BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 14)
14
Mungkin hari inilah yang biasa disebut
dengan hari terpanas di musim panas. Satu-satunya cara agar keringat tidak
terus mengalir di pelipismu adalah dengan berdiam diri di depan mesin kipas
angin yang kincirnya terus berputar. Konsekuensi dari menghabiskan liburan
tahun ini di rumah paman Hyora adalah tidak ada AC.
“Hoseok-ah, kau
mau semangka dingin?” sosok bibi Hyora muncul dibalik pintu geser bergaya kuno,
persis seperti semua pintu lain di rumah itu.
Dengan
semangat, Hoseok beranjak dari posisinya menghadap kipas angin sambil
mengangguk mantap.
“Ambil sendiri
di dapur, ya? Bibi harus pergi ke toko.”
Sepeninggal
bibi baik hati itu, Hoseok dengan langkah ringan berjalan menuju tempat yang
disebut. Di tengah jalan dia baru teringat pada kawan yang memaksanya berlibur
bersama dengan alasan ini adalah tahun terakhir mereka di sekolah dasar, Jung
Hyora. Kemana perginya perempuan berambut ekor kuda itu?
Paman Hyora
menikah dengan wanita Jepang sehingga mereka menetap di negara asal wanita itu,
tepatnya di Saitama. Hoseok tidak tahu Saitama bagian mana, yang jelas jauh
dari kota. Sepanjang perjalanan yang dilakukannya hanya tidur. Biasanya dia
akan bersikap over-excited dan membuat Hyora mengomelinya, tapi kali
ini tenaganya terkuras habis saat menaiki pesawat terbang karena itu adalah
kali pertamanya melakukan perjalanan udara.
Mereka
menangkap kunang-kunang di halaman lalu bermain monopoli sampai larut semalam,
hingga akhirnya Hoseok bangun lebih siang daripada biasanya. Saat itu bibi
Hyora dengan lembut membangunkannya (tentu saja dengan bahasa Korea minimalis)
lalu menyuruhnya sarapan. Ketika ditanya, bibi Jung mengatakan kalau Hyora
pergi ke kebun bersama pamannya.
Udara sangat
panas bahkan di dalam ruangan, Hoseok tidak ingin menyiksa diri sendiri dengan
sengatan matahari di luar sehingga dia mengurungkan niat untuk menyusul Hyora.
Sebaliknya, bocah lelaki itu mengambil posisi telungkup di depan kipas angin
sambil membaca Detective Conan. Entah dirinya tadi sempat tertidur sebentar
atau tidak, yang jelas sekarang sudah lewat tengah hari.
Apa Hyora sudah
pulang? Mungkin sudah, tapi Hoseok tidak melihat tanda-tanda keberadaan baik
Hyora maupun pamannya di rumah itu. Dia tengah berpikir apakah bibi Jung sudah
memotongkan semangka untuknya atau dia harus memotong buah itu sendiri, ketika
matanya menangkap sosok seorang perempuan yang mengenakan yukata
putih.
Bukan di depan
matanya, melainkan di dalam ruangan yang sepertinya adalah tempat bibi Jung
menyimpan barang-barangnya. Pintu ruangan itu tidak tertutup sepenuhnya, memberi
sedikit celah untuk mata Hoseok yang tajam.
Kedengaran
seram memang. Melihat perempuan berambut panjang dengan pakaian tradisional
Jepang di dalam ruangan yang dipenuhi lemari tua. Jika saja Hoseok tidak
menyadari postur tubuh kecil perempuan itu, atau jika saja perempuan itu
berdiri membelakanginya, mungkin Hoseok sudah berlari jauh-jauh detik itu juga.
Tinggi
perempuan itu kira-kira sama seperti Hoseok, hanya saja tidak sampai
melebihinya. Dia berdiri menghadap sebuah lemari yang terbuka, posisinya
memungkinkan Hoseok untuk melihat wajahnya dari samping. Jelas saja itu Jung
Hyora.
Kapan perempuan
itu pulang? Kenapa Hoseok tak tahu? Mungkin itu seharusnya yang ada di
pikrannya, namun Jung Hoseok hanya bergeming. Terlalu terpesona.
Ini kali
pertama dirinya melihat Hyora mengurai rambut panjangnya, dan memakai yukata yang
terlihat sangat cocok untuknya. Hyora yang memakai hanbok saja Hoseok
tidak pernah tahu. Jujur saja, baru kali ini Hoseok berpikir teman perempuannya
itu .... cantik?
“Hoseok? Sedang
apa berdiri disitu?”
Suara berat
pria paruh baya mengagetkan Hoseok setengah mati. Setelah terlonjak, dalam
posisinya yang tidak pas dia hendak menoleh, namun kepalanya berakhir terbentur
keras pinggiran pintu. Saat itu juga dirinya dilanda pusing luar biasa,
campuran efek cedera dan udara panas. Kemudian semuanya berubah gelap.
Malam itu
Hoseok terlalu sakit untuk mengiyakan ajakan Hyora ke Festival Musim Panas di
pusat desa.
***
Mata Rahee terasa berat, tinggal menghitung detik sebelum perempuan itu
menyerah membaca kata demi kata dalam Anne of Green Gables yang dia
pegang kemudian membiarkan kelopak matanya tertutup dengan sendirinya. Hanya
saja proses perlahan-tapi-pasti itu terhalang oleh suara benda yang bergetar
tepat di sampingnya, di atas meja marmer kecil tempat Rahee meletakkan ponsel.
Tanpa berpindah dari posisi
ternyamannya di sofa, Rahee meraih benda persegi itu. Di layar yang menyala
secara otomatis tiap kali ada pesan masuk, tertulis jelas nama ‘Jimin’.
From : Jimin
Grim Reaper itu apa?
Grim Reaper itu apa?
Kenapa Jimin menanyakan hal
seperti itu? Rasa kantuk Rahee untuk sementara hilang, dengan cepat dia
mengetik balasan untuk pesan Jimin. Lebih tepatnya meng-copypaste alamat
dari sebuah situs internet sih.
Keputusan yang buruk untuk
tertidur di sofa ruang tengah hingga Ayahnya yang pulang dari bekerja
membangunkan Rahee dan menyuruhnya melanjutkan tidur di kamar. Jadi setelah
melipat ujung halaman 112, perempuan itu mulai berjalan menuju kamarnya. Kaki
kanannya baru melangkah ke anak tangga pertama saat ponselnya bergetar sekali
lagi.
From : Jimin
Situs itu isinya bahasa inggris semua, Ra. Aku bukan Namjoon.
Situs itu isinya bahasa inggris semua, Ra. Aku bukan Namjoon.
Benar juga,
batinnya dalam hati. Menurutnya memberi informasi detail dalam satu pesan
singkat bisa lebih efektif, tapi dia melupakan fakta kalau Jimin bahkan tidak
bisa melafalkan “Excuse me” dengan benar. Sambil menaiki satu demi satu
anak tangga, Rahee kembali mengetik pesan baru.
To : Jimin
Garis besarnya, Grim Reaper itu malaikat pencabut nyawa. Sudah ya, gaya gravitasi tempat tidurku kuat sekali.
Garis besarnya, Grim Reaper itu malaikat pencabut nyawa. Sudah ya, gaya gravitasi tempat tidurku kuat sekali.
Kini tempat tidur yang disebut-sebut
sudah ada di depan mata. Sebelum meletakkan ponsel di atas meja belajar, Rahee
memencet tombol untuk mengubah benda itu menjadi mode silent, antisipasi
kalau-kalau ketidakpekaan Jimin kambuh lalu lelaki itu membanjiri Rahee dengan
pesan-pesan lain.
Dan memang hal itulah yang
terjadi.
***
Terlihat dua orang siswi tengah berdiri di koridor depan kelas mereka,
bertopang dagu dengan masing-masing siku bertumpu pada sisian jendela besar
yang terbuka lebar. Manik mereka menilik pemandangan di luar dalam diam. Yang
satu sibuk menggigiti sedotan susu stroberi kemasan, sementara yang satunya
sibuk mengunyah permen karet.
Mereka adalah Kim Hani dan Song
Rahee. Mengabaikan hembusan angin bulan Oktober ditambah suhu pagi hari yang
cukup dingin, kedua perempuan itu tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Menunggu bel masuk ternyata cukup membosankan jika mereka datang terlalu pagi.
Semakin dipikirkan, Rahee semakin
merasa takut. Belakangan ini pergi ke sekolah cukup membuat perasaannya waswas,
teringat kembali akan hari diselenggarakannya pentas seni. Sebaiknya dia segera
membuka pembicaraan dengan Hani daripada harus terus-terusan memikirkan
skenario tidak terduga yang ditakutkannya.
“Bagaimana hubunganmu dengan
Taehyung?”
Hani menoleh saat temannya mulai
berbicara, tanpa sadar dia tersenyum simpul. “Baik. Dia mengajakku ke taman
kemarin lusa.”
Hanya direspon dengan anggukan,
Hani kembali menyahut. “Kau sendiri?”
“Ha?”
“Duh,” membenarkan posisi berdiri,
Hani menurunkan tangan kanan yang tadinya dia pakai untuk menopang dagu.
“Belakangan ini kau dekat dengan cowok kelas F itu ‘kan?”
Tenggorokan Rahee tercekat.
Ternyata selama ini Hani cukup memerhatikan hubungannya dengan Soonyoung.
Mendadak susu stroberi di tangannya yang tinggal seperempat itu membuat Rahee merasa
mual.
“Ada rasa, ya?”
Rona merah menghiasi pipi Rahee,
cukup untuk menjadi jawaban dari pertanyaan Hani barusan. Menurut Hani sih
begitu. “Sudah lama atau baru-baru ini?”
“Kurasa .... sudah lama,” Rahee
menolehkan kepala ke arah temannya lalu tersenyum. Dia cukup bisa mempercayai
Hani. Siapa tahu perempuan itu bisa membantunya, ‘kan?
Mata Hani sedikit melebar,
menunjukkan keterkejutannya. “Wow. Sejak kapan? Kenapa aku tidak tahu?”
“Tentu saja aku
menyembunyikannya,” ujar Rahee sambil terkekeh pelan. “Kita bertabrakan di
koridor. Lucunya, saat itu dia sedang cegukan. Jadi karena dia sudah
memberitahuku jalan menuju ruang Klub Sastra, sekalian saja aku memberinya
minuman.”
Tidak pernah terpikir oleh Hani
jika seorang Song Rahee mengalami pertemuan dengan laki-laki yang disukainya
se-klise itu. Kalau di film komedi yang pernah ditontonnya sih, tabrakan
memicu cinta. Klise sekali bukan?
“Kau membelikannya minuman?”
sebelah alis Hani terangkat.
Samar-samar terlihat dahi Rahee
sedikit mengerut. “Bukan. Kau tahu setiap hari aku membawa botol air mineral,
‘kan?”
Kini alis kiri Hani ikut diangkat,
sedetik kemudian sebuah cengiran terbentuk di bibirnya sementara dirinya
berusaha sedikit menahan tawa.
“Indirect kiss?”
***
Gelagat Jimin hari ini aneh.
Biasanya lelaki itu rajin sekali
berlarian di koridor walaupun sudah ditegur Guru Lee, atau mungkin sekedar
mengekori Jungkook kemanapun dia pergi. Dia selalu ikut serta menjahili Yoongi
bersama Taehyung dan menjadi orang kedua yang paling sering ribut karena hal
kecil di kelas (setelah Hoseok tentunya). Jimin sehari-hari sangat ceria. Namun
kali ini dia datang dengan ekspresi datar, memasuki kelas tanpa menyapa seluruh
temannya satu-persatu, kemudian duduk di bangkunya dengan posisi kepala di atas
meja.
“Ada apa denganmu?”
Pertanyaan itu meluncur dari mulut
Taehyung, membuat Jimin spontan mendongakkan kepalanya. Keduanya bertemu
pandang, manik hitam Jimin menyiratkan sesuatu yang tidak bisa Taehyung pahami.
Seperti .... putus asa?
“Taehyung-ah ....”
Nada bicara Jimin membuat Taehyung
takut. Dia menelan ludah, firasatnya mengatakan kalau Jimin akan memberitahunya
sesuatu yang buruk.
“A-apa?”
“Kurasa umurku tidak akan lama
lagi.”
Hampir-hampir Taehyung tersedak
salivanya sendiri, kata-kata Jimin melebihi skenario terburuk yang tadi
dipikirkannya. “Mwo!? Apa maksudmu!?”
“Kubilang, umurku tidak akan lama
lagi,” Jimin mendecak sambil kembali menenggelamkan kepalanya ke meja.
“Bagaimana bisa? Darimana kau
tahu? Tolong bilang kau cuma bercanda.”
Jimin menghela nafas sebelum
mengangkat kepalanya lagi dengan susah payah, menatap kawannya dengan ekspresi
yang belum pernah dia buat sebelumnya.
.
Kali pertama Rahee menyadari ada yang aneh pada Jimin adalah saat jam keempat,
tepatnya pelajaran geografi. Ketika Guru Yoon memberikan intruksi untuk
membentuk kelompok berpasangan putra-putri, Rahee yang sedari tadi tidak pernah
berani menolehkan kepala ke kiri langsung menghilangkan rasa takutnya dan
menatap ke arah Jimin lekat-lekat. Namun disambut dengan ekspresi datar Jimin yang
tengah melamun cukup untuk menciutkan kembali nyali perempuan itu.
“Ada apa?” tanya Hyeso heran,
mereka seharusnya bergegas pergi ke perpustakaan mengikuti Guru Yoon yang sudah
lebih dulu keluar tapi Rahee malah berhenti tepat di depannya.
“A-aku belum mendapat pasangan.”
“Eh?” Hyeso menaikkan sebelah
alisnya. “Bukannya biasanya kau bersama Jimin?”
Kini Rahee menggigit bibir
bawahnya, tidak dapat berkata-kata. Ketika dia melirik sekilas ke arah orang
yang disebut, Hyeso cukup paham untuk mengikuti arah lirikan itu. Terlihat Park
Jimin yang masih berada di posisi yang sama dengan ekspresi yang sama pula.
Rasa-rasanya seolah ada aura gelap di sekitar lelaki itu.
“Umm .... Bagaimana kalau kau
berpasangan dengan Yoongi—“
Ucapan Hyeso seketika terhenti ketika
Rahee memasang ekspresi panik, hampir-hampir ingin berteriak “AHH JANGAN!”
namun untungnya perempuan itu masih sadar diri kendati sosok Min Yoongi belum
pergi meninggalkan kelas layaknya mereka.
Hyeso mengedarkan pandangan,
mencari siapa kira-kira orang yang belum memiliki pasangan. Rahee sudah sering
membantunya dalam banyak hal dan sekarang dia merasa harus membalas perbuatan
perempuan itu sekalipun rasanya sedikit merepotkan. Ketika netranya menangkap
seorang Jeon Jungkook yang menyibukkan diri dengan sketsa kupu-kupu yang sedari
tadi dikerjakannya, Hyeso rasa dia sudah menemukan target.
Perempuan itu menepuk bahu Rahee
kemudian menunjuk Jungkook dengan dagunya, terkesan menganggap remeh. Sementara
Rahee berusaha untuk tidak mengeluhkan Jungkook yang pasti tidak akan serius
dalam mengerjakan tugas dan hanya menghabiskan waktu bermain Piano Tiles 2 atau
menggambar sketsa lain.
.
Melihat tumpukan buku-buku baru di perpustakaan mengingatkan Hani akan
sesuatu. Segera dia menilik seisi ruangan sejauh jarak pandangnya, mencari
sosok gadis berambut panjang bernama Jung Hyeso. Dia sudah hampir menyelesaikan
The Hunger Games seri pertama yang dipinjamnya dari perempuan itu,
selagi masih ingat Hani harus menanyakan apakah Hyeso punya seri lanjutannya.
Ketika orang yang dicari ditemukan
diam-diam memasukkan beberapa bungkus snack ke loker meja mengabaikan
peraturan ‘dilarang membawa makanan atau minuman ke dalam perpustakaan’, tanpa
pikir panjang Hani menaut langkah mendekatinya.
“Hyeso-ya!”
Orang yang pertama menoleh adalah
Rahee yang duduk di sebelah kanan Hyeso, diikuti Seokjin yang duduk di sebelah
kiri, baru kemudian Hyeso sendiri.
“Oh, Hani! Kau tahu ada apa dengan
Jimin?”
Hyeso yang tadinya sudah akan
menjawab panggilan Hani kembali mengatupkan bibirnya setelah Rahee memotong
pembicaraan yang bahkan belum dimulai itu.
“Jimin? Kenapa dia?”
“Dia bertingkah aneh hari ini.”
“Benarkah?” Hani mengerutkan
keningnya, Park Jimin yang bertingkah aneh adalah hal yang tidak biasa. Ketika
matanya menangkap sosok Kim Taehyung lewat tidak jauh dari tempatnya berdiri,
segera dia memanggil lelaki itu. “Ya! Kim Tae!”
Taehyung menoleh, bergantian
memandang Seokjin-Hyeso-Rahee dan Hani kemudian menunjuk dirinya sendiri seolah
berkata ‘kau memanggilku?’.
“Iyaa, cepat kesini!”
Mengikuti intruksi Hani, lelaki
itu berbalik dan menghampiri meja mereka. “Kenapa memanggilku?” tanyanya dengan
wajah heran.
“Kau tahu ada apa dengan Jimin?”
kali ini Hani mengulang pertanyaan Rahee yang tadinya ditujukan untuknya.
Bukannya menjawab, Taehyung malah
bergeming. Dibalasnya semua tatapan penasaran empat orang di depannya itu
satu-persatu, seolah ragu ingin mengatakan isi hatinya. Tangan lelaki itu
bergerak gelisah sebelum akhirnya mulutnya berucap, “Kalian tidak tahu?”
Mereka menggeleng serentak.
“Umur Jimin tidak akan lama lagi.”
***
Tepat setelah pantat Hyora menyentuh permukaan kursi dan tumpukan buku yang
dia bawa mendapatkan singgasana di atas meja, hal pertama yang dilakukannya
adalah memasang earphone lalu memutar ‘Good Girls – 5 Seconds of
Summer’. Hoseok yang sedari tadi menilik pergerakan perempuan itu tersenyum
tipis. Hyora tidak pernah berubah.
“Kita disini untuk mengerjakan
tugas geografi, bukan mendengarkan musik diam-diam.”
Sekalipun fokus Hyora
hampir-hampir tersedot pada suara indah dan petikan bass Calum Hood, teguran
Hoseok cukup keras untuk membuat Hyora menoleh kemudian tersenyum jahil. “Kau
mengerti aku lebih suka belajar sambil mendengarkan musik, ‘kan?”
“Sejak kapan kau suka band punk
rock?”
Pertanyaan itu dilontarkan Hoseok
setelah dirinya tanpa diduga menarik lepas bagian kanan earphone Hyora
dan memasang benda itu di telinga kirinya.
Yang ditanyai hanya mengendikkan
bahu, memindahkan sisi earphone yang tadinya dipakainya di sebelah kiri
menjadi kanan. “Aku tidak pilih-pilih musik, yang penting enak didengarkan.”
Hoseok tidak menanggapi pernyataan
itu. Menurutnya gadis yang duduk di sebelahnya itu memang masih sama seperti
dulu, tidak akan melewatkan satu haripun tanpa mendengarkan musik random
yang disukainya, kecuali poin tentang bertambahnya genre punk rock ke
dalam list.
Sambil mengetuk-ketukkan ujung
kaki ke lantai keramik perpustakaan, jari Hoseok terus bergerak membolak-balik
halaman buku. Ketika lantunan musik berganti menjadi ‘Ice Cream Cake – Red
Velvet’, Hyora membuka pembicaraan seiring dengan kepala Hoseok yang mulai
bergoyang kesana-kemari mendengar salah satu lagu favoritnya.
“Ingat saat kita liburan musim
panas ke Finlandia?”
Gerakan Hoseok spontan terhenti,
kepalanya menoleh ke arah Hyora sembari memasang ekspresi bingung. “Kita tidak
menang undian liburan ke Finlandia sekalipun perbedaan angka kupon pemenang
dengan kupon kita hanya berbeda satu digit, oke?”
Hyora mungkin akan tertawa
keras-keras jika tidak ingat mereka sedang berada di perpustakaan. “Baik, baik.
Ingat saat kita liburan musim panas di rumah pamanku?”
Masih dengan suara member Red
Velvet berdengung di telinga, Hoseok mulai menopang dagu di tangan kanannya.
“Tidak juga, sih. Aku sakit saat suhu udara sedang berada di titik
paling panas, pengalaman buruk itu membuatku hanya sedikit mengingatnya.”
“Ah, benar juga. Kau pasti
menyesal tidak ikut ke Festival Musim Panas,” Hyora ikut bertopang dagu.
“Kembang apinya tetap terlihat
dari kamar, kok.”
“Benarkah?” tanya Hyora, diikuti
anggukan antusias Hoseok.
Sekalipun ingatan tentang musim
panas kali itu tidak terlalu jelas, tapi pemandangan kembang api yang dilihat
Hoseok benar-benar membekas. Sampai saat inipun, setiap melihat kembang api
Hoseok pasti akan teringat malam itu. Miris memang, tapi keindahan langit kala
itu cukup untuk menghibur Hoseok yang tengah duduk diatas futon-nya
merasakan kepalanya terus berdenyut-denyut.
“Saat itu kau sakit kenapa, sih?”
Manik hitam Hoseok melebar
mendengar pertanyaan barusan. Serasa ada segenggam buah plum yang tersangkut di
tenggorokannya. Kenapa Hyora menanyakan sesuatu diluar dugaan? Bukankah ketika
Hoseok berkata tentang ingatannya yang buruk setidaknya akan membuat gadis itu
mengurungkan niat untuk menanyakan hal yang mengharuskan Hoseok menggali ingatannya
lebih dalam?
“Sebenarnya aku khawatir sekali
saat kau pingsan ....”
Eh?
“Tunggu. Kau ada dimana saat aku
pingsan?”
Jantung Hoseok berpacu dengan
ritme tak karuan. Entah seberapa tinggi suhu udara di Saitama empat tahun lalu
saat mereka berlibur kesana, yang jelas perkara kepala terbentur pintu saat itu
membuat Hoseok menganggap apa yang dia lihat mungkin percampuran antara nyata
dan tidak nyata. Seperti saat udara terlalu panas di gurun Sahara, orang pasti
akan melihat apa yang disebut dengan fatamorgana.
“Maksudmu? Yang jelas aku sudah
pulang dari kebun,” jawab gadis itu sambil menautkan alisnya.
Berusaha menetralkan detak
jantungnya, Hoseok berpikir mungkin ini saat yang tepat untuknya memastikan
kebenaran.
“Hyora-ya .... Apa aku pernah
menceritakanmu tentang seorang perempuan dengan yukata putih yang satu
hari kulihat di musim panas?”
“Tidak,” ujarnya sambil masih
mengerutkan kening. “Tapi kau selalu menggunakan cerita itu setiap kali harus
menulis essai fiksi, bagaimana aku bisa tidak tahu?”
Hoseok tersenyum gugup lalu
menggaruk pipinya yang tidak gatal, berharap tidak ada barang sedikitpun rona
merah disana. “Berarti kau tahu kalau perempuan yang kumaksud itu sangat.. Ekhem..
Cantik, dan aku menyukainya.”
“Iya. Tapi menyukai sosok
perempuan yang kau lihat di hutan itu seram, tahu,” Hyora membenarkan posisi
duduknya, kini bersandar pada sandaran kursi.
“Aku ingin bilang, mungkin itu
memang kejadian nyata. Tapi sebelumnya, aku tidak bertemu perempuan itu di
hutan dan aku mengenalnya dengan cukup baik.”
Hyora terlihat sedikit terkejut.
“Oh. L-lalu?”
“Boleh aku bertanya sesuatu?” Hoseok
yang sedari tadi menatap pena antik Hyora yang tergeletak di meja seolah benda
itu adalah hal paling menarik di dunia kini menatap gadis itu, membuat mata
mereka saling beradu.
“Saat aku pingsan kau berada di
rumah, ‘kan?”
Orang yang ditanyai mengangguk
pelan.
“Jadi .... Selama ini kau tahu
kalau perempuan ber-yukata putih yang kulihat di ruangan Bibi saat itu
adalah kau?”
Sekali lagi, Jung Hyora
mengangguk.
***
“Apa yang dikatakan Taehyung
benar, Jim?”
Memilih untuk melanjutkan melahap
puding karamel, orang yang ditanyai hanya bergumam tidak jelas antara itu “Iya”
atau “Tidak”.
“Dilihat dari caranya makan puding
sepertinya itu bohong.”
Hampir-hampir Jimin dibuat
tersedak karena perkataan Hyeso, entah kenapa bagi Jimin perempuan itu seperti
tidak senang melihat dirinya bisa makan enak. “Tidak usah sirik hanya karena
kau kehabisan stok puding karamel.”
Hyeso mungkin akan menyangkal
perkataan Jimin dengan tegas seandainya dia tidak teringat akan tujuan utamanya
menghampiri lelaki itu.
“Persetan dengan puding karamel.
Yang dikatakan Taehyung tadi benar atau tidak?”
Jimin selesai melahap sendok
terakhir, akhirnya menoleh ke arah Hyeso dan Hani. “Benar kok.”
Keduanya bergeming. Dengan susah
payah menelan ludah kendati tenggorokan mereka terasa tercekat. “J-jangan
bercanda,” Hani yang pertama buka suara.
Hanya dengan tatapan kosong Jimin,
mereka yakin jika lelaki itu tidak mungkin menjadikan perkara semacam ini
sebuah candaan. “Apa ada yang bisa aku dan Hyeso lakukan untukmu?”
“Ha?”
“Kau tahu, semacam keinginan
terakhir?”
.
“Kenapa Namjoon tidak masuk hari
ini?”
Yoongi mengendikkan bahu. “Tidak
tahu. Yang jelas kata Lee-saem dia sakit,” jawabnya singkat.
Choonhee merasa jawaban itu tidak
membantu, dia sendiri juga tahu kalau Namjoon sakit karena tadi pagi Guru Lee
memang memberitahukan berita itu dengan lantan di depan kelas. Perasaannya
semakin aneh saat menyadari Hwarin langsung terdiam seribu bahasa saat dirinya
menanyakan tentang Namjoon ke Yoongi.
Dan perasaannya menjadi lebih aneh
lagi saat netranya menangkap dua teman dekatnya kini malah berdiri disamping
meja tempat Park Jimin makan siang disaat dirinya mengira kedua orang itu akan
membanjirinya dengan beribu pertanyaan mengenai kejadian beberapa hari lalu.
Tepat saat dia akan bertanya sejak
kapan Hyeso dan Hani dekat dengan Jimin, Hwarin membuka mulut. “Lagipula,
kenapa kau makan siang bersamaku, huh? Kenapa tidak bersama Hyeso?”
Choonhee tersenyum. “Tidak boleh?
Aku sedang menghindari Hyeso, dan dia pasti lebih ingin makan siang bersama
pacarnya.”
Mata Hwarin melebar, dia berhenti
mengunyah mackerel dan memilih untuk menoleh ke arah Choonhee.
“Pacarnya?”
“Kau tidak tahu?” tanya perempuan
itu polos, diikuti gelengan Hwarin. “Hyeso kan baru jadian dengan Seokjin.”
Mendengar itu, seolah ada duri
ikan mackerel yang tiba-tiba masuk ke tenggorokan Hwarin. Bahkan Yoongi
yang duduk di depan mereka pun hampir saja tersedak jus jerus yang diminumnya.
***
Baru kali ini Jungkook merasa
kegiatan klub benar-benar melelahkan. Biasanya dia tidak akan kehilangan
semangat barang sepersen pun, barulah rasa lelah akan terasa saat dirinya
menghempaskan diri ke sofa ruang tengah di rumah. Namun kali ini perasaan itu
sudah menjalar di tubuhnya tepat saat ketua klub Dance mengatakan latihan
mereka cukup untuk hari itu.
Hal yang patut disyukuri adalah,
hari ini Jimin tidak bersikap over padanya entah kenapa. Apapun itu
Jungkook terlalu lelah untuk mencari tahu alasannya.
Mereka berjalan bersama menuruni
tangga lantai tiga dengan Hoseok yang masih ceria seperti biasa di belakang dan
Choonhee yang hanya terdengar suara langkah sepatunya di belakang Hoseok.
Jungkook tengah berpikir dirinya
cukup beruntung karena tidak perlu lagi menempuh perjalanan antara rumah dan
sekolah dengan berjalan kaki saat seseorang berlari di sepanjang koridor dan
hampir menabrak Jimin tepat saat lelaki itu menapakkan kaki di anak tangga
terakhir.
“Sunbae?”
Sang siswi yang dipanggil dengan
embel-embel senior tersebut tadinya telah berhenti dan hendak meminta maaf
sebelum Jimin lebih dulu mengenalinya.
“Oh, Jimin! Kebetulan sekali!”
ujarnya dengan wajah sumringah, sekalipun nafasnya sedikit tidak teratur
kendala berlari-lari di sepanjang koridor lantai dua. Dia menyelipkan surai
hitam panjangnya ke balik telinga. “Apa kau membawa sepeda?”
Jeda dua detik sebelum Jimin
menjawab. “Tidak, untuk apa?”
“Kau tahu sekolah kita lolos
menuju babak semi-final lomba teater, ‘kan? Aku harus membawa tumpukan kostum
ke laundry hari ini juga, dan aku butuh pinjaman sepeda.”
Jungkook berharap dia memilih
untuk pergi lebih dulu saat Jimin memulai pembicaraan dengan kenalannya, tapi
saat menyadari kalau perempuan bersurai hitam itu adalah pemeran utama dari
beberapa drama yang pernah dipentaskan di sekolah Jungkook mau tidak mau
terpana sesaat. Namun dia menyesalinya saat barusan Jimin meliriknya hati-hati.
“Temanku, Jungkook, membawa
sepeda.”
Kini lirikan itu berubah menjadi
tatapan dari Jimin diikuti siswi senior yang berdiri di depannya, senyuman yang
terukir di bibir perempuan itu menambah kesan anggun pada dirinya.
“Namaku Lee Jieun dari kelas 3-A,
boleh aku meminjam sepedamu?”
Semua terjadi begitu cepat. Jimin
menatap Jungkook penuh harap seolah membantu siswi bernama Jieun itu menyangkut
hidup dan mati. Sementara Jungkook tenggelam pada mata indah perempuan itu
kemudian tanpa sadar mengangguk pelan.
***
To Be Continued
To Be Continued
(A/N)
Tolong jangan kubur aku hidup-hidup /apa
Awalnya aku mau bikin chapter ini jelasin hubungan Jungkook-Choonhee juga, tapi ternyata gacukup h4h4/?/ Maaf banget kalau mengecewakan atau ada banyak hal yang kalian gapaham aku sendiri juga gangerti kenapa jadi bingungin gini /hah
Gara-gara Hoseok nih aku jadi seneng dengerin Ice Cream Cake. Btw makasih gaes viewers blog udah 8k :"""")
Jangan sungkan nanya, termasuk kenapa mendadak ada mbak IU muncul di akhir-akhir gitu /sal
Comments
Post a Comment