keluarga bersama-sama kali ini enggan menjawab ‘Ya’ karena merasa terlalu malas berkompromi dengan angin kencang di luar sana.

Maka, dengan tampang bosan ia menyelimuti diri di atas sofa ruang tengah, memainkan ponsel seraya mengayunkan kakinya yang dibalut kaos kaki krem. Dirinya tengah menyenandungkan lagu baru Jessica Jung ketika tiba-tiba terdengar bel rumah berbunyi. Rasa-rasanya orang tuanya baru saja berangkat jadi tidak mungkin mereka kembali secepat ini, lagipula untuk apa pemilik rumah sendiri menyalakan bel?

Dengan rasa heran memenuhi benak, Choonhee bangkit dan berjalan cepat menuju pintu depan ketika bunyi bel terdengar untuk kedua kalinya. Gadis itu mengingat-ingat apakah ia baru saja memesan sesuatu lewat situs internet yang kira-kira bisa sampai sekarang namun malah berakhir dibuat membulatkan matanya kaget ketika melihat seseorang yang berdiri di depan pintu rumahnya.

“...hai?”

Di sanalah Jeon Jungkook, tersenyum menunjukkan gigi kelincinya yang imut tanpa dosa menatap Choonhee yang seolah mati kutu di ambang pintu.

“Oh ... hai, juga?”

Inikah yang disebut mimpi di tengah musim? Melihat Jungkook dengan sweater hitam menutupi  kemeja putih yang kerahnya menampakkan diri dengan rapi di lehernya. Tak seperti hari-hari biasa, lelaki itu menata rambutnya dengan membelah sedikit poni kecoklatan di sebelah kanan. Choonhee membuka lebar-lebar pintu porselen hitam rumahnya dan ia bisa mencium jelas aroma parfum sang pemuda. Oh―apakah malam ini Tuhan mengirim seorang malaikat untuknya?

Sadar dirinya tengah menjadi destinasi pandangan Park Choonhee, rasa malu mulai menyerang Jungkook, ia berdehem membuat sang gadis lantas mengerjap bingung. “A ... ada apa, Kook? Kenapa berkunjung malam-malam begini?” ujar Choonhee, akhirnya bisa kembali bernapas normal.

Jungkook mengangkat tangan kirinya yang menggenggam erat sebuah kantung plastik merah, saat itulah Choonhee baru menyadari pada kedua tangan lelaki itu terdapat dua barang bawaan, yang satu terlihat sedikit berat. “Aku ingin mengajakmu nonton film.”

“... sekarang? Di luar? Atau benda itu isinya DVD?” Pandangan Choonhee beralih ke kantung plastik Jungkook dan lelaki itu mengangguk.

“Apa orang tuamu di rumah?”

Sang gadis mengerjap, mencoba menghubungkan antara menonton film dengan pertanyaan Jungkook barusan. Mulutnya sedikit terbuka tetapi butuh beberapa detik untuknya mengucapkan, “Tidak. Mereka baru saja keluar.”

Jungkook membeku di tempat, nampaknya tidak memikirkan kemungkinan skenario semacam ini ketika merencakan kunjungan ke rumah keluarga Park. Dengan pikiran kalut ia berusaha tidak terlihat bodoh jika hanya berdiri mematung di depan pintu rumah kekasihnya sendiri, lelaki itu mengulurkan tangan kanannya. “Ibuku menitipkan buah-buahan,” ujarnya polos menutup-nutupi fakta bahwa dirinya juga ikut membelikan beberapa bungkus roti di dalam sana.

“Terima kasih.” Nada bicara Choonhee terdengar aneh, ia merasa hal ini jauh lebih awkward daripada menerima sepaket kue beras dari tetangga yang tidak dikenal ketika ia baru pindah.

“Jadi....” Seraya mengusap tengkuk, Jungkook memandang ujung sepatunya lalu sepintas melirik gadis di hadapannya. “Kurasa sebaiknya aku pulang.”

“Ah ... begitu?”

“... ya.”

Terdengar ‘hehehe’ yang manis dari mulut lelaki itu, sebuah senyum simpul terpatri di bibir. Diliriknya sang gadis untuk terakhir kali. “Sampai jumpa.”

Kemudian tahu-tahu saja kedua tungkai Jungkook sudah berayun beberapa kali, membawanya menjauh dari Park Choonhee yang masih tidak berkutik di tempat. Tiga kali gadis itu bolak-balik menatap antara kantung buah-buahan yang terasa berat di tangannya dan punggung Jeon Jungkook yang semakin menjauh. Pada kali keempat, ia baru bisa menguasai dirinya.

“Jungkookie!”

Si pemilik nama hampir tak mempercayai pendengarannya sendiri, pasalnya ia tak pernah mendapati embel-embel ‘-ie’ sebagai pemanis nama panggilannya terlebih jika itu terucap dari bibir Park Choonhee. Ketika ia menoleh, gadis itu memberinya pandangan ragu-ragu namun perkataannya selanjutnya sudah lebih dari cukup untuk membuat hati pemuda Jeon itu dipenuhi bunga-bunga bermekaran.

“Aku ingin nonton. Filmnya. Kimi no Na wa, bukan?”


***


“Bisakah kau tetap duduk di sini...?”

Terlalu banyak. Suara Yoongi sudah terlalu banyak terngiang di rungu Rahee, memenuhi kepala seolah tidak ada hal lain yang bisa dipikirkan selain kalimat berisi permintaan tersebut. Demi Tuhan―apa yang salah dengan meminta Rahee tidak kembali ke tempat duduknya yang berseberangan dengan lelaki itu? Susunan kalimatnya, kah? Suara Min Yoongi yang seolah tengah berbisik tepat di telinganya? Atau pergelangan tangannya yang digenggam erat oleh sang pemuda?

Serius, sekarang ini pukul sembilan malam, sudah berapa jam yang terlewat? Kenapa Rahee tidak bisa menyingkirkan ingatannya barang sedetik saja? Terlebih ekspresi Yoongi kala itu, agaknya terlalu datar untuk dipahami. Kilatan matanya begitu aneh sekaligus Rahee terlalu sibuk meredakan keterkejutannya hingga tak bisa menyelami isi sebenarnya dalam hati dan benak sang pemuda.

Barangkali hanya Rahee seorang yang terus memikirkan detik-detik krusial itu―bukan, bahkan hanya ia seorang yang menganggapnya ‘krusial’. Kali ini Rahee akan menyetujui salah satu hujatan kakak laki-lakinya, bahwa ia adalah perempuan yang overthinking.  Tidakkah ini semua sia-sia? Mengapa ia sebegitu memikirkan hal sepele? Toh,  orang yang dipikirkan juga tidak mungkin memikirkannya.

Tunggu―jadi selama ini dia memikirkan Yoongi?

Rahee tersentak, notifikasi pesan masuk berbunyi nyaring dari ponselnya hingga ikut membuat meja bergetar. ‘Siapa, sih, yang mengirim pesan malam Minggu begini? Jomblo sekali dia,’ batin perempuan itu dalam hati. Ketika maniknya menangkap nama ‘Jimin’ yang tertera jelas di layar, kawannya itu resmi masuk ke dalam daftar ‘Lelaki Kesepian’ milik Song Rahee.







***


Park Jimin dengan sejuta hal yang memenuhi kepalanya, kini berpikir hal-hal itu sudah hampir menyamai sejuta pesonanya―yang bersikeras disanggah oleh kawan-kawannya, terutama Jeon Jungkook. Benaknya berkecamuk berbanding terbalik dengan suasana kamarnya yang hening total. Samar-samar yang terdengar hanya denting jarum jam dan bunyi air conditioner yang masih dinyalakan dengan suhu rendah meski si pemilik kamar sadar bahwa ia merasa cukup kedinginan, alhasil lelaki berambut hitam itu memutuskan untuk mengenakan hoodie berwarna senada dengan surainya.

Ia duduk terdiam di pinggir tempat tidur, jemarinya bertautan dan atensinya tertuju pada satu titik di pola abstrak karpet beludru, kini merenungkan nasibnya yang belakangan menyerupai gelombang Laut Mediterania bukannya semulus kulit ibunya semasa muda dulu. Barangkali berawal dari aksi tipu-tipu yang dengan bodohnya ia percaya, Jimin berhasil membuat geram teman-temannya sekaligus patah hati pada cinta pertamanya di SMA yang bahkan belum mekar sepenuhnya.

Sepatutnya ia bersyukur karena gelombang-gelombang nasib buruk tersebut sudah mulai mereda, layaknya air laut yang tiba-tiba surut. Tapi―entah karena hidup memang seperti ini atau Jimin saja yang terlahir sial―ombak baru menyerang dan menghancurkan angan-angannya soal air surut, pada akhirnya kembali pasang.

Tiba-tiba terdengar intro lagu Pillowtalk lantas membuyarkan renungan Jimin dan membuatnya segera menyambar ponsel yang tergeletak di atas nakas. Ia yang biasa menggunakan ringtone default iseng-iseng menggantinya dengan lagu yang sedang hits namun sekarang sedikit disesali karena nada R&B tidak cocok diterima rungunya sebagai notifikasi panggilan masuk. Seraya menggeser layar, ia mengingatkan diri sendiri untuk segera mengembalikan ringtone default pada ponselnya nanti.

Yoboseo?”

Yoboseo, Jimin?”

“Ya. Ada apa, Taehyung-ah?”

Jimin tak mendengar balasan, sekalipun ia mengenali suara Taehyung tanpa sempat membaca nama lelaki itu terpampang di layar.

“Kau tidak apa-apa, ‘kan?”

Kini giliran Jimin yang terdiam, keheranan sekaligus tidak percaya Taehyung menelepon malam-malam begini hanya untuk menanyakan hal semacam itu di saat biasanya ia lebih memilih untuk beradu mulut dengan Hani di groupchat.

 Gwaenchana, tidak usah khawatirkan aku. Apa aku belum memberitahumu? Umm ... masalah yang terjadi beberapa hari ini cuma ... kesalahpahaman.”

“Ah, sudah, kok. Aku cuma ingin memastikan saja. Kuharap kau benar-benar tidak apa-apa.”

Lalu Jimin bersumpah ia tak pernah merasa lebih tersentuh daripada saat ini.

“Ya. Aku baik-baik saja―sangat baik malah!”

Dari seberang sana terdengar suara manis Kim Taehyung, diliputi nada ceria. “Bagus! Jangan sungkan untuk bercerita padaku jika ada apa-apa. Kalau begitu sudah dulu, ya!”

“Terima kasih Taehyung-ah.”

“Oke!”

Sambungan terputus, namun kini senyuman Park Jimin terpatri begitu lebar, tidak menyangka perbincangan singkat barusan bisa menaikkan kembali mood-nya, menyadarkan bahwa ia punya seorang teman yang begitu peduli padanya hingga mau tak mau Jimin merasa begitu bersyukur.
Belum semenit pemuda tersebut memasang wajah sumringah, intro Pillowtalk kembali terdengar mengagetkan sekaligus mengingatkan Jimin untuk segera mengganti ringtone.

Yoboseo, Taehyung-ah?”

“Aku bukan Taehyung.”

“Oh ... siapa?”

“Min Yoongi, kelas 1-C nomor absen 13.”

Kedua manik Jimin membulat sempurna, bentuk keterkejutan yang hakiki meski dalam hati ia sedikit merasa bersalah karena tak bisa mengenali suara Yoongi yang entah kenapa terdengar lebih serak. Apa pasal Yoongi meneleponnya juga? Semalam ini? Apa kawannya yang paling dingin itu diam-diam juga hendak memberinya semangat hidup?

“Tumben kau meneleponku.”

“Tidak boleh, ya?”

Aniya. Tidak apa-apa, kok.”

“Oke, maaf kalau aku mengganggumu malam-malam. Cuma ingin bertanya. Kau sudah baikan dengan Rahee?”

“Sudah. Bagaimana kau bisa tahu?”

“Rahee yang memberitahuku, dia meminta maaf karena terlambat datang, katanya dia bertemu denganmu sebelum berangkat.”

Jimin mengerutkan dahinya bingung. “Apa? Tadi pagi? Kau bersama Rahee?”

Hening sesaat sebelum kemudian terdengar helaan napas Yoongi. “Ya. Tadi kami ke perpustakaan―kau tahu, untuk mengerjakan tugas sastra.”

“Serius? Kau? Dan Rahee? Berdua saja?”

“Ya.”

“Demi Tuhan apa kau se―”

“Yang lebih penting, apa kau sempat mengirim pesan padanya?”

“Umm ... ya.”

“... dibalas?”

“Ya, memangnya kenapa?”

“... dia tidak membalas pesanku.”

“Apa? Kenapa kau khawatir pada pesanmu yang tidak dibalas Rahee?”

Bukannya jawaban, yang diterima Jimin justru bunyi ‘Tut. Tut. Tut,’ berturut-turut selama sekian detik hingga akhirnya sang pemuda menjauhkan ponselnya dari telinga, menatap gamang pada layar hitam legam. Seolah rasanya perbincangan barusan bukan kenyataan melainkan efek terlalu gembira atas kata-kata manis yang ia dengar sebelumnya.

Demi apapun, barangkali Jimin hanya tak bisa mempercayai apa yang dikatakan Yoongi dari seberang sana. Yang ia tahu, detik berikutnya ia sudah akan menelepon Kim Taehyung.


***


Samar-samar, Choonhee mendengar suara isakan. Namun ketika ia sadar bahwa suara itu berasal dari dirinya sendiri, air mata yang sedari tadi mengalir menuruni pipinya justru menambah frekuensi sekaligus kecepatan. Sejujurnya gadis itu kesal, kenapa ia harus terlahir sebagai seorang perempuan dengan perasaan sensitif? Hanya butuh sedikit bumbu tragedi dalam sebuah film dan Park Choonhee sudah gagal membendung air mata yang mengalir di wajahnya.

Tangannya kemudian terulur, berniat menarik selembar tissue dari kotaknya di atas meja namun malah menyentuh benda asing yang permukaannya terasa seperti kulitnya sendiri.

Itu tangan Jungkook.

Secepat kilat, Choonhee segera mengembalikan tangannya ke posisi semula. Sedetik pun ia tak berani menoleh ke samping, ke arah lelaki yang duduk di sebelahnya dengan setitik air mata di sudut netranya pula.

Betapa memalukan. Menangis di depan kekasihmu sendiri sekaligus tanpa sengaja menyentuh tangannya.

Choonhee tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, berusaha keras mengabaikan sekitar demi fokus meredakan rasa malunya namun ketika tangan Jungkook terulur dengan sebuah tissue terapit di antara kedua jarinya, gadis itu tak bisa menolak.

Keduanya tak bicara, sibuk mengelap air mata (dan ingus, barangkali) masing-masing. Choonhee lebih suka begitu, tidak usah mengungkit-ungkit kejadian tidak sengaja barusan lagipula film yang mereka tonton masih tiga perempat jalan. Tapi, di samping itu sang gadis mulai memikirkan fakta bahwa seorang Jeon Jungkook juga menganggap film yang satu ini cukup menyedihkan untuk membuatnya menangis. Jadi apa ia sebenarnya tidak sesensitif itu?

Diliriknya sang pemuda, kini tengah menutup sebagian mulutnya. Kedua netra lelaki itu jelas-jelas berwarna merah, bahkan di sudutnya masih ada jejak air mata. Selang beberapa detik Choonhee bisa mendengar sebuah suara, seperti bunyi menghirup udara namun hidungmu dipenuhi air (lebih tepatnya ingus).

Lantas, gadis itu tak bisa menahan diri untuk tertawa. Meski suaranya kecil, kecil sekali, hingga bahunya hampir tak ikut naik turun.

Akan tetapi Jeon Jungkook memiliki pendengaran tajam, ia menoleh ke arah sang gadis dan ketika pandangan mereka bertemu gelak tawa Choonhee meledak karena tak kuasa melihat wajah menyedihkan pemuda tersebut.

Jungkook hanya nyengir, dalam hati merasa malu tapi mendengar tawa Choonhee mau tak mau membuatnya tak bisa menyembunyikan senyum. “Wae? Kenapa kau tertawa?”

Bukannya menjawab, gadis itu malah tertawa lebih keras. Kini butiran air kembali memenuhi sudut matanya bukan sebab alasan yang sama dengan sebelumnya melainkan karena nada pertanyaan Jungkook yang terdengar judgemental tetapi masih diselingi kekehan sekilas.

“Astaga ... hahaha ... maaf ya, aku cuma―”

Keduanya terdiam. Bahkan gelak manis gadis tersebut ikut teredam tiba-tiba. Masing-masing memasang ekspresi terkejut yang terkesan sedikit berlebihan. Ucapan terakhir gadis itu bukan terinterupsi tanpa sengaja, pun bukan oleh si pemuda Jeon, melainkan berkat dirinya sendiri yang mendadak mengalami fenomena anatomi manusia―cegukan.

Hingga kali ketiga suara asing itu terdengar, barulah jiwa mereka kembali merasuki relung. Jungkook sedikit tak bisa menahan kekehannya namun masih sempat menutup mulut dengan kepalan tangan seraya berdehem. Ia berkata, “Apa kau belum makan?” terdengar bersimpati namun jelas-jelas di wajahnya masih tersirat ekspresi geli.

“Belum.”

“Pantas saja.” Merasa prihatin dengan tokoh Mitsuha yang berakhir diabaikan di layar televisi, Jungkook mengambil remote di sebelah kotak tissue lantas memencet tombol pause. “Ingin memesan pizza?”

Choonhee dengan cepat menggeleng. “Orang tuaku pasti pulang membawa makanan, lagipula aku takut dimarahi kalau ketahuan makan junk food begitu.” Setelah melempar senyum pada Jungkook yang terbengong, gadis itu beranjak. “Aku akan ambil air putih sa―WOA!”

Panik. Sekali lagi ruangan yang sekarang hening itu dilanda kepanikan. Park Choonhee untuk kesekian kalinya merasa kapok tidak melihat ke depan ketika berjalan karena sekali lagi kakinya terantuk karpet ruang duduk. Sementara Jeon Jungkook yang tadinya bengong spontan memasang ekspresi terkejutnya yang khas dengan kedua mata melotot lebar.

“Ya Tuhan, apa kau sebegitu laparnya?” tanya sang pemuda selagi ia berusaha memapah gadis itu kembali duduk di sofa. Yang diajak bicara hanya meringis, sedikitpun tak merasa sakit karena jauh lebih mementingkan rasa malunya.

“Apa kakimu sakit? Bagian mana? Aduh ... mau aku ambilkan apa? Kotak P3K? Di mana? Eh―tapi aku tidak mengerti pemberian pertolongan pertama yang baik itu bagaimana....”

Sejauh ini, pemuda tersebut terus bicara sendiri. Choonhee tak mengatakan apapun. Akan tetapi saat rungunya yakin tak salah mendengar kalimat terakhir Jungkook mengenai pertolongan pertama, sang gadis akhirnya membuka mulut.

“Bukannya kau anggota PMR?”

“Ha?”

“Kau anggota PMR, kan, Kook?”

“PMR?

“Iya.”

“Bukan, tuh.”

Park Choonhee bergeming. “Kau dulu pernah bilang begitu.”

“... kapan?”

“Saat kita summer camp, kalau tidak salah setelah aku pingsan.”

Entah untuk keberapa kalinya malam itu, wajah Jungkook memancarkan raut keterkejutan namun kini diliputi rasa bingung seolah dia telah melupakan hal terpenting yang pernah dilakukannya di masa lalu. Lima detik berlalu dan akhirnya laki-laki itu berseru, “Ahhhh!” seolah telah mencapai bagian dasar dari ingatan yang berusaha ia gali.

“Itu―anggota PMR―aku bohong.”

“Apa?”

“Iya, maaf, aku berbohong padamu. Aku bukan anggota PMR.”

Lelaki itu mengedikkan bahu tanpa dosa ataupun rasa bersalah sedikitpun, dan gadis di sebelahnya lantas menatapnya heran. “Bohong? Kenapa?”

“Kau tidak tahu...?”

“Tidak. Bagaimana aku bisa tahu?”

Well, kau saat itu pingsan dan aku benar-benar panik jadi aku langsung pergi ke ruang kesehatan. Entah berapa lama aku menunggumu bangun, aku tak ingat, yang jelas saat kau bangun aku terlalu senang sampai tidak bisa memikirkan hal lain.” Jungkook tersenyum, deretan giginya terlihat begitu manis. “Lalu kau tahu-tahu bertanya apa aku anggota PMR, karena aku tidak mau ketahuan sudah menemanimu di sana begitu lama, jadi aku bilang saja ‘iya’.”

Oh, Jungkook benar-benar polos―sekaligus manis di saat yang sama, dan Choonhee merasa ia bisa terserang diabetes sekarang juga.


***


Jari-jemari Hyeso terus bergerak, dua detik kemudian tangannya sudah menggenggam seraup popcorn pedas. Tanpa mengalihkan atensi dari layar laptop, butiran-butiran brondong jagung itu dimasukkan ke mulut baik satu-persatu maupun sekaligus. Peduli setan dengan beberapa butir yang jatuh mengotori tempat tidur, scene Jung dan Seol di drama Cheese in The Trap terlalu romantis untuk dilewatkan barang sedetik saja.

Pun ketika ponsel yang ia letakkan tak jauh dari tempatnya berbaring telungkup mulai berdering, memperdengarkan suara indah Kim Taeyeon, pandangan sang gadis tetap tak beranjak. Satu tangannya yang bersih dan bebas dari sisa-sisa bumbu popcorn segera meraba-raba sekitar, mencari keberadaan benda persegi yang tak henti-hentinya menyebabkan tempat tidurnya terasa ikut bergetar.

Ketika ponsel sudah berada di genggaman, Hyeso baru saja menelan kunyahan terakhirnya lantas berdehem seraya menjawab panggilan telepon.

“Hyeso-ya!”

Belum sempat gadis itu bicara, suara di seberang sana sudah mendahului. Hyeso bergeming sesaat sebelum akhirnya memutuskan untuk menekan tombol spasi di keyboard untuk menghentikan video yang tengah  ia putar.

“Kau masih bangun?”

Untuk kedua kalinya orang tersebut mendahului Hyeso bicara. Dengan nada tidak sabaran gadis itu menjawab, “Masih.”

Good!” jawab suara itu lagi, sok memakai bahasa Inggris membuat Hyeso tanpa sadar tersenyum geli. “Mau menemaniku ngobrol?”

“Aku sedang menonton drama.”

“Aku tahu.”

“Benarkah?” Manik Hyeso membulat kaget, diraihnya selembar tissue untuk mengelap tangan kanan yang belepotan bumbu popcorn. “Bagaimana kau bisa tau?”

“Karena aku indigo.”

“Pffttt―” Gadis itu memutar bola matanya, meski sadar orang yang sedang diajak bicara tidak bisa melihatnya. “Basi. Bercanda yang keren sedikit, dong.”

Terdengar tawa dari seberang sana, kalau kata Jungkook lebih mirip suara kaca jendela yang sedang dibersihkan tapi mau bagaimanapun tetap berhasil membuat Hyeso ikut tergelak.

“Oke, hahaha ... tadi aku melihat di Instagram Story-mu.”

“Ah, pantas saja.” Sang gadis mengangguk-angguk sambil membenarkan posisi berbaring, berusaha melemparkan gumpalan tissue ke tempat sampah di dekat pintu kamarnya yang minim penerangan. “Karena kau sudah tahu, berarti harus mengerti juga kalau aku tidak bisa diganggu jika sedang menonton drama.”

Sejenak tak ada jawaban, Hyeso yakin orang itu mungkin sedang cemberut kecewa sekarang. “Tapi aku ingin mengobrol denganmu.”

“Besok saja. Ini sudah pukul ...,” diliriknya jam digital yang terpampang di sudut layar laptop, “... dua pagi, astaga!”

“Jangan bilang kau tidak memerhatikan jam dari tadi.”

“Tidak! Pantas saja aku sudah habis dua bungkus keripik kentang.”

“Dasar.” Sekilas terdengar helaan napas sementara Hyeso mulai bangkit dari posisinya, menyalakan lampu dan menatap jam dinding yang memang benar menunjuk angka dua.

“Lebih baik kau tidur sekarang.”

“Seharusnya aku yang bilang begitu, Hyeso.”

Sang gadis tertawa. “Aku akan tidur. Tapi setelah satu episode lagi.”

Kini orang tersebut berdecak, bisa Hyeso bayangkan orang itu tengah menggeleng-gelengkan kepala persis seperti ibunya jika mendapati ia masih terjaga selarut ini. “Melihat layar laptop terlalu lama tidak baik untuk matamu.”

“Ya, aku tau. Terima kasih berkatmu aku jadi sadar ini sudah pukul berapa, kalau tidak bisa-bisa aku bangun sampai pagi.”

“Sama-sama. Ini salah satu alasan kenapa kau butuh aku.”

Lantas Hyeso tak bisa menahan gelak tawanya. Kalimat barusan dikatakan dengan nada paling percaya diri yang pernah ia dengar. “Tenang saja, nanti aku tidak akan membiarkanmu bangun sendirian. Kita bisa berbagi snack tengah malam selagi aku main game dan kau menonton drama. Bukankah aku calon pendamping hidup yang baik?” tambah suara itu.

“Kau lebih terdengar seperti teman begadang. Aku tidak akan bisa fokus nonton drama kalau kau main game.”

“Huh? Lalu apa gunanya earphone? Menurutmu orang menciptakannya tanpa alasan?”

Sang gadis masih terus tertawa. Sebelum ia sempat menjawab, suara di seberang sana kembali menginterupsi. “Ah, tapi kau tidak akan mendengarku jika telingamu disumpal begitu. Bagaimana jadinya kalau aku butuh bantuanmu untuk mengambilkan bungkus snack saat tanganku tidak sampai menjangkaunya...?”

“Makanya jangan main game.”

“Oke. Aku tidak akan main game. Aku cuma akan memandangmu sepanjang malam, kurasa itu sudah cukup.”

Meski gadis itu terkekeh, ia tak bisa menyembunyikan fakta bahwa pipinya kini mulai terasa memanas. “Sudahlah, Seokjin. Pergi tidur saja, aku juga akan tidur sekarang.”

“Jangan coba-coba membohongiku, ya?”

“Tidak akan! Aku akan tidur. Lihat, aku sudah mematikan laptop-nya.”

“Baiklah. Ingat, kalau kau menonton drama lagi jangan lupa memberitahuku, agar aku bisa mengingatkanmu untuk tidak tidur terlalu larut.

“Ya, tentu saja.”

Jaljayo, mimpi indah soal aku, ya!”

“Hm, jaljayo.”

Malam itu Jung Hyeso tak merasa kecewa karena tidak bisa melanjutkan menonton satu lagi episode Cheese in The Trap. Ia lebih menunggu-nunggu akhir pekan selanjutnya di mana ia bisa duduk di depan laptop-nya sampai larut dan Seokjin akan meneleponnya di tengah malam, menyuruhnya untuk segera tidur dan mengatakan hal-hal manis yang membuat jantungnya berdetak puluhan kali lebih cepat.


***
To Be Continued


(a/n)
Bruh.
Ini. Panjang. Banget.
Rekor bruh, baru kali ini aku nulis satu chapter atau satu cerita yang nyampe 20 halaman dan bahkan menyentuh 6000+ words.... Sepanjang hampir dua tahun aku nulis Vector of Fate juga paling panjang chapter 12 gara-gara itu ada bagian pentas seninya anak Bangtan wkwk (dan itu cuma 4000 words).
Semua ini gara-gara aku udah hampir enam bulan nggak update, jadi rasanya sekali update kudu yang panjang gitu haha semoga kalian terhibur aja ya jangan sampe bosen bacanya karena kepanjangan:”) Eh sumpah pada masih inget kan ini ceritanya gimana wkwk.
Ada beberapa hal baru yang kucoba di sini. Pertama cover, kedua fakechat, ketiga scene di telepon. Sebenernya aku udah bikin cover semacam itu di chapter sebelumnya tapi pas aku pertama upload fenfiknya di Tumblr gapake cover wkwk. Soal fakechat, sejujurnya aku males bikin detail chat puanjang dan kurasa bakal seru kalau pake fakechat aja (pokoknya males nulis). Lalu scene teleponan, tbh aku suka ngerasa itu termasuk scene yang susah ditulis karena aku sulit menyeimbangkan antara dialog sama narasi. Soalnya kan cenderung banyak dialognya, sementara aku nggak suka kalo liat dialog kebanyakan, dan nulis narasi soal orang teleponan itu rada bikin bingung karena aku pribadi jarang teleponan xD
Alah apasih aku ini nyerocos aja. Demi apapun, aku berharap keproduktifan nggak akan berakhir di sini. Mumpung liburan udah di depan mata aku berharap bisa kembali menjadi nsama48 yang dulu, yang tiap minggu update, yang nulisnya nggak males-malesan. Jadi tolong tetep kasih aku support dan semangat karena itu satu-satunya yang masih bikin aku bertahan nulis sampai saat ini:”)
Lastly, thank you.

With love,
nsama48

🌸Bonus🌸


 

Comments