BTS Fanfction - Vector of Fate (Part 16)
16
Apa yang dirasakan
Jimin saat ini sama sekali tak bisa dipahaminya.
Memikirkannya seolah membuat udara dingin berhembus
melewati tengkuknya, ketika ia mulai mengginggil karena suhu rendah itu, memori
yang tadinya hanya sekelebat mulai terlihat jelas. Dadanya sesak,
tenggorokannya tercekat, bulir air memenuhi sudut matanya, tapi ia tetap
melangkah. Tak peduli apa sekarang ia terlihat lebih mirip zombie atau
orang yang berjalan sambil tidur, tungkai yang menopang tubuhnya terus berayun
bagai memberi semangat agar ia bertahan.
Jimin tahu betul, pengalaman pertamanya dalam menyukai
seseorang akan menemui persimpangan. Satu jalan menuju kebahagiaan dan satu
jalan menuju kepedihan. Namun ia mengabaikan kedua jalan itu dan berpegang pada
teori bahwa jatuh cinta seharusnya membuatmu bahagia. Park Jimin terlalu naif.
Pada akhirnya, seberapa keras pun ia mencoba melangkah ke
jalan menuju kebahagiaan, terdapat dinding lebar yang menghadangnya. Hati Lee
Jieun terlalu sulit untuk ditaklukan seorang pemula semacam ia.
Membiarkan dirinya merasakan tamparan kenyataan,
setidaknya masih ada secercah semangat hidup dalam diri Jimin yang memandu
langkah kakinya walau dengan tatapan mata kosong ke jalan koridor lantai satu.
“Eh, kau...?”
Suara lembut seorang wanita menembus indra pendengaran
Jimin, namun tak cukup kuat untuk menarik lelaki itu kembali menuju kenyataan.
“Tunggu!”
Suara itu lagi, kini diikuti genggaman di bahu kanan
Jimin, menahan pergerakan sang pemuda. Beberapa kali ia berkedip, mencoba
mengumpulkan kesadaran sebelum menoleh ke belakang. Seorang perempuan berwajah
tak asing dengan surai hazel yang dikepang rapi tengah menatapnya
serius.
“Kau ... teman Song Rahee, bukan?”
Pertanyaan itu sedikit menusuk. Dikenal karena orang lain
dan bukan sebagai diri sendiri adalah satu dari beberapa hal yang tak disukai
Jimin. Dengan wajah semakin ditekuk ia menjawab, “namaku Park Jimin.”
Si perempuan nampaknya tak begitu ambil pusing, ia hanya
mengangguk singkat kemudian memaksa Jimin terfokus pada ucapan yang meluncur
dari mulutnya dengan terus menatap dalam manik lelaki itu. “Dengar, ini tentang
Kwon Soonyoung. Aku membutuhkan bantuanmu, kita harus bicara sepulang sekolah nanti.
Kutunggu kau di Seven Eleven depan gerbang.”
“O-oke....”
Sang gadis mengangguk sekali lagi, lalu melepaskan
genggaman tangannya dan berbalik pergi. Butuh waktu beberapa saat hingga Jimin
tersadar akan sesuatu.
“Hei! Kau belum memberitahukan namamu!” Teriakannya
menggema hingga terdengar oleh perempuan yang sudah berada beberapa meter
jauhnya.
Menoleh sedikit membuat kepangan rambutnya bergoyang, perempuan
itu balas berteriak, “Panggil saja Youngae!”
Nama yang tidak asing, pikir Jimin. Tentu saja bukan
karena nama itu mengingatkannya pada wanita komedian yang selalu tertawa sampai
hampir mengompol di acara televisi, Jimin hanya merasa pernah mendengar nama
itu sebelumnya.
Membiarkan benaknya dipenuhi nama perempuan berobsidian
coklat itu, Jimin kembali meniti langkah menuju kelas, tidak begitu khawatir ia
akan terlambat mengingat bel masuk sudah lama berbunyi karena guru bahasa
Inggris mungkin masih sibuk dengan Klub Drama yang lolos menuju kompetisi
nasional setelah menggunakan naskah A Midsummer Nights Dream yang
diterjemahkan langsung oleh pria paruh baya itu. Jangan tanya bagaimana Jimin
bisa tahu, Hyeso dan Rahee sebagai penggemar Shakespeare tak henti mengoceh
padanya tentang betapa indahnya drama tim sekolah yang mereka tonton secara
langsung di tingkat regional.
Hingga sebuah suara yang tak lain adalah milik satu dari
dua gadis sarkastik tadi menyebut namanya, “Jim!”
Jimin menoleh ke sumber suara, mendapati Song Rahee dan
Min Yoongi berjalan ke arahnya. Alis Jimin bertautan selagi dua pertanyaan muncul
di kepalanya. Kenapa rasanya selalu aneh melihat dua orang itu bersama? Dan....
“Apa sekarang sedang jamkos?”
Pertanyaan itu dilontarkan Jimin tepat ketika Yoongi dan
Rahee berada di hadapannya, membuat kedua kawannya itu saling menatap satu sama
lain sebelum kemudian tertawa nyaring.
“Aku tahu kau terlalu cinta dengan lapangan sampai baru
kembali ke kelas sepuluh menit setelah bel masuk, tapi Choi-saem terlalu
rajin untuk mengosongkan jam pelajarannya.” Rahee berujar seraya mengusap ujung
matanya yang berair.
“Ehehehe....” Jimin terkekeh, setidaknya mangatakan hal
memalukan di depan Rahee sudah biasa terjadi. “Lalu apa yang kalian lakukan di
sini?”
“Mengambil kamus di
perpustakaan,” jawab perempuan itu lagi.
Menaikkan sebelah alis, tanpa pikir panjang Jimin
berkata, “Akan kubantu.”
“Hm ... lebih baik begitu daripada kau sampai di kelas
saat Choi-saem sudah ada di sana.”
Dengan itu Jimin berjalan di belakang Yoongi menuju
perpustakaan yang secara tidak sadar sudah ia lewati sebelumnya, dalam diam
mendengarkan dua temannya membicarakan bagian tersulit tugas sastra yang
diberikan guru mereka kemarin lusa.
Namun, di tengah percakapan yang tidak begitu disukai
Jimin berhubung itu mengingatkan bahwa dirinya belum mengerjakan tugas sastra
dan biologi, Yoongi mendadak berhenti hampir membuat Jimin menabraknya dari
belakang.
“Ada apa, Yoon?”
Pertanyaannya dibalas dengan tatapan sekilas dari Yoongi,
yang mulai merasa heran bagaimana Song Rahee seolah membuatnya amnesia
tiba-tiba dan melupakan hal penting tentang lelaki yang kini berdiri di
belakangnya. Atensinya kemudian berada pada orang itu.
“K-kenapa kau menatapku seperti itu?”
Yoongi dibuat hampir tersedak, respon Jimin terlalu mirip
perempuan yang salting ketika dipandang oleh orang yang disukai.
“Bagaimana ... rencana Hyeso dan Hani tadi?”
Hening sesaat menyelimuti. Yoongi menaikkan sebelah alis
menunggu jawaban dari Jimin yang mengatupkan bibirnya rapat-rapat, sementara
Rahee memandang keduanya bergantian tidak begitu mengerti apa yang sedang
terjadi.
Sebuah senyum kecil yang terkesan pahit terukir di bibir
Jimin, ia menggeleng pelan. Melanjutkan bertanya tentang hal itu mungkin bukan
pilihan baik, jadi Yoongi memilih untuk menanyakan hal lain. “Apa yang
dikatakan mereka berdua benar? Umurmu sudah....”
Tanpa bisa melanjutkan kata-katanya, sekali lagi Yoongi
melihat Jimin mengangguk masih dengan pandangan menuju ujung sepatunya. “Dari
mana kau tahu itu? Setahuku kau tidak punya riwayat penyakit apapun.”
“Aku—“
“Baik, baik ... bisa kita lanjutkan sambil berjalan?”
“―mendapat pesan kematian.”
***
Selama sisa pelajaran
bahasa Inggris Choonhee tak bisa berhenti mencuri lirikan pada buku catatan
biologi yang ia biarkan tergeletak di atas meja, tertindih oleh tempat pensil. Buku
itu bersampul biru, sama dengan buku bahasa Inggris, karenanya sempat membuat
perempuan itu sedikit kebingungan tadi.
Bukan tentang kenapa kedua guru yang mengajar mata
pelajaran berbeda memutuskan untuk menyuruh muridnya menyampul buku mereka
dengan warna yang sama. Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa buku catatan
biologi itu berada di meja Choonhee hari ini? Kendatipun jelas-jelas kemarin ia
tidak jadi mengambilnya di laboratorium.
Keterlambatan Guru Choi setidaknya patut disyukuri,
lelaki paruh baya itu baru masuk ke kelas saat jam pelajaran hanya tersisa dua
puluh menit. Choonhee yang biasanya mengeluh atas ketidaksinambungan kegiatan
belajar mengajar kini hanya bergeming, karena toh ia sama sekali tak bisa fokus
pada materi.
Walaupun jarang―mungkin hanya satu atau dua kali―atensi
gadis itu tertuju pada Jeon Jungkook. Kalau tidak sedang menumpu bagian
belakang kepala dengan kedua tangan hingga membuat Song Rahee yang duduk di
belakangnya menggerutu bahwa lengan Jungkook mengganggu pandangan, sang pemuda
paling-paling tengah mencuri kesempatan bermain ponsel. Sungguh bukan cerminan
siswa yang baik.
Dalam hati Choonhee berharap bel pulang segera berbunyi.
***
“Sepertinya Rahee sedang PMS.”
Bisikan itu sampai di telinga Hyeso, membuatnya mengerjap
beberapa kali lalu menatap bingung lawan bicaranya. “Serius? Aku hampir tidak
pernah melihatnya se-badmood itu.”
Jung Hyora mengangguk mantap, tak lupa menyebutkan
keanehan-keanehan yang ia lihat dalam diri perempuan yang duduk di depannya.
Bahwa Song Rahee membuka pintu kelas dengan kasar saat ia kembali dari
perpustakaan, membagikan tumpukan kamus yang dibawanya seraya memasang ekspresi
seolah siap membunuh siapapun yang mengajaknya bicara. Ia lalu kembali duduk
diam tanpa berkutik sedikitpun. Bahkan ketika pelajaran bahasa Inggris yang
lebih pendek dari biasanya, tak henti-hentinya Hyora mendengar Rahee menggerutu
soal tangan Jungkook yang menghalangi pandangannya, diikuti sebuah tendangan
pada kursi lelaki itu.
“Kenapa tidak kita tanyakan langsung saja?”
Setelah ditimang dengan teliti, Hyeso akhirnya
mengangguk. Dengan jantung berpacu ia menilik serius Hyora yang perlahan menepuk
bahu kawan yang bertempat duduk di depannya. Perempuan itu menoleh, disertai
kilatan tajam dalam manik coklatnya.
“Ada apa? Kau terlihat ... seperti orang yang punya
masalah,” tanya Hyora, menggagalkan keheningan yang hampir tercipta.
Rahee mungkin tak menyangka orang lain bisa menyadari
sesuatu yang salah dalam dirinya. Ekspresi dingin gadis itu mencair, ia
menaikkan kedua alisnya heran, bergantian menatap sosok Jung Hyora dan Jung
Hyeso. Setelah berdebat dengan benaknya sendiri selama beberapa saat, keyakinan
bahwa kedua kawan itu bisa dipercaya mulai merambah. Sang gadis menarik napas
panjang sebelum kemudian berucap, “Ini tentang Jimin.”
***
Segera setelah
bel pulang yang terdengar seperti peringatan datangnya kereta api di stasiun berbunyi
nyaring, ayunan tungkai ber-ritme teratur membawa Jimin keluar dari sekolah.
Sebelumnya, ia mencuri lirikan pada perempuan dengan rambut panjang kemerahan
dibiarkan tergerai yang bertempat duduk di sebelah kanannya. Jimin tak ingin
bicara dengan perempuan itu, dan ketidakinginannya bertambah setelah melihat
sang gadis memasang ekspresi tidak ramah.
Pemuda itu sudah akan melengos pulang sehabis mengganti
sepatu indoor-nya jika seseorang tidak menepuk bahunya tiba-tiba.
“Park Jimin!”
Jimin mengenali suara itu, milik perempuan asing yang
tadi sempat bicara dengannya di koridor. Keterkejutannya segera menghilang,
tergantikan oleh perasaan aneh saat menyadari barusanlah kali pertama perempuan
berpakaian rapi itu menyebut namanya.
“Oh, kau masih ingat namaku?”
Kerutan halus terbentuk di dahi sang gadis, terlihat
jelas bahwa ia sedikit bingung atas pertanyaan Jimin. “Tentu saja, mana mungkin
aku lupa. Ah, kau keluar dari kelas cukup cepat, untung aku masih bisa
menyusulmu. Tidak enak rasanya kalau aku harus membuatmu menunggu.”
Kini giliran Jimin yang harus memutar otak. Bergeming
sesaat, akhirnya ia teringat akan janjinya bertemu di Seven Eleven
dengan―tunggu, siapa nama gadis berkepang ini?
“Sialan.”
“Apa?”
Gumaman Jimin terlalu pelan untuk dicerna, tetapi cukup
keras untuk didengar. Dengan wajah memucat ia mulai menggigit bibir.
“A-anu―maaf, tapi aku ada urusan.”
“Uwah―! Tolong, bisa luangkan sedikiiit saja waktumu?” Kedua
tangan gadis itu disatukan tepat di depan wajahnya, memohon dengan sangat. Ada
penekanan jelas sekali pada kata ‘sedikit’, perasaan tidak enak mulai merambah
dalam diri Jimin.
“Maaf, tapi―”
“—Bagaimana kalau kutraktir McFlurry?”
***
“APA!?”
Semua fokus beralih pada Kim Hani yang entah sejak kapan
telah ikut mendengar sesi curahan hati Song Rahee. Kalau boleh jujur, respon
perempuan itu terlalu keras dan mendramatisir, kasihan Hyeso yang merasakan
seruan kaget Hani tepat di telinga. Namun tak satupun dari mereka yang berani
komplain.
“Jadi ... selama ini, Jimin cuma pura-pura?”
Pertanyaan itu kembali meluncur dari mulut Hani, diikuti
decakan lidah Rahee yang tak setuju dengan kata ‘pura-pura’. “Bukan begitu, dia
hanya terlalu bodoh.”
Seolah sangkalan narasumber barusan hanya angin lewat,
Hani malah sibuk mengomel sendiri. “Kurang ajar Park Jimin. Untuk apa aku
khawatir mati-matian kalau dia bakal mati muda? Seharusnya aku tidak mudah
percaya pada laki-laki sialan itu.”
Sementara itu, Hyora dan Hyeso yang sedari tadi setia
menjadi pendengar Rahee masih mencoba mencerna pernyataan panjang perempuan
itu. Tentang Jimin yang ditemuinya saat hendak pergi meminjam kamus, tentang
Jimin yang mau tak mau mengikuti langkah gadis itu ke perpustakaan demi
menghindari Guru Choi, tentang Jimin yang tiba-tiba mengakui hal paling bodoh
dalam hidupnya, dan tentang kenapa nama Min Yoongi tak pernah satu kalipun
disebut oleh Rahee.
Namun, poin terpentingnya adalah pengakuan Jimin. Kalimat
Rahee masih terngiang jelas di telinga keduanya. “Kalian tahu apa yang dia
bilang? ‘Aku mendapat pesan kematian,’ katanya! Bukankah itu hal yang konyol?
Aku sudah berpikir kalau itu sangat konyol, lalu perkataan Jimin selanjutnya
membuatku semakin ingin melemparnya keluar jendela. ‘Rahee, kau ingat tidak
saat aku bertanya apa itu Grim Reaper?’ Setelah aku mengangguk, dia menyuruhku
membuka pesan berantakannya yang belum sempat kubaca.”
Rahee kemudian mengutak-atik ponselnya, menunjukkan pesan
spam dari Jimin yang tertimbun pesan-pesan broadcast.
11.05 PM
From: Jimin
.............................
From: Jimin
.............................
11.05 PM
From: Jimin
Rahee-ya, kau tidak bercanda kan?
From: Jimin
Rahee-ya, kau tidak bercanda kan?
11.07 PM
From: Jimin
Aku aerius, tolong bakas.
From: Jimin
Aku aerius, tolong bakas.
11.10 PM
From: Jimin
Tolong jangan tertawa. Karena kau bilang Grim Reaper itu malaikat pencabut naywa. Dan tadi ada seseorang dengan usrrname Grim Reaper yang mengirim pesan padsju.
From: Jimin
Tolong jangan tertawa. Karena kau bilang Grim Reaper itu malaikat pencabut naywa. Dan tadi ada seseorang dengan usrrname Grim Reaper yang mengirim pesan padsju.
11.11 PM
From: Jimin
Sepertinya ini sebuah pertanda.
From: Jimin
Sepertinya ini sebuah pertanda.
11.11 PM
From: Jimin
Kau sudah todur? Kalau kau membaca ini, kuanggap kau setuju denganku.
From: Jimin
Kau sudah todur? Kalau kau membaca ini, kuanggap kau setuju denganku.
11.12 PM
From: Jimin
Song Rahee, kau orang pertama yang tahu tentang ini. Aku, Park Jimin, akan segera dijemput oleh malaokat kematian, entah itu kapan yang jelas waktuku sudah tidak banyak.
From: Jimin
Song Rahee, kau orang pertama yang tahu tentang ini. Aku, Park Jimin, akan segera dijemput oleh malaokat kematian, entah itu kapan yang jelas waktuku sudah tidak banyak.
11.12 PM
From: Jimin
Kuharap kau tidak sedang menangos. Selamat tidur.
From: Jimin
Kuharap kau tidak sedang menangos. Selamat tidur.
Kini sosok jangkung Kim Hani telah menghilang, dengan
dalih ingin mencari Si Bodoh Park Jimin ia berlari keluar kelas tanpa
menggubris ketiga temannya. Suasana kelas benar-benar sepi, berhubung sudah sejak
tadi bel pulang berbunyi dan semua kegiatan klub diliburkan di hari Jum’at.
Jika tidak karena cahaya senja kemerahan yang menembus jendela, Hyeso tidak
akan tersadar kemudian menepuk pelan bahu Rahee.
“Hari ini pasti berat untukmu, ya?”
Rahee mengangguk pelan. Lalu Hyeso melanjutkan, “Kalau
begitu ... ayo kita makan ramen bertiga.”
***
Alasan kenapa
Jimin berbohong pada Si Gadis Berkepang tentang ‘urusan’ yang menghambatnya
memenuhi janji adalah karena ia sedang tak ingin berurusan dengan perempuan.
Semua berawal dari perempuan yang menendang lututnya―yang sampai sekarang masih
terasa nyeri—seraya menyebutnya orang paling bodoh yang pernah ditemui
perempuan itu, Song Rahee.
Tentu saja Jimin kesal, terlebih ia tak paham arti
perkataan sekaligus perbuatan gadis itu. Ketika Yoongi menepuk bahunya dengan
kepala digelengkan tanda kasihan pun Jimin masih tak mengerti. Ia hanya tahu
bahwa Yoongi sebenarnya menyimpan rasa kesal, oleh karena itu sang pemuda tak
mengucap satu patah katapun melainkan malah ikut meninggalkan Jimin.
Segera setelah itu, dengan kekesalan membuncah Park Jimin
berasumsi bahwa para perempuan itu terlalu rumit untuknya. Persetan dengan
fakta bahwa Rahee adalah sahabatnya, untuk saat ini ia tak ingin berinteraksi
dengan perempuan manapun.
Namun, perempuan lain datang menghancurkan keteguhannya.
Kali ini dengan seragam rapi, rambut panjang dikepang dua, serta manik coklat
yang memancarkan keinginan pantang mundur. Dalam sekali lihat pun Jimin sudah
menduga ia tak bisa membuat gadis yang satu ini goyah. Maka ketika McFlurry
Oreo sudah ada di genggaman Jimin saat ini, tiap kali gadis itu mengungkit
‘urusan’ bohongannya tadi, Jimin berusaha mati-matian untuk mengubah topik
pembicaraan.
Obrolan keduanya sempat ngalor-ngidul. Seperti
angin bulan Oktober yang semakin malam semakin dingin. Tampaknya gadis itu
memiliki strategi untuk perlahan membawa percakapan menuju topik utama secara
bertahap alih-alih langsung menyajikannya mentah-mentah.
Nama gadis itu Youngae. Bukan, ini bukan berkat ingatan
Jimin sekalipun lelaki itu sudah mencoba sebisanya untuk mengingat nama itu.
Bukan pula karena ‘Youngae’ mirip nama komedian di televisi yang sering
ditonton Jimin. Melainkan karena nametag sang gadis yang awalnya
senantiasa terhalangi oleh rambutnya, menjadi terlihat jelas saat kedua
tangannya menggenggam McFlurry seraya berjalan mantap ke arah Jimin yang duduk
manis di dekat jendela.
“Oh, kau bertetangga dengan Rahee? Memangnya rumahmu di
mana?”
Berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman, Jimin
menyebutkan alamat rumahnya. “Komplek Gelato blok F11 tepat di sebelah kiri
toko kelontong. Rumahku berada di belakang rumah tetangga Rahee.”
Youngae mendengarkan dengan saksama, mengangguk-angguk
seraya memasukkan satu suapan McFlurry green tea ke dalam mulutnya.
“Jadi rumah Rahee di mana?”
“Komplek Gelato blok G10. Rumah bercat kuning menyala.”
Sekali lagi Youngae mengangguk-angguk. Ia sengaja
terbatuk untuk memulihkan kepercayaan diri sebelum kemudian berucap, “kau tahu
hubungan Soonyoung dengan Rahee?”
Dengan kedua alis terangkat, Jimin menggeleng pelan.
Tentu saja sejujurnya ia tahu, namun cara Youngae menanyakan hal itu membuatnya
merasa jika berpura-pura tidak tahu akan memunculkan sedikit hal menarik dalam
pertemuannya dengan gadis itu sore ini.
“Yah ... bisa dibilang Soonyoung itu temanku sejak kecil.
Jadi kalau dia menyukai seseorang, aku harus membantunya sebisaku, kan?”
Benar saja, kini Jimin tak menyimpan penyesalan apapun.
Ia telah mendapat McFlurry gratis, seorang teman baru, dan informasi yang jauh
lebih berharga daripada pertanyaan ‘kenapa perempuan itu rumit sekali?’.
Kwon Soonyoung terbukti menyukai Song Rahee.
***
Diam-diam Jungkook
mencuri lirikan ke arah gadis berobsidian hazel yang tengah
berkonsentrasi memilih rasa es krim tepat di sebelahnya. Gadis itu—Park
Choonhee—tak lebih dari lima belas menit lalu menghentikannya yang hendak
melangkah keluar kelas.
“Punya waktu sebentar?”
Dengan susah payah menelan ludah, Jungkook kemudian
mengangguk. Dalam diam ia mengikuti langkah sang gadis yang kelihatannya
bingung menentukan arah ayunan tungkainya sendiri, hingga kemudian ia menoleh
menatap Jungkook yang membeku di belakangnya seraya berucap, “Beli es krim,
yuk?”
Salah satu keuntungan memilih sekolah yang berada tepat
di seberang Seven Eleven adalah tidak perlu jauh-jauh mencari supermarket
jika ingin membeli sesuatu. Jungkook pun meninggalkan sepedanya di sekolah
alih-alih kerepotan mengambil benda itu selagi masih ada Choonhee yang tentu
saja tak mungkin ia biarkan menunggu lama berhubung tempat parkir pasti cukup
penuh.
Pilihan Jungkook sudah jatuh pada es krim coklat, namun
ia lebih memilih menunggu Choonhee mengambil duluan. Kalau kata Namjoon sih, ladies
first.
“Kook, kau suka es krim rasa apa?” tanya Choonhee
tiba-tiba.
“Eh?” Sebelah alis Jungkook terangkat. “Uhm, aku suka
coklat.”
Sama sekali tak diduga oleh lelaki itu, Choonhee akan
mengambil dua bungkus es krim coklat lalu lekas membawanya ke kasir. Jungkook
yang terlalu bingung hanya dibiarkan terbengong di tempat.
“Apa yang kau lakukan di sana?” Choonhee memiringkan
kepalanya dengan sebuah kantung plastik daur ulang berlogo Seven Eleven sudah
berada dalam genggaman tangan kiri. “Jungkook?”
“Oh, iya,” ujar lelaki yang dipanggil. Selagi ia
mengerjap Choonhee sudah mengambil langkah ke depan lalu meraih lengannya,
membawa sang pemuda menuju taman utama sekolah. Jika diingat, di tempat inilah
keduanya saling bertatap muka untuk pertama kali. Meski saat itu Choonhee
menganggap Jungkook sebagai siswa pemalas dengan rambut basah karena peluh.
Sang gadis melepas genggamannya untuk mengambil es krim
di dalam kantung plastik tepat setelah mereka duduk di salah satu bangku taman,
saat itulah Jungkook baru bisa mengendalikan ritme degup jantungnya. Dikelilingi
pepohonan dengan daun-daun yang mulai mengering, suasana sekolah sudah cukup
sepi. Mungkin karena ini hari Jum’at, para murid terdorong untuk segera pulang
ke rumah demi mengawali akhir pekan yang indah.
“Mungkin seharusnya kita beli Slurpee.” Choonhee
bergumam, seraya mengulurkan sebungkus es krim pada Jungkook yang langsung
membalas dengan senyuman manis.
“Tidak apa-apa, aku sudah beli Slurpee kemarin lusa.”
Masih terekam jelas di sudut memori Jungkook, dua hari lalu ia tak sengaja
berpapasan dengan Taehyung di koridor lantai satu setelah kegiatan klub yang
berakhir dengan suit. Siapapun yang kalah harus mentraktir Slurpee, dan
keberuntungan sedang berada di pihak Jungkook kala itu.
Menyobek bungkus es krimnya, Choonhee berkata, “Oh iya
Kook, apa kau yang meletakkan buku catatan biologi di mejaku tadi?”
Manik perempuan itu beralih pada Jungkook yang tengah
menggigit es krimnya, ia sedikit bergidik membayangkan nyeri di gigi yang
dirasakan lelaki itu seandainya ia punya gigi sensitif. “Ah iya. Maaf, terlalu
tiba-tiba ya? Tapi tenang saja, bukan perbuatan ‘makhluk itu’ kok.”
Awalnya Choonhee sedikit bingung, namun akhirnya ia
tergelak mengingat kejadian yang menimpa mereka berdua sehari sebelumnya.
“Justru aku yang ingin minta maaf. Kau mengalami malam yang buruk gara-gara
aku.”
Tangan kiri Jungkook dikibaskan. “Tidak, tidak. Kemarin
itu cuma ... pengalaman baru selama aku hidup enam belas tahun ini.”
Choonhee kembali tertawa, kemudian tanpa pikir panjang
menceritakan masa-masa SMP-nya di asrama bersama Hyeso. Perempuan itu selalu
menjadi orang pertama yang bangun di pagi hari dan berjalan menuju kamar mandi
saat langit masih gelap, jika ditanya kenapa maka Choonhee akan menjawab ia
ingin bertemu makhluk halus. Itulah kenapa dirinya sama sekali tidak merasakan
ketakutan kemarin. Namun saat ia akan menjelaskan detail sosok gelap itu
Jungkook cepat-cepat menyela.
“L-lebih baik tidak kau ceritakan.”
“Kenapa?”
Jungkook menggeleng kuat-kuat. “Kemarin saja aku susah
tidur, aku tidak tahu bagaimana nasibku nanti jika sosok yang kau ceritakan
akan terus membuatku terbayang.”
Ini kali pertama Choonhee melihat Jungkook memasang
ekspresi panik, ia tertawa renyah. “Kalau begitu katakan hal lain untuk
mengubah topik.”
Keheningan sontak menyelimuti. Lelaki itu terlalu serius
menimang-nimang apa yang seharusnya ia katakan, sementara Choonhee menunggu
sambil menghabiskan es krimnya yang tinggal seperempat.
Sebuah pesawat terbang melintas, diiringi bunyi nyaring
meski terdengar dari kejauhan. Kepala Choonhee menoleh ke atas, memandang jejak
awan yang ditinggalkan benda terbang itu ketika tiba-tiba suara Jungkook
mencapai indra pendengarannya. “Apa kau menerima Chanyeol-sunbae?”
Kedua manik hazel perempuan itu membulat sempurna,
tatapannya telah ditujukan kembali pada Jeon Jungkook saat kata pertama
meluncur dari mulut sang pemuda. Namun nyatanya kalimat lengkap lelaki itu
masih terlalu mengejutkan untuknya. Mungkin seharusnya ia tak menoleh tadi.
Atensinya bersirobok dengan milik Jungkook, membuatnya
tak mungkin mengalihkan pandangan tanpa merasa bersalah sedikitpun. Jantungnya
mulai berpacu, sementara rona merah di pipinya semakin kentara tiap detiknya. Tetesan
es krim sedikit demi sedikit jatuh ke tanah kering di bawahnya.
“Tidak.”
“Apa?”
“Aku tidak menerima Chanyeol-sunbae.”
***
Lima menit
berikutnya terasa luar biasa canggung. Tak pernah Jungkook merasakan udara di
sekitarnya seolah mencekiknya dari dalam seperti ini. Lelaki itu memainkan stik
es krim yang sudah habis selagi telunjuk tangan kirinya mengetuk-ketuk bangku
taman dari kayu yang dipoles. Dikumpulkannya keberanian untuk kembali membuka
pembicaraan.
Di sebelahnya, Choonhee menghabiskan es krimnya tak mau
semua berakhir meleleh dimakan tanah. Namun ketika es krim itu sudah habis,
tanpa disengaja stiknya jatuh ke tanah. Sang gadis mendecak sebelum kemudian
membungkuk untuk mengambilnya. Ia hendak beranjak untuk membuang benda itu,
saat sekali lagi terdengar suara canggung Jeon Jungkook.
“Mau kuantar pulang?”
Lelaki itu merutuki mulutnya yang sedari tadi telah
memulai kesalahan beruntun. Choonhee yang tak jadi berdiri kembali memandang
Jungkook dengan ragu-ragu, tapi tak ada alasan untuk menolak tawaran lelaki
itu. Perlahan ia mengangguk, disambut oleh senyuman simpul.
Keduanya mengayunkan tungkai menuju area parkir. Jika
dihitung dengan yang kemarin, baru dua kali Choonhee melakukan hal ini, tapi
seolah deja vu ia merasa seperti sudah setiap hari berjalan memandang punggung
Jungkook yang diterpa mentari senja.
Persis seperti hari sebelumnya, Jungkook akan menaiki
sepedanya, diikuti Choonhee yang menduduki kursi belakang. Lelaki itu akan bertanya
apakah penumpangnya sudah mendapat posisi ternyaman kemudian dibalas oleh
gumaman Choonhee. Ketika sepeda melaju, barulah gadis itu akan menggenggam
bagian samping kemeja sang pemuda untuk berpegangan.
Sore itu sama saja dengan sore-sore lainnya, jalanan
sekitar sekolah tidak terlalu ramai dan langit berwarna kemerahan. Angin bulan
Oktober cukup kencang untuk menerbangkan surai panjang gadis itu.
“Lain kali ikat rambutmu.”
Menjawab pertanyaan itu, sang gadis mengangguk meski tahu
bahwa orang yang bertanya tak mungkin bisa menyadarinya. Fokusnya lebih tertuju
pada frasa ‘lain kali’, entah itu akan terwujud atau tidak.
Jalan menuju rumah Choonhee berlawanan dengan Jungkook,
itulah salah satu hal yang membuatnya heran mengapa Jungkook mau repot-repot
mengantarnya sampai ke depan pintu. Tetapi saat ditanya kemarin Jungkook hanya
menjawab bahwa ia memang suka bersepeda di sore hari, jadi tak masalah jika ia
mengantar Choonhee pulang.
“Kau marah padaku?”
“Hm?” Tadinya Choonhee ingin menanyakan hal yang memenuhi
benaknya tadi, namun Jungkook lebih dulu mengambil start. “Tidak, kok.”
“Pertanyaanku tadi keterlaluan. Maaf. Hanya saja ...
hubunganmu dengan sunbae sedikit menggangguku.”
Memandang jalan beraspal, Choonhee dengan jelas melihat
bayangannya yang menjadi satu dengan bayangan sepeda, dan bayangan Jeon
Jungkook.
“Choonhee-ya, apa kau menonton penampilan kelas
kita saat pentas seni?”
Bunyi roda yang berputar kini dikalahkan oleh ritme
jantung Choonhee. “Ya. Aku melihat rapp Namjoon, Yoongi dan Hoseok. Lalu
... aku melihatmu bernyanyi.”
Kayuhan sepeda yang tadinya stabil mendadak terhenti,
namun roda masih terus berputar. Bagai kehidupan yang tetap berjalan meski kau
berhenti berlari, sepeda itu terus melaju menuruni jalanan dengan rumah
mengelilingi di sisi kanan dan kirinya. Baru ketika roda hampir berhenti
bekerja, kaki Jungkook kembali mengayuh.
Suasana kembali hening, mendorong Choonhee untuk
menanyakan hal yang tadi tak sempat terucap dari mulutnya.
“Kenapa kau ingin mengantarku pulang? Rumahmu kan ke arah
sebaliknya.”
Beberapa detik gadis itu menunggu jawaban, terdengar
Jungkook yang menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Kalimat
selanjutnya lelaki itu membuat jantung Park Choonhee berpacu sama cepatnya
dengan sepeda yang ia naiki.
“Kurasa ... cinta itu tidak butuh alasan.”
***
To Be Continued
To Be Continued
(A/N)
AZEK JUNGKOOK NGEGOMBAL NIH .g
Hehe ... pada kangen aku nggak?:” /sapalu
Maaf ya, aku ngilang berapa bulan gitu wkwk. Baru dapet feel buat lanjutin ff retjeh ini jadi mumpung ide mengalir aku rela sesaat menelantarkan tugas-tugas. Habis ini sih dijamin bakal nugas sampe tengah malem xD
Temen-temen pada minta dipostnya besok, tapi aku takut ga sempet:”D Jadi
gapapa lah malem ini aja~ Maafkan aku kawan-kawan wkwk. Btw itu cover baru
buatan Hyeso uhuk.
Kuharap kalian nggak lupa isi chapter 15 gimana pas baca ini, jadi kalian
nggak bingung gitu apa yang sebenernya dibahas di sini karena aku sendiri
ngerasa semua yang kutulis ini agak ruwet :’v Kuharap juga kalian penasaran
sama lanjutannya KARENA AKU EXCITED BANGET NULIS BAGIAN SOONYOUNG-RAHEE ITU
LMAO TAPI AKU GA SABAR NULIS SCENE YOONGI-RAHEE BELAJAR BARENG BERHUBUNG SCENE
ITU UDAH KUTULIS SEJAK JAUH-JAUH HARI:)
Oke maafkan caps jebol. Oh iya, jangan kuatir sama Jimin karena dia emang
bego terlalu percaya sama takhayul (padahal dia sendiri pelihara kucing item)
sampe ngetik pesan ke Rahee typo semua gitu /har har/ Sekian saya pamit dulu,
selamat pada saudara Jeon Jungkook yang sudah confess ke pujaan hatinya yeee
/tebar bunga/
Comments
Post a Comment