BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 17)
17
Dalam pertemanan
laki-laki, ada beberapa hal yang dapat mengusik hubungan mereka. Bukan pada
titik yang serius, hanya hal-hal kecil terkesan tidak berarti namun tetap saja
itu ‘mengusik’. Sebut saja jika dua laki-laki ini adalah kawan dekat, tapi tim
sepak bola yang mereka dukung ternyata berlawanan. Itu seperti angin kencang
yang berhembus menabrak benang dari telepon kaleng, maka suara yang seharusnya
bisa diterima jelas menjadi sedikit terganggu. Semakin banyak orang dalam
sebuah kelompok pertemanan, semakin kencang pula anginnya. Namun terkadang
angin itu malah memberi ‘bumbu’ pada kronologi pertemanan, sebagaimana
pertengkaran yang sebenarnya malah mempererat hubungan seseorang.
Pagi ini pun angin musim gugur berhembus kencang, melihatnya dari balik
kaca jendela toko saja Yoongi sudah menggigil. Memutuskan untuk tidak
membayangkan berapa rendahnya suhu di luar sana, ia sekilas melirik arloji yang
jarumnya menunjuk angka sembilan dan delapan. Kemudian atensinya beralih pada
Kim Namjoon, sang pemuda berdiri tak jauh dari posisinya kala ini dengan fokus
masih tertuju pada piringan-piringan hitam yang dipajang berjajar di rak toko.
“Ya!”
Hanya dengan satu seruan singkat, Namjoon segera menoleh. Alisnya terangkat
memandang Yoongi yang kelihatan seperti orang yang mau-mau saja jika disuruh
terjun ke dalam sumur, senyuman simpel yang mungkin terplester permanen di
bibirnya itu membuat Namjoon merinding. “Ada apa?”
“Ada janji jam sepuluh. Tidak keberatan kalau aku keluar duluan?”
Kini giliran Namjoon yang melirik arlojinya. Masih tersisa dua puluh menit
sebelum waktu yang disebutkan Yoongi, jarang sekali lelaki itu mau repot-repot
datang lebih awal di saat biasanya lebih memilih untuk berlama-lama melepas
rindu dengan kasur tercinta.
“Pasti janji dengan Rahee, ‘kan?”
Kilatan rasa senang dalam manik Yoongi semakin kentara saja setelah
mendengar nama teman sekelas mereka itu disebut, membuktikan tanpa ucapan bahwa
jawaban dari pertanyaan Namjoon adalah ‘benar’. Sang pemuda lantas menghela
napas. “Pergilah. Good luck.”
Jelas, itu artinya Namjoon setuju, tapi yang ada Yoongi malah mengangkat
kedua alisnya heran. Ia sudah lama mengenal Namjoon, mungkin lebih lama dari
siapapun, dan nada bicara lelaki itu menunjukkan bahwa dirinya dilanda rasa
kecewa. Bukan kekecewaan biasa, barangkali kekecewaan yang hanya bisa disadari
sepasang kawan dekat. Apa angin musim gugur tahun ini ikut berhembus di antara
Yoongi dan Namjoon?
“Ada yang salah, Joon?” tanya Yoongi, nada suaranya penuh selidik.
Orang yang ditanya mondar-mandir, tidak ingin membalas tatapan Yoongi yang
tak kalah mengintimidasi. Ia pura-pura sibuk memandangi poster jumbo Kanye West
di dinding toko namun akhirnya menyerah saat menyadari Yoongi tak berhenti
menatapnya tajam. “It feels pathetic. Yang lain sudah melangkah begitu
jauh, dan sekarang kau akan meninggalkanku yang tidak berpindah posisi
sejengkal pun.”
Agaknya Yoongi tidak mengerti kalimat pertama yang diucapkan Namjoon, tapi
ia bisa segera menyimpulkan makna dari kalimat kedua yang terdengar lebih mirip
sajak berisi curahan hati. Ini mungkin salah satu hal yang mengusik pertemanan
keduanya. Apa lagi kalau bukan masalah wanita?
Pada dasarnya ia bingung hendak berkata apa, beruntung kali ini Tuhan
menyelamatkannya. Pintu terbuka diikuti suara penjaga toko yang mengucapkan,
“Selamat datang.” Ketika Yoongi menoleh, ia mendapati sosok perempuan dengan
tas selempang berwarna putih di sana.
Semua berlangsung begitu cepat, seolah ada sinar matahari yang menyeruak
melalui celah-celah mendungnya awan, memberikan sinar harapan pada rerumputan
basah di bawahnya. Sang pemuda kembali melirik Namjoon, sebelum kemudian
memanggil kawannya itu lantas mencuri fokus Kim Namjoon dan membuatnya
mengikuti arah pandangan menuju pintu masuk.
“Good luck juga untukmu,” ujar Yoongi akhirnya, lalu bersiap
menjejakkan kaki keluar dari tempat itu. “Lebih baik kau terus ingat kalau kita
melangkah bersama. Tidak ada yang mendahului atau ditinggalkan.”
***
Seolah deja vu,
Song Rahee yang baru saja menutup pagar rumahnya kini bergeming di tempat
setelah menyadari sesosok Park Jimin berdiri mematung sekitar tiga meter dari
posisinya berdiri. Sang pemuda memunggunginya, barangkali sama sekali tak
menyadari kehadiran Rahee. Meski yang terlihat hanya rambut hitam Jimin yang
tertutup topi merah dan corak garis-garis dari kemeja abu-abu lelaki itu, dalam
sekali pandang saja Rahee sudah bisa mengenali sosoknya.
Sepatu Puma Jimin mengetuk-ketuk jalan beraspal bersamaan dengan Rahee yang
menapakkan flat shoes-nya mendekati lelaki itu. Langkah kaki dan
napasnya begitu teratur di tengah turunnya suhu udara musim gugur, salah satu
alasan mengapa Jimin tak jua mendengarnya. Ia berhenti tiga langkah di belakang
Jimin, dengan tangan terulur hendak menepuk pundah sang pemuda.
“Meong....”
Suara lirih itu memecah keheningan pagi, menghentikan gerakan Rahee.
Dirinya dan Jimin sama-sama mengalihkan atensi pada sesosok kucing hitam yang mencari
kehangatan dengan berjalan memutari kedua kaki Jimin. Benda berbulu itulah asal
ngeongan barusan, yang baru disadari keberadaannya oleh Rahee.
“Habis mencari kucingmu, Jim?”
Orang yang ditanyai tadinya hendak berjongkok mengelus kucing kesayangannya
itu, namun malah tersentak kaget mendengar pertanyaan Rahee yang tiba-tiba
berada di belakangnya.
“R-Rahee-ya!?” Nama sang gadis meluncur dari mulut Jimin dengan nada
terkejut yang diam-diam menyimpan kesan sedikit mencurigakan, layaknya pelaku
kriminal yang hampir ketahuan melakukan kejahatan.
Tetapi mood Song Rahee sedang sangat bagus hingga ketelitiannya
berkurang. Ia tak merasakan sedikitpun keanehan dalam nada suara Jimin, ia
bahkan melupakan pertengkarannya dengan lelaki itu sehari sebelumnya. “Kucingmu
kabur ke daerah sini lagi? Apa kau lupa menutup pintu rumah?”
“Eh? Ah, bukan begitu...,” ucap Jimin kini dengan suara lirih. “Aku ...
cuma sedang mengajak Kuki jalan-jalan.”
Rahee menaikkan kedua alisnya. Saat itu juga dipandangnya si kucing hitam dan
barulah ia menyadari seutas tali merah tua yang berada dalam genggaman tangan
kiri Jimin terhubung dengan kalung di leher kucing itu. Di sana pula tergantung
sebuah liontin bertuliskan ‘KUKI’ beserta lonceng perak yang senantiasa
berbunyi lembut acapkali si kucing bergerak.
Terlalu ramai, pikir Rahee. Namun yang lebih penting, ini baru pertama kalinya ia
melihat seekor kucing yang berjalan-jalan bersama pemiliknya dengan tali
berkualitas terpasang pada kalung lehernya. Jimin yang terlalu protektif pada
peliharaannya atau apa?
Seolah mengetahui rasa penasaran di balik pandangan perempuan itu, Jimin
melanjutkan, “Kuki itu sangat hiperaktif, larinya cepat sekali. Kau tahu
sendiri bukan, dia suka kabur dari rumah. Tanpa tali ini dia pasti sudah hilang
entah ke mana.”
Sang gadis mengangguk-angguk mengerti. Terbayang kali pertama sekaligus
terakhir dirinya menemui Kuki dan Jimin di tempat itu. Rahee pun sempat mengira
bahwa keberadaan Jimin di depan rumahnya hari ini adalah karena alasan yang
sama, kucingnya kabur lagi.
“Kalau begitu sudah dulu, ya? Aku ada janji.”
“Tunggu―!”
Bahkan Rahee belum sempat beranjak, ia baru saja melirik arlojinya dan kini
mendongak menatap Jimin. Tetapi lelaki itu terlihat begitu panik seolah
menghentikan Rahee adalah prioritasnya yang paling utama. “Ada apa?” Terbentuk
sebuah kerutas halus di dahi sang gadis.
“Ada janji dengan siapa? Hani?”
Hanya dijawab oleh gelengan pelan, Jimin lantas menelan ludah. Lima detik
terbuang sia-sia selagi pemuda itu menggigit bibirnya. Ketika pandangan Rahee
kembali tertuju pada arloji di pergelangan tangan, akhirnya Jimin meberanikan
diri untuk bicara. “Kau masih marah padaku?”
Untuk kedua kalinya Rahee mendongak, namun kini dengan ekspresi lebih
keheranan dari sebelumnya. Memorinya berputar, mencoba mengingat-ingat, apa ia
marah pada Jimin? Ataukah ... ia salah dengar?
“Maaf, bisa kau ulangi?”
Kini giliran Jimin yang membulatkan kedua netranya. Temannya ini baru saja
amnesia atau apa? Akan terasa aneh jika ia bertanya untuk kedua kalinya,
barangkali gadis itu mungkin akan mengingat amarahnya hingga akhirnya memilih
untuk tidak mendengarkan Jimin dan melengos pergi begitu saja. Jadi, apa
seharusnya Jimin lebih dulu mengutarakan niatnya yang satu lagi?
“Ehm ... bukan apa-apa. Aku mau tanya, apa kau kenal Youngae dari kelas
1-F?”
“Youngae? Oohhh ... dia satu kelompok denganku saat summer camp
dulu.”
Jimin mengerjap. Meski cukup menduga
jawaban itu akan terdengar dari mulut Rahee, ia tidak mengira rencananya akan
berjalan semulus ini. Sementara di sisi lain, Rahee salah mengartikan
pertanyaan Jimin dan mulai tersenyum jahil. “Kenapa, Jim? Cengcengan-mu,
ya?”
“Ya! Yang benar saja! Justru dia itu teman dekatnya Soonyoung.”
Mendengar bantahan Jimin barusan, Rahee yang awalnya ia merasa lelaki itu
hanya bersikap malu-malu kucing dan hendak meneruskan menggodanya lantas
terbungkam. Ia tidak mungkin salah dengar, Jimin baru saja menyebutkan nama
keramat yang sungguh tidak ingin ia dengar. Di detik-detik berikutnya perempuan
itu tak bicara satu patah kata pun, menunggu penjelasan lelaki yang berdiri di
hadapannya.
“Ngomong-ngomong soal Youngae, kami bertemu kemarin dan dia banyak bertanya
tentangmu.” Jimin berucap dengan hati-hati, tak ingin berakhir memperburuk
suasana hati Song Rahee.
Namun ia tak kunjung mendapat respon, Rahee justru memasang ekspresi
kosong, seolah Jimin baru saja mengatakan hal sepele tentang Donald Trump yang
terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Barulah ketika lelaki itu menaikkan
kedua alis secara berirama, Rahee terpancing untuk memberi jawaban.
“Terus?”
Tidak kuasa, kini Jimin menepuk dahinya. “Ah, bodo. Pergi saja sana, kau
pasti sudah ditunggu.”
Perempuan itu tersentak layaknya kelinci dengan jam di saku yang baru saja
diingatkan akan janjinya dalam kisah Alice’s Adventure in Wonderland. “Oh, iya!
Duluan, Jim!” ujarnya seraya mengecek arloji di pergelangan tangan, kemudian
berlari kecil melewati Jimin yang masih terdiam sambil menggenggam tali
peliharaannya di tangan kiri.
“Kalau kau sudah ingat, aku minta maaf!”
Teriakan itu sampai di telinga Rahee meski sudah terpaut jarak beberapa meter
dari posisinya semula mengobrol dengan Jimin, namun ia masih tetap tak mengerti
maksudnya. Agaknya, ia memang tak paham dengan semua hal yang dikatakan lelaki
itu pagi ini.
***
Ini sudah akhir pekan. Itu
artinya, sekitar seminggu lamanya benak Lee Hwarin tidak bisa berhenti
mengingat sosok seorang laki-laki. Selama itu pula sang pemuda tidak pernah
kelihatan batang hidungnya karena absen masuk sekolah. Kemana sih, perginya
lelaki itu? Hwarin tak habis pikir, apa sebab kawannya yang terkenal rajin begitu
bisa absen seminggu?
Terlebih setelah acara pentas seni yang menghebohkan sesisi sekolah, entah
bagaimana membuat Hwarin terus-terusan bertemu siswi-siswi yang menanyakan
keberadaan Kim Namjoon. Gadis itu kesal saat melihat ekspresi kecewa mereka
acapkali ia memberi jawaban singkat bahwa orang yang dicari-cari sedang tidak
masuk sekolah. Kenapa juga harus dirinya yang ditanyai soal Namjoon? Memangnya
ia pacarnya, apa?
Oke, lupakan pertanyaan barusan. Yang seharusnya dipermasalahkan adalah
keberadaan lelaki bernama Kim Namjoon tersebut yang menjamur dalam kepala
Hwarin. Bukannya semakin lama tidak bertemu akan lebih mudah dilupakan? Tetapi
yang terjadi justru sebaliknya, bikin pusing saja. Apalagi jika mengingat kali
terakhir pertemuan mereka. Memori tentang dirinya yang melempar kedua sepatunya
pada Namjoon secara bergantian segera setelah bertemu pandang dengan manik
lelaki itu di backstage aula sekolah, seolah telah menempel permanen di
otaknya.
Lantunan Violin Sonata No. 9, Kreutzer terdengar dari tiap speaker
di sudut ruangan, lantas gadis dengan rambut dikuncir setengah yang baru saja
memasuki toko tersebut memperdalam kerutan di dahinya. ‘Menambah tegang
suasana saja,’ pikir sang gadis.
Tempo biolanya terdengar seperti si pemain tengah dikejar durasi, ia berani
membayar siapapun kawannya yang bisa bermain secepat itu. Seraya berjalan
melewati rak-rak penuh tape dan DVD, otak perempuan itu berputar,
bertanya-tanya apakah ia bahkan mengenal seseorang yang bisa bermain biola.
Sudut mata Hwarin tiba-tiba menangkap sesuatu yang menarik, langkahnya terhenti
dan tangan kanannya terulur meraih sebuah DVD bertuliskan soundtrack
film yang sedang viral belakangan ini, sedikit heran kenapa ia bisa berjalan
menuju bagian toko yang berisi hal-hal seperti ini.
Ketika nama orang yang sama kembali terlintas dalam benaknya, telapak
tangan gadis itu mendadak terasa licin sehingga benda yang ia pegang dengan
segera meluncur ke bawah. Ia mengerjap sebelum kemudian mengumpat pelan, “Ah,
sial.”
Baru saja hendak menunduk untuk mengambil benda tadi, kakinya spontan
bergerak maju, namun malah berakhir membuat benda itu tertendang menuju kolong
rak. “Sial kuadrat,” ucapnya lagi.
Bibir Hwarin tak henti meluncurkan kata-kata kesal selagi ia berjongkok,
lalu melongok bagian bawah rak itu. Tentu, atensinya tertuju pada sebuah DVD
tepat ketika ia menemukan benda itu, lagipula beruntung kaki-kaki raknya cukup
tinggi. Namun, sesuatu yang terlihat dari bawah sana membuyarkan fokusnya.
Jelas-jelas ia melihat seseorang tengah berjongkok di pojokan, tak jauh dari
tempatnya dengan hanya dihalangi rak tinggi di depannya ini.
Perlahan perempuan itu meraih benda yang dicarinya, berdiri, mengembalikan
benda itu di tempat pertama ia melihatnya, kemudian melangkah pelan. Tujuannya
kali ini tidak lain adalah pojokan terdekat, tempat di mana ia menemukan hal
menarik lainnya. Tidak aneh, bukan? Lagipula siapa, sih, yang tidak akan
penasaran saat mendapati seseorang sedang berjongkok di sudut ruangan begitu?
Tanpa dirusuh, kedua tungkai Hwarin berayun secara perlahan dan ringan. Suara
tapak kakinya hampir tidak terdengar. Ketika dirasa jarak dengan objek yang
dituju sudah cukup dekat, gadis itu menyipitkan kedua mata.
Di sana, seorang pemuda sebayanya tengah berjongkok dalam posisi bertahan.
Pandangannya awas, menerobos melalui celah di antara rak-rak yang berada di
hadapannya. Di tubuhnya melekat sebuah coat coklat terang khas musim
gugur, ditambah beanie head berwarna senada namun sedikit lebih gelap.
Gerak-geriknya itu bagi Hwarin terlihat seperti sedang bersembunyi dari pegawai
toko setelah tidak sengaja menjatuhkan tumpukan tape dari rak paling
atas.
Akan lebih bagus jika Hwarin mengabaikan lelaki aneh itu. Hanya saja, ia
merasakan sesuatu yang begitu mengusik hingga membuatnya tanpa sadar melangkah
lebih dekat. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, kini ia berdiri tepat di
belakang sang pemuda. Hanya dengan menundukkan kepala sedikit, Hwarin bisa
mengintip wajahnya.
Kedua bola mata ini tak pernah mengkhianatinya. Hwarin tidak mungkin salah
lihat, ‘kan?
“Namjoon?”
***
Jarang-jarang Jungkook
bangun pagi di akhir pekan. Paling-paling, jika bisa bangun pukul tujuh ia akan
menghabiskan sisa satu jam berikutnya untuk bergelut di bawah selimut sambil
memainkan Clash of Clan di ponsel. Lagipula, hidup ini terlalu singkat untuk
tidak dinikmati sedemikian rupa.
Tetapi, hari ini berbeda. Jeon Jungkook hari ini adalah Jeon Jungkook yang
berbeda. Sarung bantal, guling, dan bedcover-nya berbeda karena ibunya telah
menggantinya dengan yang bersih kemarin sore. Alarmnya berbeda, yang semula
melulu lagu solo G-Dragon semalam sudah diganti menjadi Bang Bang Bang – Big
Bang.
Dirinya, Jeon Jungkook, sudah merapikan tempat tidur tanpa disuruh pada
pukul enam pagi dengan kedua mata terbuka lebar. Baru saja ia mandi, itu
artinya sudah bersih, wangi, berkarisma, dan katakan selamat tinggal pada bekas
air liur di pipi atau kotoran mengendap di sudut mata. Ditemani cahaya matahari
terbit dari jendela kamar yang terbuka lebar, kini sang pemuda duduk manis
menghadap meja belajar. Tidak, bukan untuk belajar, ia hanya ingin mencabut
ponselnya dari charger yang semalam diletakkan di sana.
Seraya menyenandungkan lagu-lagu Justin Bieber, lelaki itu mengaktifkan
ponselnya, disambut oleh serentetan notifikasi menumpuk berhubung ia belum
menyentuh benda itu sama sekali semenjak pulang sekolah kemarin. Di antara
berbagai macam hal yang tertulis di layar, ada satu pesan yang mencuri
atensinya hingga cepat-cepat ia memencetnya.
09.10pm BIGBANG FANBASE. Udah tau belum? GD dan Kiko Mizuhara balikan! Kemarin
mereka tertangkap Dispatch sedang.... <> Mau jadi jutawan? Duit ngalir
setiap harinya? Yuk join bisnis kami aja:* Modal dikit aja udah bisa beli album
bias:D Minat? Klik link di bawah!
Jungkook tiba-tiba merasa bersalah pada idolanya karena sudah beberapa kali
tertipu oleh trik promosi yang sama. Meski kata Taehyung, semua kesalahan
berada pada pihak promotor yang melakukan penipuan publik. Sembari menghela
napas, ia menggeser layar untuk membuka pesan selanjutnya. Namun, apa yang
tertulis di sana membuat kedua manik lelaki itu membulat.
10.20pm Lee Jieun. Hai, Jungkook! Jimin memberiku kontakmu, aku ingin
berterima-kasih atas pinjaman sepedamu kemarin :)
Sontak saja, terbayang paras cantik senior yang tak sengaja ditemui
Jungkook dua hari lalu. Atas dasar apa Jimin memberikan kontaknya pada senior
itu? Yah ... bukan masalah besar juga, sih. Mereka kan juga satu sekolah,
memang salah kalau saling bertukar kontak? Jungkook kemudian mengetik balasan,
hendak menekan tombol ‘kirim’ ketika sebuah notifikasi pesan lain muncul di
bagian atas layar.
06.42am Park Choonhee. Sudah bangun? Kau tidak mengangkat teleponku kemarin.
Jungkook bersumpah, tidak ada yang lebih mengecewakan dan membuatnya merasa
bersalah selain tidak mengangkat telepon Park Choonhee. Dan tidak ada yang
lebih menggembirakan selain mendapat pesan dari gadis yang sama sebagai
pengawal hari.
***
06.43am Jeon Jungkook. Halo, Sunbae. Tidak perlu berterima-kasih, sudah
sepantasnya aku memberi bantuan :D
Akhirnya, setelah delapan jam menanti, balasan yang ditunggu-tunggu Jieun
tiba. Bohong besar kalau gadis itu bilang hatinya tidak berbunga-bunga, meski
ini hanya gara-gara satu buah ‘balasan’ dan ia belum menyukai seorang Jeon
Jungkook sebegitu sangat. Anggap saja hanya rasa ketertarikan kecil, yang mana
disebabkan oleh kebaikan hati sang junior tempo hari. Lagipula ia baru sekali
bertemu dengan laki-laki itu, tidak mungkin rasa suka bisa tumbuh begitu saja.
Tapi ... salahkah jika Jieun merasa begitu senang saat ini? Sekaligus
ditambah rasa bingung harus memberi balasan bagaimana atas pesan Jungkook yang
dipermanis oleh emoticon di bagian akhirnya.
Jieun memutar otak, ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk mentraktir
Jungkook sesuatu sebagai rasa terima kasih, tapi bagaimana cara menyatakannya
tanpa memberi kesan buruk? Beberapa kali jemarinya mengetik sebaris kalimat
namun berakhir dihapus kembali, menyisakan ruangan kosong pada kotak kecil
tempat menulis pesan baru. Detik berlalu bersamaan dengan kursor keyboard
yang berkedip di layar, hingga tiba-tiba sebuah lingkaran merah kecil muncul di
sudut foto profil Jungkook. Itu adalah tanda bahwa pemilik akun baru saja meng-update
sesuatu.
Dengan ekspresi penuh tanda tanya, Jieun memencet lingkaran merah itu,
kemudian memunculkan kotak berisi profil Jungkook. Apa yang tertulis di bio
lelaki itu membuat sang gadis tertegun sesaat.
‘Good Morning, Choonhee-ya’
Siapapun orang paling beruntung yang mendapat morning greeting itu,
jelasnya tidak ada hubungannya dengan Jieun. Barangkali, ia tadi hanya terlalu
berharap.
***
Gerimis di luar sana
bisa terlihat jelas dari jendela yang berada sejajar dengan pandangan Min
Yoongi, permukaannya dipenuhi titik-titik air. Tetapi, dibanding menilik cuaca
tipikal musim gugur itu sejujurnya sang pemuda lebih tertarik mencuri lirikan
pada perempuan yang kini duduk di hadapannya.
Tentu saja perempuan itu tak akan sadar, fokusnya ada dalam buku berisi
kumpulan potret alam pegunungan Korea Selatan yang sesekali ia bolak-balik
halamannya seraya bertopang dagu. Sudah berapa lama waktu berlalu dalam
keheningan? Yoongi tak sempat menghitungnya, yang jelas ia bertemu sang gadis
di perpustakaan—tempat yang dijanjikan―ini tadi pagi. Jam di ponselnya kini
menunjukkan digit angka 13:19. Seandainya tidak hujan, matahari pasti tengah
bersinar terang di atas sana.
Niatnya sih, Yoongi mengajak perempuan bernama Song Rahee itu belajar
bersama agar ia bisa memintanya membantu mengerjakan tugas sastra (di samping
fakta yang Yoongi ketahui bahwa Rahee selalu pergi ke perpustakaan tiap akhir
pekan). Hanya saja Yoongi kini merasa perempuan itu hampir-hampir seperti tidak
menghiraukan keberadaannya, dalam artian terlalu larut dalam tumpukan buku-buku
yang ia baca.
“Rahee-ya,” panggil lelaki itu perlahan, mengimbangi suasana sunyi
di sekitar mereka.
Mendengar namanya disebut, Rahee lantas mendongak, akhirnya bertemu pandang
dengan Yoongi setelah sekian lama saling berdiam diri.
“Maaf, ya. Aku cuma ingin mengingatkan kalau kemarin kau bilang mau
membantuku mengerjakan tugas.”
Dengan manik membulat, gadis itu kemudian menggigit bibir. “Oh, iya juga.
Sepertinya aku yang seharusnya minta maaf.”
Yoongi mengulum senyum tipis. “Tidak apa-apa.”
“Jadi ... bagian mana yang tidak kau pahami?”
Pertanyaan itu terlontar bersamaan dengan Rahee yang beranjak dari kursi,
berjalan memutar untuk kemudian berganti mengambil tempat duduk di sebelah
Yoongi. Ia menggeser kursi kayu berbantal beludru itu agar bisa melihat buku
catatan Yoongi lebih jelas, lalu mencondongkan tubuhnya dengan kedua tangan
dilipat di atas meja. Di sampingnya, tanpa disadari Min Yoongi berusaha
mengabaikan deru jantung yang semakin cepat.
“Sudah sampai nomor empat? Umm ... di situ kau harus mencari alur
ceritanya, jadi jelaskan saja urutan kejadian dari orientasi sampai resolusi.
Boleh pinjam pensilmu?”
Tanpa menjawab, tangan Yoongi terulur menyerahkan sebatang pensil, kemudian
diterima gadis itu dengan telapak tangan tertutupi lengan sweater yang
kepanjangan. Tak lama kemudian goresan pensil mulai memenuhi buku Yoongi,
menandai kalimat-kalimat yang dirasa menjadi ide pokok dalam cerita pendek
tersebut. Rahee melanjutkan penjelasannya tentang bagian mana yang harus
ditulis Yoongi, namun fokus lelaki itu beberapa kali terbuyar tiap kali bahu
keduanya bersentuhan.
“... kemudian di nomor lima nanti tulis pesan moral yang ada di situ.
Mengerti?”
Butuh beberapa kedipan mata agar Yoongi bisa sepenuhnya menguasai diri,
kepalanya dianggukkan diikuti kurva manis di bibir dan ucapan terima kasih.
Sementara Rahee balas tersenyum lalu hendak berdiri, berniat kembali pada
pelukan buku-buku yang belum selesai dibacanya. Saat mendadak, ia merasakan
genggaman pada pergelangan tangannya yang lantas menghentikan niat tadi.
“Bisakah kau tetap duduk di sini...?”
Agaknya Song Rahee tak mempercayai apa yang ia dengar barusan, begitupun
Min Yoongi tak mempercayai serangkai kalimat yang meluncur dari mulutnya.
***
02.00pm jung02hoseokjjang Selamat siang semua~ Apa yang kalian lakukan di hari
Sabtu yang cerah ini?
02.20pm parkchimchim Cerah? Di luar sedang hujan.
02.21pm jung02hoseokjjang Benarkah? Di sini sih cerah, maaf saja.
02.34pm parkchimchim Memangnya rumahmu di mana?
02.34pm jung02hoseokjjang Di blok XX. Tapi aku sedang di rumah Hyora sekarang.
02.35pm parkchimchim -_-
02.36pm kim__hani67 Berisik woi.
02.37pm bbuingtaetae Berisik woi. (2)
02.37pm hyesoo_ Berisik woi. (3)
02.38pm hyorajung Hoseok, kau ke sini bukan hanya untuk belajar sambil
diam-diam main handphone, kan?
02.39pm jung02hoseokjjang Tidak. Maaf m(_ _)m
02.41pm mario_seokjinzzzzz Ada yang sudah mengerjakan tugas sastra?
02.41 hyesoo_ Aku ‘-‘
02.42pm mario_seokjinzzzzz Serius? Tidak kusangka pacarku serajin ini^^
02.43pm parkchoonhee Aku juga sudah.
02.43pm parkchimchim Tolong jangan mengumbar kemesraan di grupchat kelas.
02.44pm bbuingtaetae Kalau sirik bilang saja, jomblo dasar.
02.44pm parkchimchim DEMI BIBIMBAP IBU KANTIN SIAPA YANG SIRIK?
02.47pm jeonjungkookie Hyeso, tolong fotokan tugas sastramu dong.
02.50pm kim__hani67 Hyeso, tolong fotokan tugas sastramu dong. (2)
02.51pm bbuingtaetae Hyeso, tolong fotokan tugas sastramu dong. (3)
02.52pm jung02hoseokjjang Hyeso, tolong
fotokan tugas sastramu dong. (4)
02.53pm mario_seokjinzzzzz Chagiya, tolong fotokan tugas sastramu dong. (5)
02.55pm hyesoo_ Kerjakan saja sendiri, gaes.
***
To Be Continued
To Be Continued
(Seharusnya chapter ini udah ku-upload sejak bulan Desember tapi atas beberapa kendala akhirnya cuma bisa diupload di tumblr. Hehe)
Hallo~! Lama banget kita nggak jumpa yaaTT Aku mau mohon maaf
sebesar-besarnya karena telantarin ff ini berbulan-bulan please forgive meee
Hm...gimana chapter 17 kali ini? Apa sesuai ekspektasi? Buat temen yang
request sesuatu tapi berakhir nggak kutulis, hontou ni gomen nasai;; Bahkan
hasil akhir chapter ini melenceng cukup jauh dari rencana awalku. Oh, maaf juga
kalau groupchat yang iseng kutambahin di akhir-akhir itu receh banget (masa
tadinya aku mau bikin username Taehyung tuh ‘omteloletom’ .g). Pada akhirnya
ada hubungan karakter yang masih nggak jelas, masih digantungin, atau malah
makin ribet. Kayaknya bohong banget pas aku dulu bilang mau tamatin ff ini,
soalnya dipikir-pikir lagi kisahnya masih cukup panjang.
Oh iya, Vector of Fate udah lebih dari setahun loh~! xD //tebar confetti//
Nggak kerasa, ya? Mungkin gara-gara authornya suka timbul-tenggelam mulu
jadi molor banget (I mean, udah setahun lebih tapi nggak tamat tamat). Untuk
pembaca sekalian tercinta, saya sungguh berterimakasih atas dukungan kalian
selama ini, padahal saya itu author nggak becus tapi masih ada aja yang
dukung:”) Tolong maafkan segala kesalahan saya dann tolong terus berada di sisi
saya, sebagai orang-orang yang mendorong saya maju menjadi penulis yang lebih
baik<3
Lalu, tolonggg banget kita doakan bersama-sama Min Yoongi yang baru saja
diberitakan cedera sampe harus istirahat seminggu. Semoga dia nggak terlalu
menyalahkan diri sendiri seperti tahun lalu dan lebih fokus menyembuhkan diri,
aamiin. Doakan juga author yang satu ini bisa menghilangkan rasa malas nulis
dan bisa cepet update chapter selanjutnya h4h4. Adios!
Comments
Post a Comment