BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 15)


15

Udara dingin mulai membuat Choonhee menggigil. Setelah merapatkan jaket yang dipakainya, ia segera mempercepat langkah. Memasuki area sekolah, jajaran rapi pepohonan menyambut dengan daun-daun kecoklatan tanda telah mengering. Surya di ufuk barat sudah hampir tenggelam sepenuhnya, warna langit didominasi oleh gradasi jingga dan ungu pucat.


Entah apa yang dipikirkannya seharian ini hingga tidak bisa fokus, Choonhee merutuki diri sendiri dalam hati. Seharusnya ia sudah bisa bersantai di rumah sambil melakukan hal-hal menyenangkan seperti meng-edit gambar menggunakan aplikasi editor di ponsel pintarnya, tapi kecerobohannya sendiri menuntut agar ia kembali ke sekolah hanya dengan baju rumah dan jaket tipis di tengah dinginnya musim gugur. Tidak ada waktu untuk berganti pakaian karena dirinya takut gerbang sekolah sudah ditutup saat ia sampai disana.

Gedung utama sudah di depan mata. Tanpa ragu-ragu Choonhee melesat masuk lalu menghampiri deretan rak sepatu menuju loker miliknya, hingga mendadak langkahnya terhenti.
Napasnya masih terengah berkat berlari kecil-kecilan ditambah rasa waswas yang membuat jantungnya berdebar-debar, ketika melihat seseorang berdiri tidak jauh darinya. Orang itu tengah menatap ke dalam loker yang terbuka dengan pandangan menerawang, samar-samar terlihat pipinya bersemu kemerahan. Beberapa detik mata Choonhee tidak berpaling darinya, sampai orang tersebut akhirnya menoleh, seolah terbuyar dari lamunan panjang.

Kini dada Choonhee terasa sesak.

***

Senior bernama Lee Jieun itu telah menyuruh Jungkook untuk menunggu sepedanya kembali di ruang Klub Drama, setidaknya disana masih banyak murid yang sibuk melakukan persiapan hingga larut hampir tiap harinya daripada Jungkook menunggu sendirian tanpa teman mengobrol. Namun lelaki itu lebih memilih obsen kedua karena dirinya tidak ingin mengganggu pekerjaan orang lain sekaligus menghindari kemungkinan iabaikan oleh mereka.

Masih ada level baru Piano Tiles 2 yang harus diselesaikannya, dan pada akhirnya waktu berlalu dengan Jungkook mendapatkan score tiga mahkota di tiap level. Tetapi tetap saja, duduk di bangku kayu panjang dekat pintu masuk gedung utama sekolah selama hampir satu jam cukup untuk membuat punggungnya pegal. Ketika ia tengah berdiri untuk meregangkan otot-otot yang mulai kaku, seseorang memanggil namanya.

“Jeon Jungkook!”

Jieun dari arah pintu masuk yang terbuka lebar berlari ke arah Jungkook, persis seperti saat Jungkook pertama kali melihatnya satu jam lalu.

“Terima kasih pinjamannya.” Tangan Jieun yang memegang sebuah kunci dengan gantungan Iron Man terulur, dan langsung diterima oleh Jungkook. Perempuan itu tersenyum.

“Menunggu lama, ya?”

Jungkook gelagapan. Sejujurnya ia memang menunggu cukup lama, tapi hatinya tidak tega untuk mengatakan yang sebenarnya. “Tidak juga ... matahari belum terbenam, kok.”

Bagaikan perempuan yang sudah berpengalaman dengan laki-laki bertahun-tahun lamanya, Jieun tertawa renyah. Sementara juniornya malah merasa suasana telah menjadi semakin canggung.

“Apa yang harus kulakukan sebagai tanda terima kasih?”

“Eh?” Bola mata Jungkook melebar. “Tidak perlu, sunbae! Sungguh!”

“Benarkah?”

Jungkook mengangguk mantap. Jieun mempertemukan kedua telapak tangannya, menimbulkan suara tepukan yang cukup keras. Senyuman masih tersungging di bibirnya. “Baiklah kalau begitu! Aku benar-benar berterima kasih, Jeon Jungkook. Duluan, ya~!”

Kaki Jieun berayun, mulai merajut langkah menjauh dari tempat Jungkook masih berdiri. Saat posisinya berada tepat di sebelah Jungkook, tangan kirinya terangkat menepuk bahu pemuda itu. Jungkook yang tidak mengantisipasi adanya kontak tubuh secara tiba-tiba hanya bisa membiarkan rasa semacam tersetrum menjalar dari bahunya, diikuti detak jantung yang mendadak berpacu.

Butuh waktu beberapa detik sampai Jungkook tersadar dirinya telah berdiri mematung sementara Jieun sendiri menghilang di ujung koridor. Menghembuskan napas lemah, ia kembali melangkah ke arah pintu keluar. Semakin cepat sampai ke rumah semakin baik.

Namun, sekali lagi Jungkook tidak menyadari. Bahwa sedari tadi pipinya sedikit bersemu kemerahan, dan ia kembali melamun selama kurang lebih lima detik di depan loker sepatu yang terbuka sementara Park Choonhee memandangnya dengan iris mata membulat sempurna.

Ketika ia menoleh, tahu-tahu saja pandangan mereka bertemu. Perempuan itu tetap iam. Jungkook terpaksa memulai pembicaraan guna mengusir suasana canggung yang memuakkan, sementara rona merah di pipinya semakin kentara.

“Umm ... hai?”

Seolah baru saja ditunjuk guru matematika untuk mengerjakan soal yang sulit di depan kelas, Choonhee mengerjap beberapa kali. “Hai....”

***

Tepat setelah Choonhee berkata bahwa dirinya rela kembali ke sekolah hanya untuk mengambil buku catatan biologi yang tertinggal di laboratorium, Jungkook segera menawarkan diri untuk menemani perempuan itu dengan alasan peran sebagai teman laki-laki yang baik.

Gadis itu berjalan cepat, diburu oleh waktu. Sementara Jungkook satu meter di belakangnya bingung antara harus menyamai langkah kecil Choonhee atau tetap menjaga jarak. Cahaya senja yang semula bersinar menembus jendela koridor perlahan tenggelam di ufuk barat, menyisakan penerangan samar di sepanjang jalan yang dilewati keduanya. Beruntung mereka tak perlu menaiki tangga, setelah berbelok di tikungan depan ruang guru pintu laboraturium terlihat dalam jarak beberapa meter.

“Tunggu!” Tangan Jungkook terulur, menyentuh pelan bahu Choonhee. Gadis itu berhenti, kepalanya berpaling ke arah Jungkook sebelum ia menyipitkan mata guna memperjelas pandangan di tengah koridor tanpa jendela yang hanya diterangi satu buah lampu di ujungnya.
“Ada apa?” tanya Choonhee.

Melirik singkat ke arah pintu lab di kejauhan, Jungkook menggigit bibir. “Biar aku yang ambilkan, kau tunggu di luar saja.”

Tanpa menunggu jawaban, lelaki itu kembali mengayunkan tungkainya. Choonhee hanya bisa terpaku kemuian baru menyusul saat Jungkook sudah memutar kenop pintu. Melongokkan kepala ke pintu yang kini terbuka lebar, Choonhee disapa oleh ruangan gelap gulita berisi lemari-lemari kaca dan meja yang berjajar rapi.

“Dimana kau menaruh bukumu?”

Sejujurnya Choonhee tidak ingat, ia berpikir bisa menemukannya dengan mudah jika mengecek satu persatu kolong meja. Namun dengan pencahayaan ruangan yang bisa dibilang hampir tidak ada, justru ia menjadi semakin bingung.

“A-aku lupa,” ucapnya sambil menggigit bibir. “Yang jelas tadi aku duduk di deretan paling kiri.”
Setelah mengangguk singkat, tanpa ragu-ragu Jungkook melangkah masuk. Ia merogoh saku, mengeluarkan ponsel untuk mengaktifkan fitur flashlight sementara Choonhee menuruti kata-kata lelaki itu agar tetap menunggu di ambang pintu.

Cahaya dari ponsel Jungkook cukup terang hingga titik dimana seluruh ruangan kini terlihat setidaknya lebih jelas dari sebelumnya, segera ia berjalan menuju deret meja paling kiri dan mulai menunduk, menengok pada setiap kolong meja.

Atensi Choonhee teralihkan dari Jungkook saat indra pendengarannya menangkap sebuah suara langkah kaki dari ujung koridor. Seseorang datang. Mulanya pelan, namun kemuian bunyi sepatu yang menapak di lantai itu semakin keras. Tanpa sadar Choonhee menahan napas. Melihat seorang siswi berpakaian casual berdiri mematung di depan lab biologi yang gelap gulita mungkin bukan hal yang menyenangkan.

Seiring dengan makin jelasnya bunyi itu, Choonhee mulai berpikir mungkin seharusnya ia ikut masuk ke dalam lab. Dengan paru-paru yang hampir kehabisan oksigen ia kembali menarik napas. Ia mengayunkan kaki kanan ke depan bersamaan dengan menolehkan kepala ke arah ruangan bercahaya remang-remang. Ketika giliran kaki kirinya berayun, ia membeku di tempat.
Terdengar pekikan tertahan dari mulut Park Choonhee.

Sontak Jeon Jungkook mengangkat kepalanya setelah baru saja memeriksa kolong meja kelima. Kurang lebih lima meter dari tempatnya berdiri, Choonhee tengah membungkam mulutnya dengan kedua tangan dan mata melebar kaget. Pandangan gadis itu tertuju padanya.

“Ada apa, Choonhee-ya?”

Tangan kanan gadis itu berpindah posisi dengan cepat. Kini telunjuknya iacungkan, mengarah ke Jungkook yang spontan mengerutkan dahi bingung.

“Di belakangmu, Jungkook....”

Keringat dingin meluncur melalui pelipis Jungkook, jantungnya berpacu dua kali lebih cepat sementara ia mengepalkan tangannya yang mulai bergetar. “Jangan bercanda. Tolong.”

Kepala Choonhee bergoyang pelan. Dari kilatan matanya semua orang tahu kalau gadis itu berkata jujur. “Ada siluet seseorang― Bukan, sesuatu berdiri di samping lemari kaca tepat di belakangmu.”

Seberani apapun Jeon Jungkook yang menjadi orang paling antusias ketika akan melakukan bungee jumping, ia tetaplah manusia biasa yang bisa merasakan takut. Choonhee bisa menyadari wajahnya yang pucat pasi disinari cahaya ponsel di genggamannya.

“Besar dan tinggi sekali, Kook. Warnanya hitam, dan bentuknya seperti―”

Sebelum Choonhee sempat menyelesaikan kata-katanya, Jungkook sudah berlari secepat kilat menghampiri sang gadis lalu menarik tangannya keluar dari ruangan itu.


***


“Bagaimana dengan buku catatanku?”

Jungkook terdiam, menyandarkan punggung pada loker sepatu dengan dada naik-turun. Ia masih berusaha meredakan deru napasnya tetapi pertanyaan Choonhee berhasil menerobos masuk ke benaknya kemudian berputar-putar di dalam sana. Bagaimana perempuan itu bisa memikirkan buku catatan biologi ketika mereka berdua baru saja mengalami kejadian ‘mistis’? Apa ia tadi hanya membohongi Jungkook?

Setelah berhasil bernapas dengan normal, Jungkook membenarkan posisinya berdiri menghadap Choonhee. Ia berdehem, membersihkan tenggorokannya yang sedikit serak. “Kau tadi benar melihatnya, bukan?”

Dengan dahi berkerut samar, Choonhee mengangguk mantap.

“Benar? Kau tidak sedang bercanda?”

Seketika kerutan itu terlihat jelas, guratan wajah gadis itu berubah menjadi sedikit tidak suka. “Kenapa, sih? Kau tidak percaya? Apa perlu kita kembali ke sana lagi?”

“T-tidak!” Kedua tangan Jungkook melambai tidak setuju, berpindah ke depan dadanya. “Kumohon jangan, aku percaya padamu!”

Choonhee mengulum senyum, ia menganggukkan kepala. “Bagus. Jadi sekarang bagaimana nasib buku catatanku?”

Suasana kembali hening. Jungkook tidak tahu harus menjawab apa, ia tak punya jalan keluar, yang ada di pikirannya hanyalah menghindari lab biologi sebisa mungkin. Lelaki itu menggigit bibir, manik hitamnya dengan jelas menyiratkan ketidakinginan untuk kembali ke tempat mengerikan tadi.

Melihatnya, Choonhee benar-benar tidak tega. Belum pernah ia melihat Jungkook memasang ekspresi takut seolah ibunya baru saja mengancam akan membuang console game miliknya jika ia tetap mendapat nilai buruk di ujian minggu depan.

Otak Choonhee berputar. Pelajaran biologi selanjutnya adalah besok lusa, jika ia mengambil buku sialan itu besok mungkin tidak apa-apa ia memotong jam tidur untuk mengerjakan tugas. Sekali lagi, bibir perempuan itu membentuk kurva tipis.

“Ya sudah, tidak usah dipikirkan. Akan kuambil besok saja.”

“Eh?” Manik Jungkook melebar, ia tidak mengatakan apapun tapi perempuan yang berdiri di hadapannya ini bisa menebak apa yang dipikirkannya. Hatinya kini dipenuhi kelegaan, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan ia tidak akan melangkahkan kaki ke ruang laboratorium.

Dengan senyum sumringah, Jungkook meraih tangan kanan Choonhee. “Kalau begitu, kuantar pulang, oke?”


***


Tidak semua murid menggemari materi olahraga bertema kelentukan tubuh yang biasa dilakukan di lapangan indoor. Memang, ada yang begitu bersemangat karena berolahraga di bawah sinar matahari yang menyengat terkadang bisa sangat menyebalkan. Ada pula penggila materi olahraga outdoor semacam Hani dengan obsesinya pada basket. Tapi, iantara kedua kubu tersebut selalu ada sebuah penengah, baik outdoor maupun indoor jika sama-sama olahraga tetap saja tidak ada sisi menariknya.

Hal yang tidak biasa hari ini adalah guru olahraga memutuskan untuk menggabungkan jam pelajaran semua kelas tingkat pertama dan membagi mereka menjadi dua kelompok. Kelas A-C tengah beruntung karena mereka ditempatkan di lapangan indoor, terhindar dari angin musim gugur yang kerendahan suhunya tidak bisa dibilang biasa-biasa saja. Sementara kelas D-F justru sebaliknya. Banyak yang berkata kau butuh Jeon Wonwoo di kelasmu untuk mendatangkan keberuntungan, terlebih semenjak popularitas kelas 1-C meningkat karena penampilan pentas seni tempo hari. Walaupun tentu saja ada yang tidak setuju dengan opini itu, Lee Hwarin contohnya.

Sambil menunggu guru yang kini tengah berurusan dengan siswa-siswi di lapangan outdoor, kebanyakan memilih untuk melakukan pemanasan dengan cara masing-masing, termasuk Min Yoongi yang menerapkan sistem stretching dengan berbaring terlentang di lantai tanpa menghiraukan Hoseok yang sedari tadi menendang-nendang kaki rampingnya.

Di sudut lain ruangan, dua pasang netra kini terkunci pada sebuah objek. Menilik tiap gerakan yang dibuat Park Jimin dalam iam, Hani dan Hyeso nampaknya sudah sama profesionalnya dengan agen FBI. Lelaki itu tertawa renyah melihat Taehyung mencoba sebuah hula hoop di tengah ruangan, kemuian berganti memberi contoh cara memakainya dengan benar pada Taehyung.

“Bagaimana menurutmu, Hye?”

Orang yang ditanyai menelan ludah, kemuian menggeleng lemah. “Tidak. Masih berbeda dengan biasanya.”

Hani hanya bisa kembali memfokuskan diri pada Jimin. Jelas sekali laki-laki itu berusaha bersikap normal, tetapi tetap saja butuh usaha lebih untuk melakukannya disaat tiap detik bayang-bayang berakhirnya kehidupan terus menghantuimu. Baik Hani maupun Hyeso mengerti, kalau Jimin bermain hula hoop sambil berpose menyapu rambutnya ke atas dengan salah satu tangan itu berarti ia sedang dalam keadaan ‘normal’. Namun, kali ini ia bahkan tidak menyentuh surai hitamnya barang satu kalipun.

Ketika kumpulan laki-laki itu mengganti topik mereka dari hula hoop menjadi memperhatikan Seokjin yang sedang melakukan posisi kayang, Hani dan Hyeso sepakat untuk berhenti menatap ke arah mereka karena melihat orang dalam posisi kayang selalu mengingatkan keduanya pada The Exorcist.

“Menurutmu apa kita benar-benar harus membantu Jimin?” tanya Hani setelah merubah posisi duduk menjadi berhadapan dengan Hyeso.

“Tentu saja,” ujarnya dengan ekspresi datar dan manik yang sedikit menyiratkan rasa heran.
Hani melirik jari telunjuknya yang kini mengetuk lantai dengan ritme teratur, seolah berpikir dua kali tentang apa yang hendak dikatakannya. “Keinginannya sedikit sulit dikabulkan....”

Selama kurang lebih lima detik udara dipenuhi keheningan. Hingga Hyeso akhirnya berucap, “mau bagaimana lagi, kita sudah berjanji padanya ‘kan?”

Kemuian atensi keduanya teralihkan pada suara peluit yang ditiup oleh Sang Guru Olahraga.


***


Sama sekali tidak ada kesiapan dalam hati Park Jimin ketika tiba-tiba dua orang teman sekelasnya menghampiri tempatnya berbaring terlentang di lapangan indoor seraya berseru, “Kita akan menjadikan keinginanmu nyata, Jim!”

Pelajaran olahraga yang sedikit berat baru saja selesai, Jimin ingin sekali menikmati dinginnya lantai lapangan dengan berguling-guling di sana. Namun Hani dan Hyeso seolah tidak suka melihatnya bahagia dengan mengacaukan ketenangannya.

Ia tak tahu betul apa yang hendak dilakukan kedua perempuan itu, apapun itu pasti bukan hal yang baik. Murid dari kelas A hingga kelas C satu-persatu mulai meninggalkan ruangan. Masih dalam posisi yang sama, Jimin membiarkan kedua kelopak matanya jatuh, netranya tertutup lalu ia menghela napas.

“Jim.”

Sebuah suara memaksa Jimin untuk membuka kembali matanya. Ia menyipit, mendapati Min Yoongi berdiri sambil menundukkan kepala ke arahnya. “Tidak kembali ke kelas?”

Kerutan halus terbentuk di dahi Jimin. Jika dipikir-pikir, jam pelajaran olahraga akan dilanjutkan dengan jam istirahat jadi tidak ada salahnya jika dirinya berlama-lama di sini, toh ia sedang tidak ada mood untuk pergi ke kantin.

Dijawab oleh gelengan pelan dan Jimin yang melanjutkan kegiatan setengah-tertidurnya, rasa malas Yoongi tergerak sehingga lima detik kemuian dirinya sudah ikut tergeletak tidak jauh dari tempat Jimin berbaring.

Hembusan angin masuk melalui pintu menuju lapangan outdoor yang terbuka lebar, dinginnya lantai bisa terasa menembus kain seragam olahraga. Semula segalanya terasa tenang hingga Yoongi merasa pilihannya untuk ikut baring-baring bersama Jimin bukanlah hal yang buruk. Detik berlalu cepat, menit berlalu semakin cepat, Yoongi berpikir ia mungkin akan bolos pelajaran bahasa Inggris ketika terdengar langkah kaki terburu-buru mendekatinya.

“Jimin-ah! Bangun!” Sebuah suara berucap cukup keras.

Oh, ternyata Jimin, batin Yoongi. Untunglah ia tidak jadi mendongak untuk melihat siapa yang datang, orang-orang itu mencari kawan yang tidur di sebelahnya ini, bukan dirinya dan jelas bukan urusannya.

“Jim! Woi! Bangun!”

“Bisa-bisanya kau tidur di sini? Jaga image sedikit, dong!”

“Kau mau aku menendang wajahmu agar kau bangun sekarang, huh?”

“Hey, kebo!”

Berusaha untuk kembali fokus pada relaksasinya, Yoongi mengabaikan semua bunyi-bunyian di sekitar. Namun, suara kelewat keras milik dua orang perempuan untuk membangunkan Jimin yang sedang tidak ingin tidurnya diganggu cukup ampuh untuk menembus pendengaran Yoongi kendati biasanya tak akan ada yang bisa melakukan hal tersebut.

“Bisa diam tidak?”

Kedua mulut itu bungkam, atensi mereka kini teralihkan pada Yoongi yang baru saja menginterupsi aksi mereka dengan mata terpejam.

“Bisa kau pergi dari sini?”

Mendengar kalimat barusan, netra Yoongi otomatis terbuka lebar. Seperti dugaannya, kedua suara menyebalkan itu adalah milik Kim Hani dan Jung Hyeso, yang kini tengah menatap jengkel ke arahnya dengan tangan terlipat di depan dada.

Bangkit, ia kini berada dalam posisi duduk di lantai. “Permisi? Atas dasar apa kalian berdua mengusirku?”

“Seseorang yang penting akan datang ke sini sebentar lagi dan kehadiranmu sungguh benar-benar sangat tidak dibutuhkan,” jawab Hani, menekankan suaranya dalam tiga frase bermakna sama yang terkesan tidak efektif di telinga Yoongi. Jika Rahee berada di sini perempuan itu mungkin akan mengomel bahwa Hani hanya melakukan pemborosan kata.

Tidak, bukan saatnya untuk memikirkan perempuan itu. Yoongi membuang napas pelan lalu balas menatap tajam dua orang yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk. “Memang siapa orang ‘penting’ itu? Presiden Obama? Tidak bisakah kalian menggunakan ungkapan yang lebih sopan?”

“Keluar atau kami injak betismu yang sepucat mayat itu.” Kini giliran Hyeso yang mengancam.

“Tidak.”

Hani mendecakkan lidah, ia menolehkan kepala ke arah kawannya. Ketika kedua manik mereka bertemu, Hani memberi kode apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Hyeso mengangguk. Sementara Yoongi sedikit bergidik melihatnya.

Detik berikutnya kedua gadis berjiwa ‘laki’ itu menarik tangan pucat Min Yoongi, memaksa lelaki yang tak bertenaga itu berdiri kemudian mendorongnya kasar ke arah pintu keluar secara paksa. Jimin yang menyadari terjadi keributan saat teriakan marah Yoongi masuk ke indra pendengarannya lekas membuka mata lalu bangkit dalam keterkejutan.

Di tengah jalan, Hani menoleh ke belakang seraya berteriak, “TETAP DI TEMPATMU, JIM! KUPERINGATKAN KAU! ATAU KAU AKAN MERASAKAN BOLA BASKET MELAYANG KE KEPALAMU BERKALI-KALI!”

Bulu kuduk Jimin berdiri, seolah ada yang bernapas tepat di belakang lehernya. Ia belum pernah diancam oleh perempuan sebelumnya, dan tidak terpikirkan olehnya dirinya akan takut pada ancaman dari kaum hawa. Hanya saja, bayangan tentang Hani yang melempar bola basket ke arahnya dengan membabi-buta cukup mengerikan, dan ia punya keyakinan bahwa hal itu benar-benar bisa terjadi di dunia nyata.

Lebih baik ia menuruti perkataan Kim Hani.


***


Telunjuk Jimin mengetuk-ketuk lantai, kedua tangannya digunakan untuk menopang tubuh dari belakang sementara pandangannya tertuju pada lantai jingga lapangan indoor yang mengilap. Sudah sepuluh menit sejak tiga teman sekelasnya pergi keluar meninggalkannya sendirian, dan berarti sudah sepuluh menit pula ia melamun di tempat. Benaknya terbang bagai kelopak bunga dandelion yang tertiup angin, mencari tempat baru untuk tumbuh.

Kenapa Hani melarangnya pergi? Mau sampai kapan ia disuruh menunggu sesuatu yang bahkan tidak pasti di sini? Dan kenapa pula ancaman perempuan itu harus sebegitu mengerikan hingga membuatnya mau tidak mau menurut? Jimin tidak paham.

Ketika sepasang kaki berbalut sepatu putih dengan pinggiran berwarna hijau berhenti tepat di depannya, seolah angin yang sedari tadi meniup pikirannya tiba-tiba saja mati. Jimin mendongak, netranya menangkap sosok perempuan cantik bersurai hitam panjang tengah tersenyum manis padanya.

“Hai, Jimin!”

Dengan susah payah, orang yang disapa menelan saliva. “Jieun sunbae?”

“Tadi ada temanmu yang berkata kalau kau mencariku. Mereka bilang kau ada di lapangan indoor, jadi aku ke sini.”

“Apa?”

Kurang ajar, batin Jimin. Sudah ia duga, Hani dan Hyeso merencanakan sesuatu yang buruk. Memang, baik untuk mereka, tapi tidak untuk Jimin. Memberitahukan perasaannya pada kedua perempuan itu bukan keputusan yang bijak. Ia memang bilang ingin mengungkapkannya pada gadis yang ia sukai, namun tentu saja bukan seperti ini caranya.

“M-maaf sunbae, tapi aku tidak mencarimu. Sepertinya dua orang tadi hanya sedang iseng,” ucap Jimin, sebisa mungkin tidak terdengar gugup.

Sekilas, terlihat ekspresi kecewa dalam paras cantik Jieun. Cepat-cepat Jimin menambahkan, “Maafkan aku, sungguh! Teman-temanku memang seperti itu.”

“Tidak, tidak apa-apa.” Jieun menggeleng. “Aku juga ingin berterima kasih, kalau tidak ada temanmu kemarin mungkin aku harus membawa dua kantung besar cucian ke laundry dengan berjalan kaki.”

“Ah, itu. Aku bersyukur Jungkook membawa sepeda kemarin.” Jimin memaksakan seulas senyum kendati pipinya terasa sedikit kaku.

Perempuan itu mengangguk, kurva masih setia terbentuk di bibirnya. “Sampaikan ucapan terima kasihku, ya?”

“Baik, sunbae. Akan kukatakan padanya nanti.”

“Terima kasih.”

Tiga detik yang terasa panjang diisi oleh keheningan. Ketika Jimin hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, aksinya didahului oleh Jieun.

“Umm ... boleh aku minta kontak LINE temanmu itu? Kurasa aku juga harus mengatakan terima kasih secara langsung, lagipula aku mengembalikannya saat hari sudah hampir gelap kemarin.”
Mulut Jimin masih terbuka ketika Jieun mengatakan permintaannya, ditambah kini netra lelaki itu melebar mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir Jieun yang berwarna senada dengan pipinya. Tiba-tiba bel berbunyi nyaring, dan Jimin bahkan belum sempat menjawab atau menutup mulutnya.

“Aduh, aku harus pergi. Kirimkan nanti, ya?”

Gadis itu berpaling, rambutnya sedikit terkibar menimbulkan wangi shampoo yang sampai di hidung Jimin. Dengan langkah cepat ia berlari kecil ke arah pintu, melambai ke arah Jimin lalu menghilang.

Ketika Jimin mengatupkan mulutnya yang sedari tadi menganga, sudah terlambat untuk menyangkal fakta bahwa gadis yang ia suka tampaknya malah menyukai teman dekatnya sendiri.


***


Berurusan dengan perempuan itu menyebalkan, tetapi berurusan dengan perempuan yang menyerupai laki-laki lebih menyebalkan lagi. Mereka sama ributnya dengan perempuan lain, tapi tenaga mereka setara dengan laki-laki yang bisa membuat pipimu bengkak jika terkena kepalan tangan mereka. Yah, setidaknya Yoongi bersyukur ia tidak merasakan tinju itu.

Hani dan Hyeso menarik-ulur Yoongi hingga mereka setidaknya berjarak dua puluh lima meter jauhnya dari lapangan indoor sekolah, tentunya dengan perdebatan tiada henti selama perjalanan.

“Menurutmu melakukan ini mudah? Lebih baik kau diam daripada kami semakin kesusahan!” teriak Hyeso dengan nada suara sedikit ditinggikan.

“Perduli setan! Tidak ada yang menyuruh kalian menarikku seperti ini!”

“Kurang ajar—“

“Sudah, Hye. Kita berhenti di sini saja.”

Jika Hani tidak memotong umpatan Hyeso barusan mungkin kaki Yoongi sudah menjadi korban ditimpa kaki perempuan itu. Beruntung bagi Yoongi, Hyeso lekas melepaskan tangannya dari lengan lelaki itu seolah akhirnya ia bisa berhenti menyentuh sesuatu yang lebih menjijikkan daripada air selokan. Sementara Hani di belakang berhenti mendorong punggung Yoongi dengan ogah-ogahan.

Hani mulai mengayunkan tungkai dan berhenti di sebelah Hyeso. “Kami mengampunimu kali ini, Min Yoongi.”

“Memangnya aku salah apa?” tanya lelaki itu masih dengan nada kesal.

“Kau salah fatal,” jawab Hyeso. “Tidak seharusnya kau berada bersama Jimin ketika kami akan mengabulkan keinginan terakhirnya.”

Kedua alis Yoongi bertautan. Kata-kata Hyeso terdengar sedikit ganjil di telinganya. “Apa maksudmu? Memangnya Jimin mau mati, apa?”

“Kau tidak tahu?”

Hani balas bertanya dengan manik sedikit melebar, dan Yoongi yang cukup pintar untuk menyimpulkan pertanyaan itu dengan semua hal yang telah terjadi kini terlampau kaget dengan mata sipitnya membulat sempurna.


***


“Rahee-ya! Giliranmu meminjam kamus di perpustakaan!”

Ketika kalimat perintah dari Hwarin sampai di telinga Rahee, mau tak mau ia bangkit dari kursinya dengan jengkel sambil menggerutu pelan. Seharusnya, ini jadwal piketnya bersama Namjoon. Tetapi sudah terhitung dua hari lelaki itu absen karena sakit. Sejujurnya ia tak ingin menyalahkan Namjoon, hanya saja membawa tumpukan kamus dari perpustakaan di lantai satu ke kelasnya di lantai dua bukan pekerjaan yang mudah.

Bel masuk bahkan belum berbunyi, tapi Hwarin sudah bersikeras bahwa semakin cepat meminjam maka semakin baik. Rahee hanya bisa berjalan terseok-seok keluar kelas tanpa mencoba meminta bantuan teman-temannya, lebih baik tidak bertanya daripada langsung ditolak mentah-mentah.

Koridor cukup sepi, mungkin karena hampir semua murid tengah berada di kantin. Rahee bersyukur setidaknya tidak akan ada murid brutal yang menabraknya saat membawa tumpukan kamus ketika ia sampai di ujung tangga paling atas dan melihat seseorang tengah berjalan menaiki tangga itu.

Rahee ingin berbalik, berlari secepat mungkin kembali ke kelas. Namun sebelum ia sempat memutar tubuhnya ke belakang, orang itu berseru, “Rahee-ya!”

“H-hai...,” jawabnya sambil tersenyum singkat.

Dengan kecepatan meniti tangga yang bertambah, kini lelaki bersurai pirang itu sudah berdiri tepat di depan Rahee. “Kau mau kemana?” tanyanya singkat.

“Pinjam kamus.”

Senyuman lelaki itu merekah, melihatnya tanpa sadar Rahee menahan napas. “Mau kutemani?”

Sial.

Ingin sekali rasanya Rahee mengangguk, tapi berada dekat-dekat dengan lelaki ini bisa membahayakan jantungnya. Ini bahkan lebih membingungkan dibanding harus menjawab mana yang lebih bagus antara Mozart atau Chopin.

Iya, atau tidak?

“WOI, SOONYOUNG!”

Kedua sejoli itu menoleh di saat yang bersamaan. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, seseorang yang terlihat familiar di mata Rahee kembali berteriak, “cepat bersihkan tumpahan jus di bawah bangkumu atau kupanggilkan Guru Park!”

“Eheheh....” Terdengar kekehan pelan dari mulut Soonyoung.

Sebelum ia akhirnya berlari menghampiri temannya, Soonyoung sempat mengucapkan beberapa patah kata sambil melempar senyumnya. “Maaf, ya? Sampai jumpa!”


***


Dengan telapak tangan di dalam saku, Yoongi berjalan gontai melalui koridor lantai bawah. Destinasinya adalah ruang kelas, namun setengah hatinya sangat ingin kembali ke lapangan indoor. Ia ingin menemui Jimin, menghampiri lelaki itu dan menanyakan segala hal yang berkelebat dalam benaknya saat ini.

Sayangnya, Duo Tomboi yang sedari awal membawanya menjauh dari Park Jimin melarangnya melakukan hal itu. Mereka beralasan bahwa pilihan terbaik adalah meninggalkan Jimin sendirian, keinginan Yoongi bisa ditunda sebentar. Tapi tetap saja Yoongi merasa tidak lega.

Kaki kanannya menapak di anak tangga pertama. Lalu, bagai mencium aroma pinus di tengah kebun bunga, lamunan Yoongi mendadak terbuyar. Lelaki itu menoleh ke kanan, benar saja, kehadiran seorang gadis telah mengacaukan fokusnya.

“Rahee?”

Sang gadis yang baru saja menyelipkan rambut ke telinga sontak menoleh. “Oh, Yoongi?”

“Mau pergi kemana?”

Pertanyaan yang sama dilontarkan pada Rahee untuk kedua kalinya. Kali ini, ia mengulum sebuah senyum. “Perpustakaan. Hwarin menyuruhku meminjam kamus.”

Mulut Yoongi membulat bersamaan dengan berbunyinya bel masuk. “Mau kubantu? Tidak mungkin kau membawa semua kamus berat itu sendirian, ‘kan?”

“Sungguh?” Alis Rahee terangkat, ia mengangguk semangat. “Tentu saja!”

Sebuah senyuman terbentuk di bibir Yoongi, keduanya mulai berjalan beriringan dalam hening yang menyejukkan. Untuk sesaat Yoongi melupakan beban pikirannya yang menyangkut Jimin tadi.

“Yoon, sadar tidak kau selalu muncul saat aku butuh bantuan.”

Orang yang ditanyai menoleh, sesaat pandangan mereka bertemu. “Benarkah? Kalau begitu kau berhutang banyak padaku.”

“Benar juga....” Tentu, Yoongi hanya bercanda. Tapi Rahee yang sudah merasa terlalu merepotkan lelaki itu terlalu serius untuk menganggap kata-kata Yoongi hanya sebuah candaan. “Katakan, apa yang bisa kulakukan untuk membalas budi?”

Sekilas, lelaki itu terlihat kaget. Namun kemudian ia tertawa renyah. “Kalau begitu, bantu aku mengerjakan tugas sastra besok.”


***
To Be Continued



(A/N)

Haloooo lama tak berjumpa~ Terima kasih penantian pajangnya huhu;; Aku merasa bersalah banget. Moon maafkan author yang pemalas dan ga bisa bagi waktu ini.

Aku kembali dengan chapter baru yang agak panjangan yey. Cukup menjelaskan beberapa hal tapi aku pingin kalian ikut menyimpulkan sendiri apa maksudnya:) /diinjek readers/ Btw baru kali ini aku nulis horror walaupun di sini cuma nyempil. Iya, 'sesuatu' yang dilihat ChoonKookie itu beneran, gatau deh caraku nulis seremnya bisa nyampe atau engga. Kayaknya engga deh h4h4/?

Sekali lagi a massive thank you buat yang udah ngikutin dan terus support ff abal ini. Mohon maaf jika aku banyak salah. Semoga kalian tetap penasaran sama chapter selanjutnya.

Bhay~

Comments

  1. the exorcist... :'v
    sesuatu yg diliat choonkookie beneran serius? kok serem.-. btw pose nya jimin pas main hula hoop bikin ngakak😂😂
    ditunggu part selanjutnyaa/?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya he aku trauma lihat orang kayang sekarang.
      Percaya atau engga yg ngasih ide horror itu seagull sendiri.
      Wkwk dia kan emang suka berantakin rambut gitu. Terinspirasi dari intan dewi juga😂
      Makasih komennya say😘💕

      Delete

Post a Comment