BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 18)
18
“Hei, dengar! Hyeso pelit sekali, masa dia tidak mau membagi
jawaban tugas sastra, sih?”
Lirikan
sekilas dilemparkan pada pemilik suara. Bukannya balasan, yang terdengar
hanyalah keheningan selagi ujung sebuah bolpoin terus bergerak menghasilkan goresan
huruf demi huruf.
“Ya! Kenapa kau tidak menjawab?”
Tangan
yang menggerakkan bolpoin itu berhenti. Ketika menoleh, didapati Jung Hoseok
dalam posisi telentang tengah menatapnya sebal. Sambil berusaha menahan tawa,
perempuan itu berucap, “Kau hanya bilang ‘dengar’, bukan memintaku memberi
jawaban.”
Mendengar
itu Hoseok terduduk dengan ekspresi kusut semakin kentara. Ia yang geram segera
melancarkan serangan seolah hendak mencekik leher Jung Hyora, membuat perempuan
itu meledakkan tawanya. Bolpoin di tangannya terlepas ketika ia berusaha
menghindar dari Hoseok, menimbulkan sedikit goresan tinta di kertas dan
berakhir tergeletak di atas meja. Rambutnya yang diikat ke belakang bergoyang
tak tentu arah, kedua tangannya disilangkan di depan wajah sebagai simbol pembelaan diri.
Barangkali
Hoseok memang sebal karena sedari dulu gadis itu seringkali bersikap mengompori
di situasi yang tidak pas. Tapi setelah tiga menit beradu jotos hingga
menyaingi pertandingan tinju Muhammad Ali, mereka akhirnya berbaring telentang
bersebelahan sambil berusaha meredakan tawa masing-masing, dengan masing-masing
manik menatap langit-langit ruangan yang beraroma pengharum lemon.
“Bagaimana?
Sudah puas mengganggu orang yang seharusnya fokus mengerjakan tugas?” tanya
Hyora tiba-tiba, menoleh ke arah Hoseok yang dadanya masih naik-turun.
Selepas
membuang napas panjang, sang pemuda lantas memasang wajah tanpa dosa. “Puas
apa? Sepertinya kau duluan yang cari masalah tadi.”
“Salahmu
sendiri.” Gadis itu duduk kembali, meregangkan otot lengan dan punggungnya
seraya berkata, “Lagipula, kalau ada tugas itu dikerjakan, bukan cari
contekan.”
Hoseok
mendengus, meski dalam hati mengaku perkataan Hyora memang ada benarnya.
Atensinya mendadak beralih menuju pintu kaca tak jauh dari tempatnya berbaring,
menampakkan pemandangan hijau kebun belakang rumah Hyora, beserta langit biru
dengan gumpalan awan menggantung di atasnya.
Sesaat,
ia kembali menatap si pemilik rumah yang sudah terfokus kembali pada buku
catatan di meja.
“Tidak
capek belajar terus? Cuacanya bagus, loh. Tidak ingin jalan-jalan keluar?”
Jung
Hyora yang baru lima detik kembali memegang bolpoin hanya bisa berandai-andai
kapan gerangan datangnya saat di mana Hoseok bisa serius diajak belajar.
***
“Umm ... jadi ... bulan depan kita sudah ujian akhir semester,
ya?”
Melongo.
Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Namjoon pada Hwarin setelah pertemuan
aneh mereka di sudut ruangan sebuah toko musik. Sejujurnya menjadikan situasi
semakin awkward sehingga jawaban
‘iya’ yang keluar dari mulut Hwarin terdengar begitu ragu dan lebih mirip
kalimat tanya.
Atmosfer
di sekitar mereka kembali dipenuhi keheningan yang hakiki. Kursi kayu yang
dipoles mengilap ini mendadak tidak nyaman diduduki. Namjoon mencoba menyesap espresso-nya berharap bisa sedikit
menenangkan hati namun justru rasa pahitnya semakin terasa menggigit lidah.
Baguskah
keputusannya ini? Menawarkan secangkir cappucino
gratis di gerai Starbucks depan toko musik pada gadis yang baru beberapa detik
bertatap muka dengannya setelah kurun waktu seminggu? Ah, tidak seharusnya ia
berpikir begini. Masih untung gadis itu mau menerima tawarannya, ‘kan?
Sekali
lagi ia mengambil cangkir espresso di
atas meja. Kini rasa pahitnya mulai hilang, sudah beradaptasi dengan lidah. Di
luar sana gerimis mulai mengguyur jalan beraspal dan para pejalan kaki.
Pemuda
itu berdehem, mengeluarkan suara yang lebih terdengar seperti sedang sound check.
“Apa
kabar?”
Hanya
itu? Oh ... Kim Namjoon merasa gagal menjadi seorang gentleman. Berapa menit ia habiskan untuk menenangkan diri namun yang
terucap hanya sebuah frasa basi begitu? Sekarang ia lebih memilih untuk
mengubur diri bersama makanan tupai.
Untungnya,
Hwarin tak ambil pusing lantas mengedikkan bahu. “Baik. Kau sendiri bagaimana?
Menghilang seminggu juga tidak bilang apa-apa.”
Pernyataan
itu lumayan mengintimidasi, namun Namjoon yang merasa tak bersalah segera
memberikan pembelaan diri. “Aku juga baik. Nenekku di Ilsan sakit keras, sedang
kambuh. Tak ada yang menjaganya di sana.”
“Oh....”
Raut wajah Hwarin mulai melunak, sekilas tersirat rasa iba di sana. “Bagaimana
keadaannya sekarang?”
“Sudah
agak mendingan, tapi masih harus banyak istirahat. Sekarang sepupuku di sana
untuk menggantikanku.”
Seraya
mengulum senyum tipis, gadis itu pun berkata, “Salam untuk nenekmu, ya? Semoga
cepat sembuh.”
Namjoon
mengangguk-angguk, melontarkan ucapan terima kasih dengan hati berseri setelah
melihat senyum yang telah dirindukannya selama seminggu ini.
***
“Tolong dua caramel
macchiato atas nama Kim Taehyung.”
“Hei,
aku tidak pesan itu!”
“Sstt....”
Telunjuk pemuda itu mendarat di bibir Hani, mau tak mau membuat sang gadis
bungkam. “Aku yang bayar, aku yang pilih. Mengerti?”
Detik
berikutnya Taehyung sudah kembali menghadap barista yang sibuk memenuhi
pesanan, tangan kirinya masih menggenggam erat tangan Hani. Diliriknya
perempuan itu, mendapati ia memasang wajah datar berusaha untuk tidak cemberut.
Lantas Taehyung tersenyum geli, dalam hati berpikir betapa manisnya gadis yang
satu ini.
Sementara
itu, Hani sekilas menangkap cengiran Kim Taehyung merasa sejak tadi lelaki itu
telah mempermainkannya. “Kenapa senyum-senyum?
Wajah
Taehyung lekas berubah datar. “Siapa? Aku? Tidak, tuh.” Ekspresinya kini lebih
mirip orang yang merasa terdzholimi, yang dalam hati bersikukuh bahwa doa
orang-orang yang terdzholimi pasti akan didengar Tuhan.
“Aku
sedang tidak ingin main-main denganmu, Tae. Lebih baik aku pulang daripada
harus―”
“Silakan,
dua caramel macchiato. Totalnya 2000
won.”
Keduanya
menoleh, sedikit takjub pada barista yang begitu cekatan melayani pelanggan
tetapi Hani lebih merasa kesal karena ucapannya baru saja terpotong. Gadis itu
melipat kedua tangan di depan dada selagi Taehyung merogoh sakunya,
mengeluarkan dua lembaran 1000 won dari dalam dompet. Setelah menerima struk
belanja, ia mengambil dua gelas kertas bertuliskan ‘Kim Taehyung’ kemudian
berbalik, melangkahkan kakinya menjauh dari kasir.
Kim
Hani, yang tadinya berdiri di samping sang pemuda dan sudah mengangkat
tangannya bersiap menerima salah satu gelas tersebut lantas dibuat bungkam. Perempuan
itu enggan menggerakkan kakinya mengikuti langkah Taehyung, justru hanya
berbalik menatap punggung sang pemuda yang semakin menjauh.
“Kim
Taehyung!”
Si
pemilik nama berhenti, sepatu Gucci-nya berdecit di atas lantai porselen gerai
Starbucks. Tanpa membalikkan posisi tubuh, ia menoleh ke belakang. Wajahnya
datar dan mulutnya tak mengucap sepatah kata pun, namun Hani merasa ekspresinya
sedikit mengejek, maka gadis itu pun ikut diam.
Setelah
beberapa detik dipenuhi keheningan dan tatapan judgemental Hani, akhirnya lelaki itu berkata, “Katanya tidak mau caramel macchiato? Ya sudah, buatku
saja.”
Hani
bersumpah, menghadapi lelaki itu merupakan salah satu cobaan terberat dalam
hidupnya. Dengan mantap ia mengayunkan tungkainya, menghampiri sosok pemuda
ber-coat cokelat senada dengan
rambutnya. Jika saja orang itu bukan Kim Taehyung, mungkin Hani sudah mencekik
lehernya. Tanpa bicara apapun, gadis itu berhenti tepat di samping sang pemuda,
menyambar segelas kopi Italia di tangan kanan Taehyung sebelum kemudian
melangkahkan kakinya kembali, kali ini menuju pintu keluar.
“Mau ke
mana?”
“Pulang.”
Tidak
ada jawaban lagi. Hingga ketika Hani mengulurkan salah satu tangannya untuk
mendorong pintu kaca gerai tersebut dan seseorang tiba-tiba menghentikan
gerakan tangannya.
Ia
memandang pergelangan tangannya yang digenggam erat, lalu menoleh ke samping
dan mendapati tatapan tajam Kim Taehyung yang bertemu dengan kedua maniknya.
Sang pemuda berucap, “Di luar hujan.”
Apa
seorang karyawan tempat itu memutar soundtrack
drama viral yang berjudul Beautiful
Life? Hani sangat yakin baru beberapa detik lalu ia mendengar musik jazz 80-an memenuhi penjuru ruangan
cafe. Agaknya inilah yang disebut timing
pas, tetapi gadis itu terlalu sibuk meredakan deru jantungnya sambil terus
menatap Taehyung. Demi Tuhan, tidak bisakah lelaki itu berhenti
menjungkirbalikkan perasaan Hani hampir tiap waktu sekaligus berhenti terlihat
begitu mempeso―
“Permisi,
tolong jangan berdiri di depan pintu.”
Reflek,
dua sosok bermarga Kim tersebut terlonjak, menarik masing-masing tangan dan
segera berpindah posisi menjauh dari tempat orang-orang keluar-masuk tempat
tersebut. Hingga saat di mana orang asing yang mengacaukan momen langka mereka
mendorong pintu dan menghilang di tikungan trotoar, tak ada di antara keduanya
yang berani bergerak dan melirik satu sama lain.
Hani
mungkin sudah lupa cara bernapas dan Taehyung sudah akan bertekad hendak
memakai kantung kertas untuk menutup wajahnya seumur hidup jika sesuatu tidak
mengalihkan fokus salah satu di antara mereka. Dengan nada terkejut sekaligus
heran, Kim Hani berbisik, “Bukannya itu Namjoon dan Hwarin?”
***
“Siapa yang bilang cerah tadi?”
Tanpa
sedikitpun rasa penyesalan, sepintas ‘hehehe’ terucap dari mulut Hoseok. Di
sebelahnya, Hyora hanya bisa menghela napas pasrah. Setidaknya terperangkap
hujan di teras sebuah toko kelontong itu lebih baik daripada diguyur hujan
ketika sedang berjalan di trotoar dengan santainya.
“Yang
penting kita masih bisa berteduh.”
Oh,
Hoseok seolah bisa membaca isi pikiran gadis itu. Nada bicaranya yang ceria
seperti hendak mengatakan, “Hujan itu berkah, dinikmati saja!” Maka Hyora pun
mengembangkan senyumnya. “Kau benar, kita harus mensyukuri segala macam
keadaan.”
Ketika
kemudian terdengar suara tepukan tangan Hoseok, sang gadis tak bisa menahan
gelak tawanya. Ia menoleh, mendapati Hoseok memasang wajah takjub persis
seperti saat-saat di mana ia biasanya menonton acara motivasi berembel-embel ‘Golden
Ways’ di televisi tiap pukul setengah sembilan malam.
“Aku
senang sudah bisa menularkan energi positif padamu.” Lelaki itu
mengangguk-angguk puas.
Masih
dengan senyuman lebar terlukis di wajah, Hyora memukul pelan bahu sang pemuda.
“Terima kasih.”
“Sama-sama.
Tapi aku minta maaf karena malah mengajakmu ke sini saat kita masih punya
banyak tugas yang belum diselesaikan.”
Rasa-rasanya
Hyora seperti salah dengar. Apa barusan Hoseok meminta maaf padanya?
Oke―sebenernya ia tidak ambil pusing. Berakhir terjebak hujan begini bukan
kesalahan Hoseok, tidak ada alasan mengapa lelaki itu harus mengatakan ‘maaf’. Hyora
menghargai sikap lelaki itu. Yah, Hoseok memang seperti ini, sejak dulu, sejak
masa-masa mereka berdua menangis setelah saling berebut Tamagotchi sampai sekarang
di mana mereka bukan lagi anak kecil yang tidak perlu mengkhawatirkan masa
depan masing-masing.
“Oke,
kumaafkan. Jangan diulangi, ya? Kita harus belajar dengan serius jika ingin
mewujudkan cita-cita.”
“Kalau
Hyora, sih, aku yakin cita-citanya pasti bisa terwujud.”
Dengan
sebelah alis dinaikkan, yang dibicarakan lantas menjawab, “Umm ... terima
kasih? Kuharap perkataanmu benar. Tapi, bicara saja mudah, ‘kan?”
“Yah...,”
Hoseok menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tangan kirinya ia letakkan di
pinggang, “kau benar. Namanya usaha itu harus nyata. Kalau tidak salah, kau
ingin jadi polisi, ya?”
Hyora
mengangguk. “Ya. Tapi itu dulu, sekarang aku lebih ingin kuliah.”
“Ah,
benar. Kau ‘kan ingin masuk jurusan Bahasa Inggris,” ucap Hoseok, diikuti
ekspresi terkejut sang gadis yang merasa bahwa ia belum mengatakan fakta
tersebut selain pada guru BK. Belum sempat ia menanyakan dari mana Hoseok bisa
mengatahuinya, si lelaki melanjutkan perkataan, “Tapi nilaimu bagus, hampir
semuanya. Pasti bisa, kok, aku yakin.”
Keheranan
gadis itu menguap, tergantikan oleh masalah nilai, belajar, dan masa depan yang
belakangan ini memenuhi otaknya. Mengakhiri jeda pendek yang ia isi dengan
wajah serius, Hyora berucap, “Sudah kubilang, bicara saja mudah. Sebenarnya
banyak hal yang perlu dikhawatirkan juga. Di kelas ada banyak murid lain yang
nilainya lebih bagus dariku, lebih rajin, lebih pintar, dan lebih memiliki
potensi. Belum lagi di sekolah lain. Bisa kau bayangkan bagaimana jadinya saat
ujian masuk universitas nanti? Sainganmu bukan hanya dari satu sekolah, tapi
seluruh negara. Mau jadi apa aku ini yang kadang-kadang belajar saja malas?”
Termenung,
Hoseok hampir lupa untuk berkedip. Matanya menatap gadis di sampingnya, tak
bisa beralih sementara si gadis membiarkan dirinya dibuai oleh derasnya tetesan
air yang jatuh ke tanah. Suaranya terngiang di rungu Hoseok, pidato pendeknya
menyatu dengan suara hujan, menari-nari di udara yang lembab.
Apa
Hoseok baru saja mendengar curahan hati seorang Jung Hyora? Jika ya, maka
terjawab sudah pertanyaan demi pertanyaan yang sering tercetus dalam benaknya
mengenai perempuan itu.
Apa Hyora murid yang rajin? Ya. Apa Hyora tidak lelah menjadi murid rajin?
Tentu saja, tapi ia tetap mempertahankan title
itu demi cita-citanya. Kenapa Hyora
senang sekali belajar? Karena ia memimpikan masa depan yang cerah, dan tak
ada hal lain yang bisa dilakukannya sebagai murid selain belajar dengan tekun.
Apa Hyora orang yang menarik?
Jawaban
Hoseok: Ya.
Segalanya
dalam diri gadis itu sangat menarik. Dan Jung Hoseok selalu menyukai hal-hal
yang menarik.
Dengan
senyum seribu watt-nya, Hoseok membuat gadis itu menoleh ke arahnya. Ia
menangkup wajah Hyora dengan kedua tangannya, dibalas dengan tatapan bingung
sang gadis. “Senyum, dong! Kau pasti bisa! Jung Hyora harus tetap semangat!”
Jika
ada hal selain penyakit yang bisa menular, maka Hyora berani menyatakan bahwa
senyuman itu menular, terlebih milik seorang Jung Hoseok. Kalimat-kalimat
pendek yang meluncur dari bibir lelaki itu membuat jantung Hyora serasa akan meledak,
perasaannya meletup-letup barangkali mengalahkan kecepatan jatuhnya hujan.
Dengan tingkat semangat paling tinggi yang pernah ia rasakan, Hyora menjawab,
“Iya, Hoseok! Terima kasih!”
***
“Jika tidak ada hal lain lagi yang mau kau bicarakan, aku akan
pergi du―”
"―Tunggu!”
Hwarin
sudah beranjak dari tempat duduknya, sudah hendak meraih tas selempangnya,
namun Namjoon memotong ucapannya dan kini menggenggam pergelangan tangannya. Ia
tak bisa berkata-kata, pikirannya kosong tetapi tatapan Namjoon cukup
meyakinkan untuk membuatnya kembali menghempaskan tubuh di tempat duduk.
“Maaf.
Sudah seminggu aku tidak bertemu siapapun selain nenekku, keluargaku, petugas
stasiun kereta api, dan tukang pos―ah tidak, sebenarnya aku bertemu Yoongi tadi
pagi. Tapi rasanya aneh saat tiba-tiba berada di sini dan duduk di hadapanmu.”
Namjoon mengusap punggung tangan kirinya selagi mulai berbicara, atensinya tertuju
pada hitamnya espresso di dalam
cangkir dan sesekali berpindah ke mana pun selain Hwarin.
“Aku mengerti dengan
cukup jelas kalau kau marah padaku bahkan sebelum tetek-bengek pentas seni itu
dimulai, bahkan mungkin sampai sekarang, tapi aku malah menghilang selama
seminggu tanpa kabar dan aku benar-benar minta maaf. Dan saat kita sudah
bertatap muka begini aku malah kehilangan nyali dan tidak tahu harus mengatakan
apa. Maaf, sungguh, rasanya aku sudah seperti―”
“Kau
terlalu banyak minta maaf.”
Namjoon
mendongak, atensinya bersirobok dengan milik Hwarin. Gadis itu tak melanjutkan
perkataanya begitupun Namjoon yang penjelasan panjangnya terpotong justru malah
merespon dengan ekspresi terkejut yang terlihat tidak intelektual sama sekali.
Jeda panjang memenuhi udara, entah apa yang dipikirkan Hwarin yang jelas
Namjoon merasa tenggorokannya tercekat. Sang pemuda tak mungkin berani bicara
lagi, ucapan gadis itu kini terngiang di telinganya, terdengar ketus dan
dipenuhi rasa kesal.
Ah,
kenapa Namjoon harus merasa begitu paranoid?
Bodoh.
Bukan―bahkan terlalu bodoh untuk disebut bodoh. Tidak ada sebutan yang pantas
disandingkan dengan namanya sekarang. Ia memang lelaki tidak berguna. Selama
ini menganggap remeh dan mengabaikan apa yang diucapkan hatinya sendiri,
akhirnya menanggung penyesalan teramat besar.
Kenapa?
Kenapa ia tak bisa yakin pada dirinya sendiri? Kenapa sulit rasanya untuk
percaya bahwa ia menyukai gadis yang kini berada di hadapannya?
“Kau
harus berhenti memasang ekspresi seperti itu, Joon.”
Oh,
benar. Ekspresi ini malah membuat Namjoon terlihat semakin bodoh. Gadis itu
memang selalu mengatakan hal yang benar, berkebalikan dengan Namjoon yang
embel-embel saja peringkat satu pararel tapi pada dasarnya cuma seorang
pecundang.
“Dan
seharusnya akulah yang minta maaf, bukan kau.”
Dasar,
Namjoon memang seorang―apa?
“Dengar,
Joon, selama ini kau tidak melakukan kesalahan apapun. Tak ada gunanya meminta
maaf. Itu malah membuatku merasa semakin bersalah. Semua kerumitan dan
kesalahpahaman ini berawal dariku. Jika saja aku tidak memaksakan keegoisanku
untuk melihat pertunjukan hip hop di
pentas seni pasti kau tidak perlu repot-repot mewujudkannya. Well, walaupun kau memang terlalu
berbakat sampai-sampai pertunjukan kelas kita sukses besar.”
Diliriknya
lelaki itu, yang seharusnya tengah diajak bicara tapi kelihatannya terlalu
terkejut sampai kedua bola matanya terbuka begitu lebar (sungguh, Namjoon
berusaha keras untuk terus mendengarkan tanpa membiarkan mulutnya menganga). “Jadi
... aku benar-benar minta maaf. Kau telah melakukan yang terbaik, penampilanmu
benar-benar keren sampai aku kehilangan kata-kata. Kuakui, bakatmu dalam musik
bukan main-main―ah, yang lain juga! Pokoknya, kalian jjang!”
Jadi
ini permintaan maaf atau penjelasan atau pujian atas penampilan Namjoon dan
keenam sohibnya di panggung beberapa
waktu lalu? Yang manapun itu, Kim Namjoon masih merasa tenggorokannya tercekat
tapi dalam artian dan alasan berbeda. Otaknya masih memproses segala hal yang
masuk secara tiba-tiba ketika Hwarin mendadak berucap kembali.
“Ah! Aku
bahkan menuliskan nama kalian bertujuh dalam form pendaftaran audisi Big Hit!”
“...apa?”
“APA!?”
Namjoon
melotot, kemudian ikut terlonjak bersama Hwarin karena yang mengucapkan ‘apa’
untuk kedua kalinya namun dengan volume lebih keras diikuti gebrakan meja
bukanlah dirinya. Keduanya menatap seseorang yang kini berdiri dengan kacamata
hitam bertengger di hidung, di sebelahnya seorang lagi tengah menunduk dengan hoodie dan masker terpasang rapi
menutupi wajah dan rambutnya. Dua sosok orang asing itu duduk tepat di belakang
Namjoon dan Hwarin, sedari tadi ikut mendengarkan perdebatan tidak jelas mereka
namun terima kasih pada si kacamata hitam berkatnya identitas mereka pun
terbongkar.
“...siapa
kau?” tanya Hwarin akhirnya, masih dengan suara mengecil sisa-sisa
keterkejutan.
“Kau
yang siapa!” jawab lelaki berkacamata. Sekali lagi Hwarin terlonjak.
“Berani-beraninya menulis nama orang di formulir pendaftaran agensi! Kau kira
kau siapa? Ibuku? Hah? Hah?”
“A-aku―”
“Kau
kira aku mau jadi penyanyi? Aku berterima kasih kalau kau bilang suaraku bagus,
tapi aku ini ingin bekerja di NASA!”
“Loh?”
Sosok ber-hoodie yang ternyata adalah
wanita diketahui dari suaranya itu mendongak, menatap kawannya heran. “Bukannya
kau bilang ingin bekerja di industri musik kema―”
“Diam!
Sekarang aku sedang bicara dengan perempuan kurang ajar ini,” potong si
kacamata seraya menodongkan telunjuknya tepat ke arah Hwarin.
“I-itu―”
“Jangan
bicara padaku! Kau lebih baik meminta maaf lagi pada Namjoon, dan aku, dan
Yoongi, dan Jimin, dan Jungkook, dan Hoseok, dan Seokjin juga!”
Tanpa
benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi, siapa sebenarnya lelaki
misterius berkacamata itu, atau kenapa ia mengenal Namjoon dan yang lainnya,
Hwarin kembali menatap Namjoon yang sekarang tak bisa menahan diri untuk
memasang wajah terkejut dengan mulut menganga. Pikirannya kini terlalu kacau,
dengan panik ia berkata, “Maafkan aku!”
Namjoon
masih dipenuhi rasa terkejut, berusaha berkedip karena matanya mulai terasa
perih. “...apa benar kau mendaftarkan kami ke audisi Big Hit?”
Tadinya
Hwarin sudah menundukkan kepalanya sembilan puluh derajat, kini kembali mendongak.
“Aku cuma bercanda!”
“Eh?”
“Sumpah,
aku bercanda!”
Maka
huru-hara sore itu pun usai bersamaan dengan tetesan terakhir air yang turun
dari langit, diikuti cahaya matahari yang menyapa melalui celah-celah awan
kelabu.
***
Malam ini cerah, meski angin musim gugur masih berembus kuat
mengharuskan tiap orang yang pergi keluar rumah untuk memakai jaket dan syal
tebal. Agaknya sudah tidak ada sisa-sisa hujan deras sepanjang siang tadi
seolah langit sudah memuntahkan habis seluruhnya. Park Choonhee yang biasanya
menerima dengan senang hati ajakan kedua orang tua untuk pergi ke restoran
keluarga bersama-sama kali ini enggan menjawab ‘Ya’ karena merasa terlalu malas
berkompromi dengan angin kencang di luar sana.
Maka,
dengan tampang bosan ia menyelimuti diri di atas sofa ruang tengah, memainkan
ponsel seraya mengayunkan kakinya yang dibalut kaos kaki krem. Dirinya tengah
menyenandungkan lagu baru Jessica Jung ketika tiba-tiba terdengar bel rumah
berbunyi. Rasa-rasanya orang tuanya baru saja berangkat jadi tidak mungkin
mereka kembali secepat ini, lagipula untuk apa pemilik rumah sendiri menyalakan
bel?
Dengan
rasa heran memenuhi benak, Choonhee bangkit dan berjalan cepat menuju pintu
depan ketika bunyi bel terdengar untuk kedua kalinya. Gadis itu mengingat-ingat
apakah ia baru saja memesan sesuatu lewat situs internet yang kira-kira bisa
sampai sekarang namun malah berakhir dibuat membulatkan matanya kaget ketika
melihat seseorang yang berdiri di depan pintu rumahnya.
“...hai?”
Di
sanalah Jeon Jungkook, tersenyum menunjukkan gigi kelincinya yang imut tanpa
dosa menatap Choonhee yang seolah mati kutu di ambang pintu.
“Oh ...
hai, juga?”
Inikah
yang disebut mimpi di tengah musim? Melihat Jungkook dengan sweater hitam menutupi kemeja putih yang kerahnya menampakkan diri
dengan rapi di lehernya. Tak seperti hari-hari biasa, lelaki itu menata
rambutnya dengan membelah sedikit poni kecoklatan di sebelah kanan. Choonhee
membuka lebar-lebar pintu porselen hitam rumahnya dan ia bisa mencium jelas
aroma parfum sang pemuda. Oh―apakah malam ini Tuhan mengirim seorang malaikat
untuknya?
Sadar
dirinya tengah menjadi destinasi pandangan Park Choonhee, rasa malu mulai
menyerang Jungkook, ia berdehem membuat sang gadis lantas mengerjap bingung. “A
... ada apa, Kook? Kenapa berkunjung malam-malam begini?” ujar Choonhee,
akhirnya bisa kembali bernapas normal.
Jungkook
mengangkat tangan kirinya yang menggenggam erat sebuah kantung plastik merah,
saat itulah Choonhee baru menyadari pada kedua tangan lelaki itu terdapat dua
barang bawaan, yang satu terlihat sedikit berat. “Aku ingin mengajakmu nonton
film.”
“...
sekarang? Di luar? Atau benda itu isinya DVD?” Pandangan Choonhee beralih ke
kantung plastik Jungkook dan lelaki itu mengangguk.
“Apa
orang tuamu di rumah?”
Sang
gadis mengerjap, mencoba menghubungkan antara menonton film dengan pertanyaan
Jungkook barusan. Mulutnya sedikit terbuka tetapi butuh beberapa detik untuknya
mengucapkan, “Tidak. Mereka baru saja keluar.”
Jungkook
membeku di tempat, nampaknya tidak memikirkan kemungkinan skenario semacam ini
ketika merencakan kunjungan ke rumah keluarga Park. Dengan pikiran kalut ia
berusaha tidak terlihat bodoh jika hanya berdiri mematung di depan pintu rumah
kekasihnya sendiri, lelaki itu mengulurkan tangan kanannya. “Ibuku menitipkan
buah-buahan,” ujarnya polos menutup-nutupi fakta bahwa dirinya juga ikut
membelikan beberapa bungkus roti di dalam sana.
“Terima
kasih.” Nada bicara Choonhee terdengar aneh, ia merasa hal ini jauh lebih awkward daripada menerima sepaket kue
beras dari tetangga yang tidak dikenal ketika ia baru pindah.
“Jadi....”
Seraya mengusap tengkuk, Jungkook memandang ujung sepatunya lalu sepintas
melirik gadis di hadapannya. “Kurasa sebaiknya aku pulang.”
“Ah ...
begitu?”
“...
ya.”
Terdengar
‘hehehe’ yang manis dari mulut lelaki itu, sebuah senyum simpul terpatri di
bibir. Diliriknya sang gadis untuk terakhir kali. “Sampai jumpa.”
Kemudian
tahu-tahu saja kedua tungkai Jungkook sudah berayun beberapa kali, membawanya
menjauh dari Park Choonhee yang masih tidak berkutik di tempat. Tiga kali gadis
itu bolak-balik menatap antara kantung buah-buahan yang terasa berat di
tangannya dan punggung Jeon Jungkook yang semakin menjauh. Pada kali keempat,
ia baru bisa menguasai dirinya.
“Jungkookie!”
Si
pemilik nama hampir tak mempercayai pendengarannya sendiri, pasalnya ia tak
pernah mendapati embel-embel ‘-ie’ sebagai pemanis nama panggilannya terlebih
jika itu terucap dari bibir Park Choonhee. Ketika ia menoleh, gadis itu
memberinya pandangan ragu-ragu namun perkataannya selanjutnya sudah lebih dari
cukup untuk membuat hati pemuda Jeon itu dipenuhi bunga-bunga bermekaran.
“Aku
ingin nonton. Filmnya. Kimi no Na wa, bukan?”
***
“Bisakah kau tetap duduk di sini...?”
Terlalu
banyak. Suara Yoongi sudah terlalu banyak terngiang di rungu Rahee, memenuhi
kepala seolah tidak ada hal lain yang bisa dipikirkan selain kalimat berisi
permintaan tersebut. Demi Tuhan―apa yang salah dengan meminta Rahee tidak
kembali ke tempat duduknya yang berseberangan dengan lelaki itu? Susunan
kalimatnya, kah? Suara Min Yoongi yang seolah tengah berbisik tepat di
telinganya? Atau pergelangan tangannya yang digenggam erat oleh sang pemuda?
Serius,
sekarang ini pukul sembilan malam, sudah berapa jam yang terlewat? Kenapa Rahee
tidak bisa menyingkirkan ingatannya barang sedetik saja? Terlebih ekspresi
Yoongi kala itu, agaknya terlalu datar untuk dipahami. Kilatan matanya begitu
aneh sekaligus Rahee terlalu sibuk meredakan keterkejutannya hingga tak bisa
menyelami isi sebenarnya dalam hati dan benak sang pemuda.
Barangkali
hanya Rahee seorang yang terus memikirkan detik-detik krusial itu―bukan, bahkan
hanya ia seorang yang menganggapnya ‘krusial’. Kali ini Rahee akan menyetujui
salah satu hujatan kakak laki-lakinya, bahwa ia adalah perempuan yang overthinking. Tidakkah ini semua sia-sia? Mengapa ia
sebegitu memikirkan hal sepele? Toh, orang yang dipikirkan juga tidak mungkin
memikirkannya.
Tunggu―jadi
selama ini dia memikirkan Yoongi?
Rahee
tersentak, notifikasi pesan masuk berbunyi nyaring dari ponselnya hingga ikut
membuat meja bergetar. ‘Siapa, sih, yang
mengirim pesan malam Minggu begini? Jomblo sekali dia,’ batin perempuan itu dalam hati. Ketika maniknya
menangkap nama ‘Jimin’ yang tertera jelas di layar, kawannya itu resmi masuk ke
dalam daftar ‘Lelaki Kesepian’ milik Song Rahee.
***
Park Jimin dengan sejuta hal yang memenuhi kepalanya, kini
berpikir hal-hal itu sudah hampir menyamai sejuta pesonanya―yang bersikeras
disanggah oleh kawan-kawannya, terutama Jeon Jungkook. Benaknya berkecamuk
berbanding terbalik dengan suasana kamarnya yang hening total. Samar-samar yang
terdengar hanya denting jarum jam dan bunyi air
conditioner yang masih dinyalakan dengan suhu rendah meski si pemilik kamar
sadar bahwa ia merasa cukup kedinginan, alhasil lelaki berambut hitam itu
memutuskan untuk mengenakan hoodie berwarna
senada dengan surainya.
Ia
duduk terdiam di pinggir tempat tidur, jemarinya bertautan dan atensinya
tertuju pada satu titik di pola abstrak karpet beludru, kini merenungkan
nasibnya yang belakangan menyerupai gelombang Laut Mediterania bukannya semulus
kulit ibunya semasa muda dulu. Barangkali berawal dari aksi tipu-tipu yang
dengan bodohnya ia percaya, Jimin berhasil membuat geram teman-temannya
sekaligus patah hati pada cinta pertamanya di SMA yang bahkan belum mekar
sepenuhnya.
Sepatutnya
ia bersyukur karena gelombang-gelombang nasib buruk tersebut sudah mulai
mereda, layaknya air laut yang tiba-tiba surut. Tapi―entah karena hidup memang
seperti ini atau Jimin saja yang terlahir sial―ombak baru menyerang dan
menghancurkan angan-angannya soal air surut, pada akhirnya kembali pasang.
Tiba-tiba
terdengar intro lagu Pillowtalk
lantas membuyarkan renungan Jimin dan membuatnya segera menyambar ponsel yang
tergeletak di atas nakas. Ia yang biasa menggunakan ringtone default iseng-iseng menggantinya dengan lagu yang sedang
hits namun sekarang sedikit disesali karena nada R&B tidak cocok diterima
rungunya sebagai notifikasi panggilan masuk. Seraya menggeser layar, ia
mengingatkan diri sendiri untuk segera mengembalikan ringtone default pada ponselnya nanti.
“Yoboseo?”
“Yoboseo, Jimin?”
“Ya.
Ada apa, Taehyung-ah?”
Jimin
tak mendengar balasan, sekalipun ia mengenali suara Taehyung tanpa sempat
membaca nama lelaki itu terpampang di layar.
“Kau
tidak apa-apa, ‘kan?”
Kini
giliran Jimin yang terdiam, keheranan sekaligus tidak percaya Taehyung
menelepon malam-malam begini hanya untuk menanyakan hal semacam itu di saat
biasanya ia lebih memilih untuk beradu mulut dengan Hani di groupchat.
“Gwaenchana,
tidak usah khawatirkan aku. Apa aku belum memberitahumu? Umm ... masalah yang
terjadi beberapa hari ini cuma ... kesalahpahaman.”
“Ah,
sudah, kok. Aku cuma ingin memastikan saja. Kuharap kau benar-benar tidak
apa-apa.”
Lalu
Jimin bersumpah ia tak pernah merasa lebih tersentuh daripada saat ini.
“Ya.
Aku baik-baik saja―sangat baik malah!”
Dari
seberang sana terdengar suara manis Kim Taehyung, diliputi nada ceria. “Bagus!
Jangan sungkan untuk bercerita padaku jika ada apa-apa. Kalau begitu sudah
dulu, ya!”
“Terima
kasih Taehyung-ah.”
“Oke!”
Sambungan
terputus, namun kini senyuman Park Jimin terpatri begitu lebar, tidak menyangka
perbincangan singkat barusan bisa menaikkan kembali mood-nya, menyadarkan bahwa ia punya seorang teman yang begitu
peduli padanya hingga mau tak mau Jimin merasa begitu bersyukur.
Belum
semenit pemuda tersebut memasang wajah sumringah, intro Pillowtalk kembali terdengar mengagetkan sekaligus
mengingatkan Jimin untuk segera mengganti ringtone.
“Yoboseo, Taehyung-ah?”
“Aku
bukan Taehyung.”
“Oh ...
siapa?”
“Min
Yoongi, kelas 1-C nomor absen 13.”
Kedua
manik Jimin membulat sempurna, bentuk keterkejutan yang hakiki meski dalam hati
ia sedikit merasa bersalah karena tak bisa mengenali suara Yoongi yang entah
kenapa terdengar lebih serak. Apa pasal Yoongi meneleponnya juga? Semalam ini?
Apa kawannya yang paling dingin itu diam-diam juga hendak memberinya semangat
hidup?
“Tumben
kau meneleponku.”
“Tidak
boleh, ya?”
“Aniya. Tidak apa-apa, kok.”
“Oke,
maaf kalau aku mengganggumu malam-malam. Cuma ingin bertanya. Kau sudah baikan dengan
Rahee?”
“Sudah.
Bagaimana kau bisa tahu?”
“Rahee
yang memberitahuku, dia meminta maaf karena terlambat datang, katanya dia
bertemu denganmu sebelum berangkat.”
Jimin
mengerutkan dahinya bingung. “Apa? Tadi pagi? Kau bersama Rahee?”
Hening
sesaat sebelum kemudian terdengar helaan napas Yoongi. “Ya. Tadi kami ke
perpustakaan―kau tahu, untuk mengerjakan tugas sastra.”
“Serius?
Kau? Dan Rahee? Berdua saja?”
“Ya.”
“Demi
Tuhan apa kau se―”
“Yang
lebih penting, apa kau sempat mengirim pesan padanya?”
“Umm
... ya.”
“...
dibalas?”
“Ya,
memangnya kenapa?”
“...
dia tidak membalas pesanku.”
“Apa?
Kenapa kau khawatir pada pesanmu yang tidak dibalas Rahee?”
Bukannya
jawaban, yang diterima Jimin justru bunyi ‘Tut. Tut. Tut,’ berturut-turut
selama sekian detik hingga akhirnya sang pemuda menjauhkan ponselnya dari
telinga, menatap gamang pada layar hitam legam. Seolah rasanya perbincangan
barusan bukan kenyataan melainkan efek terlalu gembira atas kata-kata manis
yang ia dengar sebelumnya.
Demi
apapun, barangkali Jimin hanya tak bisa mempercayai apa yang dikatakan Yoongi
dari seberang sana. Yang ia tahu, detik berikutnya ia sudah akan menelepon Kim
Taehyung.
***
Samar-samar, Choonhee mendengar suara isakan. Namun ketika ia sadar
bahwa suara itu berasal dari dirinya sendiri, air mata yang sedari tadi
mengalir menuruni pipinya justru menambah frekuensi sekaligus kecepatan.
Sejujurnya gadis itu kesal, kenapa ia harus terlahir sebagai seorang perempuan
dengan perasaan sensitif? Hanya butuh sedikit bumbu tragedi dalam sebuah film
dan Park Choonhee sudah gagal membendung air mata yang mengalir di wajahnya.
Tangannya
kemudian terulur, berniat menarik selembar tissue
dari kotaknya di atas meja namun malah menyentuh benda asing yang permukaannya
terasa seperti kulitnya sendiri.
Itu
tangan Jungkook.
Secepat
kilat, Choonhee segera mengembalikan tangannya ke posisi semula. Sedetik pun ia
tak berani menoleh ke samping, ke arah lelaki yang duduk di sebelahnya dengan
setitik air mata di sudut netranya pula.
Betapa
memalukan. Menangis di depan kekasihmu sendiri sekaligus tanpa sengaja
menyentuh tangannya.
Choonhee
tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, berusaha keras mengabaikan sekitar
demi fokus meredakan rasa malunya namun ketika tangan Jungkook terulur dengan
sebuah tissue terapit di antara kedua
jarinya, gadis itu tak bisa menolak.
Keduanya
tak bicara, sibuk mengelap air mata (dan ingus, barangkali) masing-masing.
Choonhee lebih suka begitu, tidak usah mengungkit-ungkit kejadian tidak sengaja
barusan lagipula film yang mereka tonton masih tiga perempat jalan. Tapi, di
samping itu sang gadis mulai memikirkan fakta bahwa seorang Jeon Jungkook juga
menganggap film yang satu ini cukup menyedihkan untuk membuatnya menangis. Jadi
apa ia sebenarnya tidak sesensitif itu?
Diliriknya
sang pemuda, kini tengah menutup sebagian mulutnya. Kedua netra lelaki itu
jelas-jelas berwarna merah, bahkan di sudutnya masih ada jejak air mata. Selang
beberapa detik Choonhee bisa mendengar sebuah suara, seperti bunyi menghirup
udara namun hidungmu dipenuhi air (lebih tepatnya ingus).
Lantas,
gadis itu tak bisa menahan diri untuk tertawa. Meski suaranya kecil, kecil
sekali, hingga bahunya hampir tak ikut naik turun.
Akan
tetapi Jeon Jungkook memiliki pendengaran tajam, ia menoleh ke arah sang gadis
dan ketika pandangan mereka bertemu gelak tawa Choonhee meledak karena tak
kuasa melihat wajah menyedihkan pemuda tersebut.
Jungkook
hanya nyengir, dalam hati merasa malu tapi mendengar tawa Choonhee mau tak mau
membuatnya tak bisa menyembunyikan senyum. “Wae?
Kenapa kau tertawa?”
Bukannya
menjawab, gadis itu malah tertawa lebih keras. Kini butiran air kembali
memenuhi sudut matanya bukan sebab alasan yang sama dengan sebelumnya melainkan
karena nada pertanyaan Jungkook yang terdengar judgemental tetapi masih diselingi kekehan sekilas.
“Astaga
... hahaha ... maaf ya, aku cuma―”
Keduanya
terdiam. Bahkan gelak manis gadis tersebut ikut teredam tiba-tiba.
Masing-masing memasang ekspresi terkejut yang terkesan sedikit berlebihan.
Ucapan terakhir gadis itu bukan terinterupsi tanpa sengaja, pun bukan oleh si
pemuda Jeon, melainkan berkat dirinya sendiri yang mendadak mengalami fenomena
anatomi manusia―cegukan.
Hingga
kali ketiga suara asing itu terdengar, barulah jiwa mereka kembali merasuki
relung. Jungkook sedikit tak bisa menahan kekehannya namun masih sempat menutup
mulut dengan kepalan tangan seraya berdehem. Ia berkata, “Apa kau belum makan?”
terdengar bersimpati namun jelas-jelas di wajahnya masih tersirat ekspresi
geli.
“Belum.”
“Pantas
saja.” Merasa prihatin dengan tokoh Mitsuha yang berakhir diabaikan di layar
televisi, Jungkook mengambil remote
di sebelah kotak tissue lantas
memencet tombol pause. “Ingin memesan
pizza?”
Choonhee
dengan cepat menggeleng. “Orang tuaku pasti pulang membawa makanan, lagipula
aku takut dimarahi kalau ketahuan makan junk
food begitu.” Setelah melempar senyum pada Jungkook yang terbengong, gadis
itu beranjak. “Aku akan ambil air putih sa―WOA!”
Panik.
Sekali lagi ruangan yang sekarang hening itu dilanda kepanikan. Park Choonhee
untuk kesekian kalinya merasa kapok tidak melihat ke depan ketika berjalan
karena sekali lagi kakinya terantuk karpet ruang duduk. Sementara Jeon Jungkook
yang tadinya bengong spontan memasang ekspresi terkejutnya yang khas dengan
kedua mata melotot lebar.
“Ya
Tuhan, apa kau sebegitu laparnya?” tanya sang pemuda selagi ia berusaha memapah
gadis itu kembali duduk di sofa. Yang diajak bicara hanya meringis, sedikitpun
tak merasa sakit karena jauh lebih mementingkan rasa malunya.
“Apa
kakimu sakit? Bagian mana? Aduh ... mau aku ambilkan apa? Kotak P3K? Di mana?
Eh―tapi aku tidak mengerti pemberian pertolongan pertama yang baik itu
bagaimana....”
Sejauh
ini, pemuda tersebut terus bicara sendiri. Choonhee tak mengatakan apapun. Akan
tetapi saat rungunya yakin tak salah mendengar kalimat terakhir Jungkook
mengenai pertolongan pertama, sang gadis akhirnya membuka mulut.
“Bukannya
kau anggota PMR?”
“Ha?”
“Kau
anggota PMR, kan, Kook?”
“PMR?
“Iya.”
“Bukan,
tuh.”
Park
Choonhee bergeming. “Kau dulu pernah bilang begitu.”
“...
kapan?”
“Saat
kita summer camp, kalau tidak salah
setelah aku pingsan.”
Entah
untuk keberapa kalinya malam itu, wajah Jungkook memancarkan raut keterkejutan
namun kini diliputi rasa bingung seolah dia telah melupakan hal terpenting yang
pernah dilakukannya di masa lalu. Lima detik berlalu dan akhirnya laki-laki itu
berseru, “Ahhhh!” seolah telah mencapai bagian dasar dari ingatan yang berusaha
ia gali.
“Itu―anggota
PMR―aku bohong.”
“Apa?”
“Iya,
maaf, aku berbohong padamu. Aku bukan anggota PMR.”
Lelaki
itu mengedikkan bahu tanpa dosa ataupun rasa bersalah sedikitpun, dan gadis di
sebelahnya lantas menatapnya heran. “Bohong? Kenapa?”
“Kau
tidak tahu...?”
“Tidak.
Bagaimana aku bisa tahu?”
“Well, kau saat itu pingsan dan aku
benar-benar panik jadi aku langsung pergi ke ruang kesehatan. Entah berapa lama
aku menunggumu bangun, aku tak ingat, yang jelas saat kau bangun aku terlalu
senang sampai tidak bisa memikirkan hal lain.” Jungkook tersenyum, deretan
giginya terlihat begitu manis. “Lalu kau tahu-tahu bertanya apa aku anggota
PMR, karena aku tidak mau ketahuan sudah menemanimu di sana begitu lama, jadi
aku bilang saja ‘iya’.”
Oh,
Jungkook benar-benar polos―sekaligus manis di saat yang sama, dan Choonhee
merasa ia bisa terserang diabetes sekarang juga.
***
Jari-jemari Hyeso terus bergerak, dua detik kemudian tangannya sudah
menggenggam seraup popcorn pedas.
Tanpa mengalihkan atensi dari layar laptop,
butiran-butiran brondong jagung itu dimasukkan ke mulut baik satu-persatu
maupun sekaligus. Peduli setan dengan beberapa butir yang jatuh mengotori
tempat tidur, scene Jung dan Seol di
drama Cheese in The Trap terlalu romantis untuk dilewatkan barang sedetik saja.
Pun
ketika ponsel yang ia letakkan tak jauh dari tempatnya berbaring telungkup
mulai berdering, memperdengarkan suara indah Kim Taeyeon, pandangan sang gadis
tetap tak beranjak. Satu tangannya yang bersih dan bebas dari sisa-sisa bumbu popcorn segera meraba-raba sekitar,
mencari keberadaan benda persegi yang tak henti-hentinya menyebabkan tempat
tidurnya terasa ikut bergetar.
Ketika
ponsel sudah berada di genggaman, Hyeso baru saja menelan kunyahan terakhirnya
lantas berdehem seraya menjawab panggilan telepon.
“Hyeso-ya!”
Belum
sempat gadis itu bicara, suara di seberang sana sudah mendahului. Hyeso
bergeming sesaat sebelum akhirnya memutuskan untuk menekan tombol spasi di keyboard untuk menghentikan video yang tengah ia putar.
“Kau
masih bangun?”
Untuk
kedua kalinya orang tersebut mendahului Hyeso bicara. Dengan nada tidak sabaran
gadis itu menjawab, “Masih.”
“Good!” jawab suara itu lagi, sok memakai
bahasa Inggris membuat Hyeso tanpa sadar tersenyum geli. “Mau menemaniku
ngobrol?”
“Aku
sedang menonton drama.”
“Aku tahu.”
“Benarkah?”
Manik Hyeso membulat kaget, diraihnya selembar tissue untuk mengelap tangan kanan yang belepotan bumbu popcorn. “Bagaimana kau bisa tau?”
“Karena
aku indigo.”
“Pffttt―”
Gadis itu memutar bola matanya, meski sadar orang yang sedang diajak bicara
tidak bisa melihatnya. “Basi. Bercanda yang keren sedikit, dong.”
Terdengar
tawa dari seberang sana, kalau kata Jungkook lebih mirip suara kaca jendela
yang sedang dibersihkan tapi mau bagaimanapun tetap berhasil membuat Hyeso ikut
tergelak.
“Oke,
hahaha ... tadi aku melihat di Instagram Story-mu.”
“Ah,
pantas saja.” Sang gadis mengangguk-angguk sambil membenarkan posisi berbaring,
berusaha melemparkan gumpalan tissue
ke tempat sampah di dekat pintu kamarnya yang minim penerangan. “Karena kau
sudah tahu, berarti harus mengerti juga kalau aku tidak bisa diganggu jika
sedang menonton drama.”
Sejenak
tak ada jawaban, Hyeso yakin orang itu mungkin sedang cemberut kecewa sekarang.
“Tapi aku ingin mengobrol denganmu.”
“Besok
saja. Ini sudah pukul ...,” diliriknya jam digital yang terpampang di sudut
layar laptop, “... dua pagi, astaga!”
“Jangan
bilang kau tidak memerhatikan jam dari tadi.”
“Tidak!
Pantas saja aku sudah habis dua bungkus keripik kentang.”
“Dasar.”
Sekilas terdengar helaan napas sementara Hyeso mulai bangkit dari posisinya,
menyalakan lampu dan menatap jam dinding yang memang benar menunjuk angka dua.
“Lebih
baik kau tidur sekarang.”
“Seharusnya
aku yang bilang begitu, Hyeso.”
Sang
gadis tertawa. “Aku akan tidur. Tapi setelah satu episode lagi.”
Kini
orang tersebut berdecak, bisa Hyeso bayangkan orang itu tengah
menggeleng-gelengkan kepala persis seperti ibunya jika mendapati ia masih
terjaga selarut ini. “Melihat layar laptop terlalu lama tidak baik untuk
matamu.”
“Ya,
aku tau. Terima kasih berkatmu aku jadi sadar ini sudah pukul berapa, kalau
tidak bisa-bisa aku bangun sampai pagi.”
“Sama-sama.
Ini salah satu alasan kenapa kau butuh aku.”
Lantas
Hyeso tak bisa menahan gelak tawanya. Kalimat barusan dikatakan dengan nada
paling percaya diri yang pernah ia dengar. “Tenang saja, nanti aku tidak akan
membiarkanmu bangun sendirian. Kita bisa berbagi snack tengah malam selagi aku main game dan kau menonton drama.
Bukankah aku calon pendamping hidup yang baik?” tambah suara itu.
“Kau
lebih terdengar seperti teman begadang.
Aku tidak akan bisa fokus nonton drama kalau kau main game.”
“Huh?
Lalu apa gunanya earphone? Menurutmu
orang menciptakannya tanpa alasan?”
Sang
gadis masih terus tertawa. Sebelum ia sempat menjawab, suara di seberang sana
kembali menginterupsi. “Ah, tapi kau tidak akan mendengarku jika telingamu
disumpal begitu. Bagaimana jadinya kalau aku butuh bantuanmu untuk mengambilkan
bungkus snack saat tanganku tidak
sampai menjangkaunya...?”
“Makanya
jangan main game.”
“Oke.
Aku tidak akan main game. Aku cuma akan memandangmu sepanjang malam, kurasa itu
sudah cukup.”
Meski
gadis itu terkekeh, ia tak bisa menyembunyikan fakta bahwa pipinya kini mulai
terasa memanas. “Sudahlah, Seokjin. Pergi tidur saja, aku juga akan tidur
sekarang.”
“Jangan
coba-coba membohongiku, ya?”
“Tidak
akan! Aku akan tidur. Lihat, aku sudah mematikan laptop-nya.”
“Baiklah.
Ingat, kalau kau menonton drama lagi jangan lupa memberitahuku, agar aku bisa
mengingatkanmu untuk tidak tidur terlalu larut.
“Ya,
tentu saja.”
“Jaljayo, mimpi indah soal aku, ya!”
“Hm, jaljayo.”
Malam
itu Jung Hyeso tak merasa kecewa karena tidak bisa melanjutkan menonton satu
lagi episode Cheese in The Trap. Ia lebih menunggu-nunggu akhir pekan
selanjutnya di mana ia bisa duduk di depan laptop-nya
sampai larut dan Seokjin akan meneleponnya di tengah malam, menyuruhnya untuk
segera tidur dan mengatakan hal-hal manis yang membuat jantungnya berdetak
puluhan kali lebih cepat.
***
To Be Continued
To Be Continued
(a/n)
Bruh.
Ini. Panjang. Banget.
Rekor bruh, baru kali ini aku
nulis satu chapter atau satu cerita yang nyampe 20 halaman dan bahkan menyentuh
6000+ words.... Sepanjang hampir dua tahun aku nulis Vector of Fate juga paling
panjang chapter 12 gara-gara itu ada bagian pentas seninya anak Bangtan wkwk
(dan itu cuma 4000 words).
Semua ini gara-gara aku udah
hampir enam bulan nggak update, jadi rasanya sekali update kudu yang panjang
gitu haha semoga kalian terhibur aja ya jangan sampe bosen bacanya karena
kepanjangan:”) Eh sumpah pada masih inget kan ini ceritanya gimana wkwk.
Ada beberapa hal baru yang kucoba
di sini. Pertama cover, kedua fakechat, ketiga scene di telepon. Sebenernya aku
udah bikin cover semacam itu di chapter sebelumnya tapi pas aku pertama upload
fenfiknya di Tumblr gapake cover wkwk. Soal fakechat, sejujurnya aku males bikin
detail chat puanjang dan kurasa bakal seru kalau pake fakechat aja (pokoknya
males nulis). Lalu scene teleponan, tbh aku suka ngerasa itu termasuk scene
yang susah ditulis karena aku sulit menyeimbangkan antara dialog sama narasi.
Soalnya kan cenderung banyak dialognya, sementara aku nggak suka kalo liat
dialog kebanyakan, dan nulis narasi soal orang teleponan itu rada bikin bingung
karena aku pribadi jarang teleponan xD
Alah apasih aku ini nyerocos aja.
Demi apapun, aku berharap keproduktifan nggak akan berakhir di sini. Mumpung
liburan udah di depan mata aku berharap bisa kembali menjadi nsama48 yang dulu,
yang tiap minggu update, yang nulisnya nggak males-malesan. Jadi tolong tetep
kasih aku support dan semangat karena itu satu-satunya yang masih bikin aku
bertahan nulis sampai saat ini:”)
Lastly, thank you.
With love,
nsama48
nsama48
🌸Bonus🌸
Comments
Post a Comment