[What a Waste of a Lovely Night: #02] Momental dalam Gerak Roda
[What a Waste of a Lovely Night: #02]
Momental dalam Gerak Roda
Kim Taehyung & Sofie Krantz (OC)
HindiaBelanda!Au
Historical, Romance
Momental dalam Gerak Roda
Kim Taehyung & Sofie Krantz (OC)
HindiaBelanda!Au
Historical, Romance
a fanfiction by hvnlysprng
[Disclaimer: Cerita ini hanya fiksi
belaka. Fakta-fakta sejarah diambil dari berbagai sumber yang dipadukan dan
belum tentu kebenarannya. Penggunaan Bahasa Belanda berkat bantuan Google
Translate tidak sepenuhnya akurat.]
∞
Januari 1942
Ditemani sebuah payung putih
gading tertutup di genggaman dan floppy
hat berwarna senada, Sofie melangkah cepat melewati genangan air yang
memenuhi halaman belakang rumahnya. Sepatu gadis itu basah terkena cipratan air
di sepanjang jalanan kota Batavia. Matahari sudah setengah tenggelam, hanya
terlihat cahaya jingganya mencuat dari ujung langit barat, namun seperti biasa
dokar-dokar masih beroperasi memenuhi jalan diiringi para pengendara sepeda dan
pejalan kaki.
Sofie mempercepat langkahnya
terus menuju utara, sesekali menengok ke belakang kalau-kalau ada sosok yang ia
kenali tertangkap pandangan. Dekat Hotel des Indes, beberapa dokar berhenti di
depan jalan masuk selagi alunan musik klasik terdengar melalui radio dari dalam
restoran. Tepat ketika sebuah trem berhenti tak jauh dari sana, sang gadis
sekali lagi mengedarkan pandangan ke sekelilingnya sebelum kemudian melompat
masuk ke salah satu gerbong. Ia baru bisa bernapas lega saat kereta listrik itu
berguncang, mulai bergerak perlahan-lahan, membawa Sofie yang duduk di sedikit
ruang tersisa pada kursi panjang membelakangi jendela.
Lampu-lampu mulai menyala di
beberapa bangunan yang terlihat dari balik jendela, sementara seorang petugas
juga ikut meniupkan api dari batang korek ke sumbu lampu di tiap sudut gerbong.
Kala itulah Sofie sadar, ini akan menjadi malam yang panjang.
Selepas mengibas-ngibaskan
ujung rok di mana mulai terbentuk pola percikan lumpur, gadis itu meletakkan
payung dari genggamannya kemudian membuka buku yang sedari tadi dibawanya
dengan sebelah tangan satunya. Ah, Sofie pikir payung itu tidak akan berguna
jika menilik mendung yang sekonyong-konyong merayap semakin jauh. Menghela
napas, ia mulai mengeja lanjutan kalimat yang terakhir terbaca di ingatannya.
Sementara jarum jam terus
beputar, gerbong penuh sesak itu berkali-kali terguncang, memuntahkan keluar
selusin orang sepanjang dua kali ia sampai di pemberhentian.
“Ken ik jou ergens van?” (Apa aku mengenalmu dari suatu tempat?)
Mendongak, Sofie mendapati
sesosok lelaki yang balas menatapnya dengan sepasang manik sebiru langit malam.
Tanpa setitikpun keraguan, ia balas menjawab, “ja. Ik denk het wel.” (Ya. Kurasa begitu.)
Entah sudah berapa lembar
halaman habis dibalik jemari lentik gadis itu, gerbong nyaris kosong dengan
pemandangan semakin gelap di luar cukup untuk menandakan berpuluh-puluh menit
telah berlalu. Malam bertambah malam dan kini hanya tersisa lima orang
penumpang trem, termasuk Sofie dan lelaki itu. Tanpa ada niatan mengecek
arloji, sang gadis menutup bukunya lalu mulai menstabilkan napas.
“Tuan, kita pergi ke sekolah
yang sama.”
Sang pemuda mengerutkan kening,
masih menatap lekat-lekat wajah Sofie yang sedikit tertutup topi lebarnya barangkali
mencoba mengingat-ingat apakah paras khas Belanda itu memang familiar di
memorinya. “HBS?” tanya lelaki itu, dibalas oleh anggukan singkat. “Kalau
begitu, kau tahu namaku?”
“Natuurlijk.” (Tentu saja.) Bibir peach gadis itu membentuk segaris kurva tatkala nama si pemuda
meluncur bebas dari sana. “Tuan Kim.”
Sebelah alis keemasan milik
lelaki itu terangkat. Segurat keterkejutan masih tersisa pada paras tampannya
namun melihat sang gadis tersenyum mau tak mau membuatnya ikut menarik sudut
bibir. “Sayangnya, aku tidak mengenal Nona ini. Tapi kurasa kita juga berada di
tingkat yang sama, bukan?”
“Sofie Krantz. Kelas lima.
Tingkat yang sama tapi kelas yang berbeda.”
Taehyung mengangguk. “Tidak
banyak murid yang tersisa di tahun terakhir, jadi aku pasti pernah melihatmu
saat sedang melukis di sekitar sekolah.”
Ya, Sofie tahu.
Sofie selalu tahu saat Taehyung
berdiam di satu titik di antara luasnya area Hoogere Burgerschool (HBS),
terkadang ditemani kanvas besar atau sekedar lembaran kertas sketsa. Bagaimana
lelaki itu terfokus pada kegiatannya seolah seluruh dunia tersedot ke dalam
seperangkat alat melukis dan sudut kecil di bagian otaknya, ekspresi serius Kim
Taehyung selalu berhasil membuat Sofie tertegun sesaat, melupakan arah tujuan
sekaligus fakta bahwa ia hanya lewat sebentar.
“Hendak ke mana kah Nona Krantz
sendirian di jam selarut ini?”
Pertanyaan Taehyung menarik
Sofie kembali pada kenyataan. Pemuda yang tadinya tergambar di ingatannya,
sibuk menggoreskan pensil selagi surai pirangnya diterpa angin, kini berada di
depan mata Sofie, duduk tenang di ujung lain kursi penumpang dengan distansi
tak lebih dari satu meter.
“Entahlah.” Sofie mengangkat
sebelah tangan, menyembunyikan tawa kecilnya setelah mengingat bagaimana ia
menyelinap keluar ketika orang tuanya baru saja berangkat ke teater. Tidak akan
ada penghuni rumah yang menyangka Sofie akan melompat lewat jendela kamarnya.
“Aku hanya tahu trem ini akan mengarah ke Meester Cornelis. Bagaimana
denganmu?”
Taehyung bergeming sesaat.
Meski ia sedikit bingung dengan penjelasan Sofie, gadis itu agaknya segan
memberi penjelasan lebih lanjut. “Seseorang meninggalkan pesan untukku. Dia
bilang aku harus naik trem di Rijswijk tepat pukul tujuh.”
“Dan kau melakukannya?”
“Waarom niet?” (Kenapa tidak?) Sang pemuda mengedikkan bahu,
mengundang kembali tawa kecil Sofie. “Tidak mungkin aku berasumsi pesan itu
dikirim seorang pembunuh bayaran, toch?”
“Akan jauh lebih baik jika kau
berhati-hati, Tuan. Apa ada tanda dari pengirimnya?”
“Ja. Sebuah inisial.”
“Bagaimana bunyinya?”
“S.K.”
Detik berikutnya trem yang
mereka naiki berhenti, menurunkan seorang penumpang yang dengan segera sosoknya
ditelan kegelapan samar-samar Taman Wilhelmina. Kereta listrik itu kembali
bergerak, menyisakan keheningan di antara empat penumpang yang saling duduk
berjauhan. Butuh dua kali guncangan gerbong untuk Taehyung akhirnya mengucapkan
sesuatu, tentunya setelah menyadari hal terpenting dalam perjalanannya malam
ini.
“Sofie Krantz. Itu inisialmu?”
Segaris senyuman puas terpatri
di bibir sang gadis. “Terlalu jelas, ya?”
“Tidak akan sejelas ini jika
aku tidak tahu namamu,” ucap Taehyung, yang setelah dipikir-pikir pun Sofie
lumayan setuju. “Apa alasanmu mengundangku ke sini, Nona Krantz, dan bukan di
rumahmu?”
Sofie menarik napas panjang
lalu memindahkan atensi pada tautan jemarinya yang terbalut sarung tangan
berenda. “Aku ingin ... menjauh dari rumah. Setidaknya untuk sesaat. Walaupun
tidak butuh waktu lama untukku menjauh sepenuhnya, dari rumah dan kota ini.”
Tanda tanya besar terlukis di
wajah Taehyung selagi ia membenarkan posisi duduk. Ditatapnya gadis yang
bergeming tak jauh di sebelah kanannya itu, nampaknya ia bukan hanya perencana
yang baik, tapi juga tipikal gadis yang cukup misterius. “Lalu? Di mana letak
korelasinya denganku?”
Beberapa lirikan dilemparkan ke
arah sang pemuda, tak tentu berapa jumlahnya yang jelas Sofie hanya terlalu
takut untuk membalas pandangan. “Korelasinya ada di sana, Tuan Kim. Sudahkah
kau membaca koran-koran bulan ini? Tarakan dan Balikpapan sudah dikuasai
Jepang. Orang tuaku merasa Batavia sudah tidak aman lagi. Kami berencana
kembali ke Belanda bulan depan.”
“Aku jarang membaca koran,”
ujar Taehyung seraya menumpu kepalanya dengan sebelah tangan, “tapi semua orang
tahu kalau Hindia Belanda sedang dalam masa kritis. Tuan dan Nyonya Krantz
tidak sepenuhnya salah.”
“Mereka memang tidak salah.”
Genggaman kedua tangan gadis itu semakin erat, jempolnya bergerak-gerak seolah
tertular reaksi gugup. “Mungkin, akulah yang salah, Tuan. Aku tidak ingin
meninggalkan kota ini, di sini aku
tumbuh dan hidup selama delapan belas tahun. Di sini aku belajar untuk tinggal
berdampingan dengan bangsa-bangsa lain. Tanpa Batavia, aku tidak akan menjadi
diriku yang sekarang.”
Gadis itu akhirnya mendongak,
bertepatan dengan berhentinya trem di pos transit selanjutnya, sebuah senyuman
kembali terpatri di bibirnya kala pandangan mereka berdua bersirobok.
“Korelasinya, Tuan Kim. Aku telah lama memerhatikanmu. Barangkali, kau orang
paling menarik yang hanya bisa kutemui di Batavia. Kebebasanmu, Tuan, semangat
yang kau curahkan dalam goresan-goresan pensil dan kuas, aku begitu
mengaguminya.”
Oh, Tuhan, apakah ini sebuah
pernyataan cinta?
“Sebelum kota ini menjadi
kenangan dalam sudut memoriku, setidaknya aku ingin mengatakannya padamu.”
Kemudian segalanya terjadi
begitu cepat. Trem kembali berguncang kali ini sedikit lebih keras dari
sebelum-sebelumnya, Sofie Krantz tiba-tiba telah beranjak lalu melesat turun
dari gerbong tepat sebelum kendaraan itu mulai melajukan roda-rodanya. Layaknya
takdir, roda-roda itu berputar tanpa menunjukkan tanda-tanda keberhentian, tak
peduli akan keterkejutan Taehyung sementara sosok Sofie semakin tenggelam dimakan
kegelapan.
Namun takdir tidak akan semudah
itu berlalu bagi Kim Taehyung.
“Kau melupakan payungmu, Nona.”
Sofie tersentak, ayunan
tungkainya otomatis terhenti ketika suara bariton yang ia kenal itu tertangkap
oleh rungunya. Ia berbalik dan disambut oleh senyuman Taehyung yang mengulurkan
payung miliknya. Dengan kalimat selanjutnya terucap dari bibir sang pemuda,
Sofie berubah pikiran, payung itu ternyata lebih berguna dari yang ia duga.
“Ini malam yang indah. Sangat
disayangkan untuk dilewatkan sendirian. Jadi, Nona Sofie, keberatan jika aku
menemanimu? Jangan katakan tidak, karena itu artinya sia-sia saja aku melompat
turun dari trem tadi.”
“Graag gedaan.”
-einde-
(a/n) FIJNE VERJAARDAG KIM
TAEHYUNG<3
Taehyung, dia selalu punya sisi
mempesona yang bikin aku membayangkan beribu scenario AU, salah satunya Hindia
Belanda ini. Dan berhubung aku nggak bisa menepati janji update chapter 22 VoF,
kuganti ini deh:”D
Oke. Ini pertama kalinya aku
bener-bener merealisasikan kekagumanku sama latar Hindia Belanda (dan Kim
Taehyung) dalam sebuah karya. Tolong jangan sleding aku karena hasilnya nggak
sebagus yang aku perkirakan HJDJSJJHDJS terima kasih sudah mau baca!
Seenggaknya, kuharap kalian juga setuju kalau Tae ini cocok banget digambarkan
dalam berbagai macam AU;;
Comments
Post a Comment